Chapter 3

11 1 0
                                    

Satu minggu sudah tinggal di tempat Emak. Di mana lingkungannya masih terasa asri. Jujur, aku sangat nyaman berada di tempat ini sekarang. Apalagi saat malam hari telah tiba. Aku sangat menyukainya, dan selalu menyambut malam dengan girang.

Seperti saat ini, aku tengah berdiam diri di balkon kamar. Memandang langit yang di hiasi beribu bintang, dengan satu bulan yang tengah menyinari alam. Tiupan angin mulai menerpa rambut hitamku, yang panjangnya hanya sebahu.

Hembusan nafas halus pun keluar dari hidung mancung ku. Hingga perlahan, bulu mata yang lentik ini membantuku memejamkan mata. Hanya sekedar ingin menikmati ciptaan Tuhan di malam hari.

MasyaAllah ...

Nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Itulah salah satu arti dari ayat Al-Quran yang terdapat dalam surat Ar-Rahman. Arti surat itu, membuatku sadar jika ciptaan Tuhan lebih indah dari segalanya.

Namun, kenikmatan ku malam ini tiba-tiba terganggu. Kala bocah kecil yang usianya masih lima tahun, datang entah sejak kapan. Bocah itu terus merengek. Memintaku untuk ikut dengannya.

"Ayo Tante ... Ikut aku!" ajaknya sembari menarik sweater abu yang sedang ku pakai.

"Gak mau! Udah sana keluar!" usir ku dengan perasaan dongkol.

Namun bukannya pergi, bocah itu malah diam dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Shaka, keluar ya. Kak Gheen nya mau bobo. Udah ngantuk ini," ucapku lembut sembari pura-pura menguap.

"Huaa ... Papa, Mama ... Tante Gheen jahat. Tanganku di cubit, hiks ..." teriak Shaka diiringi air matanya yang mulai mengalir deras.

Aku hanya bisa melongo sembari menepok jidat. Bagaimana bisa akting bocah tengil ini semakin pintar. Hah, ntahlah ... Aku tak ingin memikirkannya.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Dan menampakkan sosok pria manis yang tengah berjalan ke arah kami. Sorot matanya yang memandangku dengan tatapan dingin, membuat tubuh ini terasa kaku seketika.

Dan bocah tengil yang tengah menangis itu. Kini sudah berada dalam gendongan seseorang. Yang tak lain, dan tak bukan adalah Papanya sendiri. Kakak kandung ku yang paling dingin bak es batu yang sering di gunakan untuk membuat es teh manis.

"Papa, tanganku sakit. Hiks ... Tante Gheen menyubitnya sangat kencang," bocah sialan itu lagi-lagi mengadu.

Aku menatap Bang Adit takut, "Ngg--nggak kok Bang. Aku berani sumpah gak ngapa-ngapain Shaka," aku mengangkat dua jari tangan membentuk huruf V.

"Nggak Pa! Tante Gheen bohongin Papa,"

"Dih ... Kamu apa-apaan sih, Shaka? Masih kecil udah jadi tukang kibul. Diajarin sama siapa, hah?" tanyaku kesal.

Namun, bukannya menjawab pertanyaanku. Tangis bocah tengil ini malah semakin menjadi-jadi.

'Huftt ... Oke, sekarang kesabaran gue, sudah habis.'

Perlahan, tanganku mulai menyentuh pipi mulus Shaka. Dielusnya pipi chubby ini dengan penuh kasih sayang. Hingga beberapa saat kemudian, Shaka menjerit kesakitan. Karena dengan gemas, aku mencubit pipi chubby-nya itu.

Kini tatapan dingin Bang Adit, langsung berubah tajam. Aku pun hanya membalas tatapan itu dengan senyum yang di buat semanis mungkin. Lalu setelah itu ... Ku tabrak bahunya dan melenggang pergi dengan tampang tak berdosa.

Sesampainya di lantai bawah, aku segera pergi ke halaman belakang rumah. Mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan seseorang.

Satu detik ...

Dua detik ...

Tiga detik ...

Sekarang aku telah menemukan orang itu. Dan segera melangkahkan kaki ini untuk menghampiri seorang wanita yang tengah duduk si samping Bunda.

Janji Cinta AbiGheen [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang