Chapter 1

22 3 2
                                    

Namaku Aigheen Alana Humaira Dirgantara. Putri bungsu dari Bu Alda dan Pak Tias. Aku mempunyai tiga Kakak laki-laki. Yang pertama, namanya Aditya Dirgantara. Kini ia tengah dikaruniai dua orang putra. Mereka sangat menggemaskan kata orang-orang. Namun bagiku ... Tidak sama sekali.

Lalu yang kedua, bernama Ahda Dirgantara. Dia baru saja menikah dua bulan yang lalu. Dan sekarang tinggal menetap bersama istrinya di Bandung. Dan Kakak terakhirku namanya Ashqar Dirgantara. Yang kini masih duduk di bangku kuliah. Usianya denganku hanya terpaut dua tahun. Jadi seringkali kami bertengkar karena hal-hal sepele.

Dia memang menyebalkan. Mulutnya yang sering kali mengoceh tak jelas membuat orang rumah naik darah seketika. Seperti saat ini, pria berambut ikal itu tak henti-hentinya mengoceh bak anak ayam yang minta jatah makan.

Wajahnya yang menurutku pas-pasan itu tampak terlihat kesal. Karena dengan sangat berat hati, hari ini kita meninggalkan kota Jakarta untuk pindah ke Puncak.

Ya, Ibu dari Bundaku meminta Ayah untuk mengelola restauran miliknya. Jadi, mau tak mau Ayah dan Bunda harus menuruti keinginannya.

"Ma, ayolah ... Bilang sama Emak, kalau aku dan Gheen alergi tinggal di daerahnya Emak," ucap Bang Ashqar memohon.

Aku sedikit terkejut. Karena bisa-bisanya makhluk astral ini membawa-bawa namaku.

"Lo apa-apan sih Bang. Kalau gak mau ikut pindah, gak usah nyebut-nyebut nama gue juga kali," ucapku sedikit sewot.

"Arghh ... Diem lu kepiting Cina!" sentak Bang Ashqar sembari memelototiku.

"Dih ... Harusnya lo yang diem TOA MESJID!" balasku dengan menekankan kata terakhir.

Bang Ashqar tampak mengepalkan tangannya sembari menggertak, "Dasar Adek gak tau diri. Harusnya lo bantuin gue buat bujuk Mama sama Papa,"

"Lo yang gak tau diri toa mesjid,"

"Elu kepiting Cina,"

"Elu Bang,"

"El--"

"Ashqar, Aigheen. Cukup!" suara berat seorang pria berkemaja biru muda itu akhirnya keluar juga.

Aku dan Bang Ashqar pun langsung terdiam. Pria berkecamata itu terlihat menghela napasnya. Hingga detik berikutnya, Ayah melirik Bang Ashqar lewat kaca spion.

"Ashqar, keputusan Papa dan Mama sudah bulat. Jadi kamu gak usah membantah," ucap Ayah dengan tegas.

Bang Ashqar menunduk. Terlihat kekecewaan yang amat besar di wajahnya. Namun aku tak peduli sama sekali. Sedangkan Bunda tampak mengacak rambut pria di sampingku dengan singkat.

Adzan dzuhur telah berkumandang. Dan kini mobil Alphard hitam milik Ayah tengah terparkir.
Aku menghirup udara sejenak. Rasanya sangat nyaman. Berbeda dengan tempat tinggalku yang di Jakarta. Tak perlu di jelaskan seperti apa. Karena aku yakin kalian sudah tahu bagaimana kota Jakarta.

Pandanganku kini teralihkan. Menatap sosok wanita paruh baya yang tengah menyambut kehadiran kami dengan sumringah. Perlahan, aku berlari dan memeluk wanita tua itu dengan sangat erat.

Namun tiba-tiba, punggung ini terasa basah. Aku pun melepas pelukan secara perlahan.

"Mak ... Emak kenapa nangis?" tanyaku lembut sembari menghapus air matanya.

Namun bukannya menjawab, tangis wanita tua yang ku panggil Emak itu malah semakin pecah.
Aku dibuat bingung olehnya. Karena tak biasanya dia menangis seperti ini. Hingga beberapa detik kemudian, wanita dengan rambut sebatas sikutnya menghampiri kami dan membawa Emak masuk ke dalam rumah.

Janji Cinta AbiGheen [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang