10. Saling Bertukar Cerita

1.5K 205 9
                                    

Perasaan itu terkadang seperti kejutan. Datang tiba-tiba mengusik hati dan jiwa dengan sesukanya tanpa memandang perbedaan. Dua manusia sering sekali terjebak, pada akhirnya salah satunya akan terluka atau mencari jalan yang terbaik agar mampu direstui semesta untuk bersatu saling mendamba. Setidaknya untuk saat ini, biarkan semua berjalan dengan apa adanya sesuai rencana takdir.

"Hei! Serius sekali kalian berdua mengobrol. Lagi ngobrolin apaan sih?" tanya Arsyila yang datang bersama dengan Anggi setelah melaksanakan sholat ashar.

"Lagi ngobrol hal nggak penting aja kok, kalian setelah ini akan kemana lagi?" balas Ansel mengulas senyum manis ke Arsyila.

"Aku mau keliling sini dulu sebentar sama Neara, boleh ya? Ayok Neara!" Seru Anggi dan sudah pergi menjauh menarik tangan Neara untuk pergi bersama meninggalkan Arsyila bersama Ansel.

"Loh kok aku ditinggalin sih?" gerutu Arsyila.

"Sudah biarin aja mereka, lo bareng sama gua."

"Oke deh,"

Arsyila yang masih hanya beralaskan kaos kaki, kini segera memakai sepatunya dan melangkah bersama dengan Ansel melihat-lihat sekitaran kampus Universitas Marmara. Tanpa Arsyila ketahui, Ansel mencuri-curi pandang ketika gadis itu sibuk memotret tempat sekitar.

"Ansel, aku boleh tanya?" tiba-tiba Arsyila mengehentikan aktifitasnya dan memecah keheningan antara dirinya dan Ansel.

"Hm, boleh, lo mau tanya apa?" jawab Ansel dengan perasaan yang sangat senang.

"Tujuan kamu ke Negara ini apa? Liburan, berkunjung, iseng, pekerjaan atau apa?"

"Kabur."

"Maksud kamu?"

"Jadi sebenernya ua itu bisa dibilang nyasar di Negara ini, gua asal beli tiket kemana aja asal bisa kabur sementara dari bokap gua yang terlalu sok banyak aturan!" jawabnya dengan santai.

"Memang kenapa dengan bapak kamu?"

"Papah gua itu nyebelin pake banget!"

"Hust! Nggak boleh gitu Ans, gimana pun juga dia orang tua kamu tau," balas Arsyila sedikit meminta Ansel berlaku sopan dengan cara halus.

"Ganti topik aja. Oh iya tasbih lo itu berharga banget ya? Gua bisa lihat pas gua kembaliin, lo kaya seneng banget gitu," tanya Ansel mengganti topik pembicaraan.

"Oh ini maksud kamu?" tanya Arsyila dan mengeluarkan tasbih itu dari dalam tasnya.

"Yuhuu, tasbih yang indah dengan ukiran nama yang nggak kalah indahnya juga," puji Ansel yang sebenarnya itu tertuju untuk Arsyila.

Arsyila menghentikan langkah kakinya dan sejenak memandang tasbih miliknya. Dia merasa apa yang Ansel katakan memang benar, bahwa tasbih ini sangatlah indah begitu juga dengan orang yang memberikannya.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" tanya Ansel yang ikut berhenti dan melihat Arsyila dengan senyum manisnya.

"Aku teringat sama orang yang memberikannya dan aku jadi rindu dengan si pemberi tasbih ini," ujar Arsyila dengan mata yang mulai sedikit berkaca-kaca.

"Memang siapa yang ngasih itu ke lo? Cowo ya pasti?" Ansel bertanya penuh selidik.

"Iya, dia laki-laki, cinta pertama yang akan selalu ada di hatiku,"

"Oh gitu." jawab Ansel memutar matanya malas.

"Tasbih ini adalah pemberiannya di hari ulang tahunku ke-14, ini adalah hadiah terakhir dan hari itu juga ulang tahun terakhirku bersama dengannya, Ayahku," lanjut Arsyila menyeka sedikit air mata di sudut matanya.

"Oh, jadi itu dari ayah lo? Memangnya dia kemana sampai itu bisa jadi hadiah terakhir darinya?" Ansel mulai merasa iba, tapi tidak tau karena polos atau lebih tepatnya tidak peka, ia malah bertanya kemana ayahnya Arsyila.

"Dia udah meninggal dalam kecelakaan kerja, ayahku itu seorang arsitek yang hebat buatku, bangunan-bangunan yang ia desain semuanya khusus untuk tempat-tempat ibadah. Hari dimana sehari setelah ayah memberi hadiah ulang tahunnya untukku, paginya ia pergi ke masjid yang sedang dalam proses pembangunan dimana ayahku adalah orang yang mendesain interiornya."

"Ayahku berpamitan kepada kami hari itu, sekaligus mengantarku ke sekolah terakhir kalinya. Ayah pergi dengan raut wajah yang begitu bahagia, namun ayah tidak pernah pulang. Sampai sore harinya kami dikabarkan kalau ayah mengalami kecelakaan di tempat itu." lanjut Arsyila mengingat dimana ia melihat senyum terakhir ayahnya.

"Sorry, gua malah bikin lo kepikiran dengan bokap lo dengan bertanya soal tasbih itu," ucap Ansel menyesal bertanya soal itu.

"Nggak apa-apa kali Ans, aku justru senang sekaligus jadi rindu sama ayahku. Tasbih ini ia hadiahkan khusus untukku ketika ia pulang dari madinah. Ia datang langsung ke pembuat tasbih dan meminta mereka mengukir namaku di ujung tasbihnya."

"Oh iya Ans, kok kamu bisa tahu kalau ukiran di tasbih ini adalah namaku? Terus ini 'kan di ukir dengan huruf arab, sedangkan kamu__?" Arsyila menggantung kalimatnya.

"Seorang kristian? Memangnya kalau seorang kristian tidak bisa baca bahasa Arab gitu?" balas Ansel mengulas senyumnya.

"Bukannya gitu Ans__?"

"Gua tau kok cara membaca huruf-huruf arab, ada alif, ba, ta, tsa, syin, dan masih banyak lagi yang kalau dalam iqro itu huruf hijaiyah kata temen gua. Gua dulu pas kuliah di UK punya seorang teman yang berasal dari Yaman. Terus kita tukeran bahasa, gua ngajarin dia bahasa Indonesia dan dia ngajarin gw bahasa Arab,"

"Wow, kamu pernah kuliah di UK?" tanya Arsyila yang tidak menyangka bahwa Ansel adalah lulusan luar negri.

"Iya, gua dulu kuliah di UK ngambil jurusan magister Hukum di sana. Lo pasti kaget, karena orang yang terlihat berandal kaya gua ternyata pernah jadi seorang mahasiswa,"

"Nggak kok, aku bukan kaget, aku lebih ke kagum karena kamu lulusan luar negri. Gimana rasanyajadi mahasiswa UK? Wah pasti seru, terus sekarang kamu jadi pengacara dong atau__?"

"Nggak tau kenapa gw males jadi pengacara, gua kuliah di sana ambil jurusan hukum hanya untuk Menuhin permintaan oma gua dong kok, gua masih berjalan kesana-kesini untuk mencari ketenangan dan kejelasan dari diri gua. Lebih tepatnya pengalihan dari rasa rindu gua ke almarhumah nyokap,"

"Kamu harusnya bersyukur, dan alihkan rasa rindu itu ke hal-hal positif. Kamu jauh-jauh dateng ke berbagai Negara, jangan bilang hanya untuk ke club malam?"

"Itu salah satunya, tapi lo harus tau kalau gua nggak aneh-aneh kok di club. Gua cuma minum wine atau ngerokok aja, nggak main-main dengan perempuan,"

Ansel bercerita ke Arsyila soal Negara-negara mana saja yang pernah ia kunjungi. Tidak tau mengapa Ansel bercerita seolah meyakinkan Arsyila bahwa ia bukan laki-laki yang suka bermain-main dengan wanita. Ansel sesekali bercerita pengalaman-pengalaman lucunya berkunjung ke Negara asing. Ansel bercerita dimana terkadang ia bertemu dengan orang yang baik, tapi tak sedikit pula ia bertemu dengan orang yang tidak baik.

"Serius kamu pernah kecopetan di Itali?" tanya Arsyila yang terkejut.

"Iya, beruntungnya yang di ambil hanya dompet gua aja, itu kejadian pas gua lagi mabuk berat dan benar-benar tidak sadarkan diri. " jelas Ansel mentertawakan nasibnya sendiri dan masih ia bilang itu beruntung.

"Isi dompet kamu apa saja memangnya? Tidak ada yang berharga sampai kamu bilang beruntung hanya diambil dompetnya?"

"Ya isinya kartu Debit gua sama beberapa jumlah uang, parahnya dia nyisahin selembar di kantong gua, dikiranya gua pengemis kali di sisahin uang."

"Kamu kecopetan masih sempat-sempatnya ngelawak, itulah akibatnya meminum minuman keras, selain bahaya buat tubuh kamu, itu juga bisa mengundang kejahatan bagi orang yang suka mengambil kesempatan untuk berbuat jahat,"

"Iya iya, makanya lo jangan jauh-jauh dari gua, biar gua inget terus untuk nggak minum-minuman yang lezat itu lagi," kekehnya dan ia sangat sadar dengan ucapan yang itu merupakan sebuah harapan.

Arsyila tidak menjawab dan hanya diam tersenyum berpikir bahwa Ansel adalah orang yang unik dan lumayan aneh. Arsyila sama sekali tidak berpikir soal ucapan terakhir Ansel yang sebenarnya ada harapan di diri pemuda itu untuk sang gadis.

🍁🍁🍁

Turkish Airlines-67 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang