[Bab 13] Olahraga Pagi

27 9 4
                                    

Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]

Ayumi menunduk tak semangat ketika Pak Asep memimpin pemanasan di depan sana.

“Kenapa sih, Yum?” tanya Hana heran dengan tingkah laku sahabatnya. Sedari pagi Ayumi terlihat lesu dan tidak bersemangat.

Hana kira, itu karena luka yang ada di tangan kanan Ayumi. Tapi saat ditanya, dia bilang lukanya tak terlalu serius. Tidak mungkin sampai sesakit itu, menyebabkan dirinya lesu, tak bersemangat.

“Aku kangen Kak Gio,” ucap Ayumi lemah sembari mengikuti gerakan Pak Asep.

“Hah? Maksud kamu?” tanya Hana heran. Setahu dia Sergio masih di rumah Ayumi. Bahkan kemarin hari jumat juga ketemu di sekolah. Atau … “Kak Gio emangnya udah pulang? Yahh … maksud aku udah balik lagi ke luar kota?”

“Iya. Semalem pulang ke Bandung.”

Ternyata benar dugaan Hana. Kakak sahabatnya itu sudah kembali ke Bandung. Hana jadi ingat waktu itu Ayumi memang bilang, kalau Sergio hanya akan sepuluh hari berada di Sukasenang. “Jadi … baru semalem pulang?”

“Iya,” melas Ayumi sambil mengangguk.
“Tapi sekarang udah kangen?”

“Iya.” Ayumi mengangguk kembali. “Kangen. Kangen banget.” Ayumi semakin cemberut ketika mengatakan itu. Sedangkan Hana yang mendengar hal itu tidak habis pikir. Bagaimana Ayumi bisa kangen, padahal baru beberapa jam yang lalu mereka berpisah. Wah, sepertinya Hana baru tahu kalau sahabatnya itu sungguh cengeng.

“Ya Allah, Ayumiiii! Kamu—“

“Hana!” tiba-tiba teriakan Pak Asep memotong ucapan Hana. Ayumi terdiam, menatap takut-takut kepada guru tersebut. Begitu juga Hana. Dia baru menyadari, jika suaranya tadi sudah terlalu keras. Bahkan sampai ke telinga Pak Asep. Secara otomatis juga membuat murid-murid lainnya ikut menengok.

“Maju ke depan!” perintah Pak Asep.

“Ta-tapi, Pak—“

“Kamu dari tadi ngobrol terus. Tidak mengikuti gerakan saya. Maju ke sini!”

“Tapi Pak …,” ucapan Hana semakin menciut.

“Ayumi juga. Ikut maju!”

“Pak! Ta-tapi kan saya mengikuti gerakan bapak,” protes Ayumi tak terima. Dia berusaha bicara senormal mungkin.

“Tapi kamu juga ikut mengobrol. Ayo, cepat ke depan!”

Dengan terpaksa, Ayumi berjalan ke depan. Melewati murid-murid lain yang langsung menyingkir memberi jalan. Diikuti Hana di belakangnya.

“Hana di sebelah kanan saya!”

Hana hanya menuruti perkataan gurunya. Berjalan melewati Pak Asep ke belakang tubuhnya. Karena Hana tahu, berjalan melewati orang yang lebih tua di depannya itu tidak sopan. Jika pun terpaksa melakukan itu, maka orang tersebut harus melewati sambil membungkukkan badan. Dan Hana tidak mau melakukan opsi kedua.

Tepat setelah Pak Asep memulai kembali pemanasan, terdapat murid-murid kelas sepuluh yang berlarian ke arah lapangan. Kelas X MIPA 9 langsung bergabung memasuki barisan. Ayumi dan Hana jadi semakin gugup. Mereka bergerak dengan kaku. Ayumi bahkan sampai merasakan sakit di telapak tangannya, karena terlalu erat menggenggam jemarinya.

Herannya, Pak Asep tidak memarahi mereka yang datang terlambat. Sangat terlambat. Kelas XI MIPA 1 saja sudah melakukan pemanasan sampai setengahnya.

“Ulangi lagi dari awal.” Dan yang lebih resenya lagi, Pak Asep membuat Ayumi, Hana dan semua temannya melakukan kembali dari gerakan awal. “Biarkan adek-adek kalian mengikuti dari awal. Jangan ada yang protes! Lakukan saja!” Yah, otomatis perkataan Pak Asep membuat semua murid yang baru saja akan protes bungkam seketika.

[*****]
“Mayumii! … Mayumi! Mayumi! …,” teriakan tersebut terus terdengar sedari awal nama Ayumi disebut untuk memasuki lapangan. Dan hal itu sangat mengganggu konsentrasinya. Di seberang sana Angkara dan teman-temannya berdiri di belakang murid-murid penghitung waktu si pelari.

Kini Ayumi sudah berada di garis start. Bersiap menjadi si pelari. Setelah pemanasan dan lari keliling lapangan, murid-murid akan langsung dites untuk lari cepat. Dan ayumi menjadi pelari di bagian pertama dengan empat murid lainnya.

“Satu … dua … siap …,” Pak Asep menjeda beberapa detik. Membuat murid-murid yang sudah bersiap menjadi deg-degan tak karuan. “Mulai!” teriakan terakhirnya diikuti suara peluit yang memekakkan telinga. Apalagi Ayumi yang berada di paling ujung—berdekatan dengan guru olahraga tersebut.

Para pelari langsung bertolak kaki meninggalkan garis awal. Ayumi berusaha lari dengan cepat, secepat yang dia bisa. Karena bisa dikatakan, Ayumi memang ahli yang begini. Bobot tubuh yang ringan menjadi poin utama kecepatan larinya.

Angkara masih saja berteriak, “Mayumii! Mayumi!” sampai Ayumi berhasil menginjakkan kakinya di garis finish.

Sesuai dugaan, Ayumi berhasil menjadi yang kesatu sampai di garis finish. Waktu larinya dicatat oleh Dida di kertas nilai. Terlihat Hana sedang berjalan ke arahnya. Membawa botol minum Ayumi di tangan kanan. Lalu tiba-tiba Angkara merebutnya. Walau Hana bersikeras mengambil kembali, tetap saja kekuatan dirinya kalah.

“Wihh! Hebat euy! Ternyata lo jago lari ya?!”

“Makasih,” Ayumi membalas senyuman Angkara dengan senyuman tipisnya. Dengan cepat pula merampas botol air yang diberikan adik kelasnya itu.

“Kenapa teriak-teriak sih? ganggu tau gak!”

“Gue, ‘kan nyemangatin elo, gimana sih!” Angkara mendekati Ayumi untuk meraih tangan kanannya.

“Apaan sih! Dibilangin jangan pegang-pegang!” Ayumi menepis tangan yang kurang ajar tersebut.

“Masih sakit gak?” tanya Angkara, menjurus pada tangan kanan Ayumi yang masih terbalut perban.

“Maaf ya. Gak perlu disemangatin juga aku bakalan menang!” Ayumi malah kembali pada persoalan awalnya dengan Angkara. “Dan, satu hal lagi … Jangan panggil aku Mayumi! Itu adalah panggilan khusus dari kakakku. Jadi, kamu jangan sok akrab deh!”

“Masih sakit gak?” tanya Angkara lagi.

Hana yang berada di sana merasa aneh dengan interaksi keduanya. Bagaimana bisa Ayumi dan Angkara terasa akrab seperti ini? Padahal baru tiga hari yang lalu mereka mengacungkan bendera perang. Yahh, walaupun aura kekesalan masih saja terlihat dari pergerakan Ayumi, Hana merasa takjub dibuatnya. Bahkan Angkara tahu apa yang sebelumnya Ayumi alami.

“Iya. Udah, ah. Sana!” Ayumi memunggungi Angkara dan Hana. Duduk di tempat tadi si penghitung waktu berada. Kini giliran Ayumi yang menunggu Dida berlari dari seberang sana. Mencatat waktu yang diperolehnya saat sampai di garis finish.

Angkara dan Hana bertukar pandang. “Apa?!” tanya Hana sewot.

“Ya, elo apa?!” tanyanya balik tak kalah sewot.

Hana tak peduli, dia akan duduk menyusul di sebelah Ayumi. Begitu juga dengan Angkara yang ikut mengambil tempat di samping kiri Ayumi. Tentunya hal itu tak luput dari penglihatan Hana. Dia menatapnya tajam seolah berkata, “Ngapain sih lo di sini? Cepet sana pergi! Mau diamuk lagi lo!”

Teriakan Sanu di belakang sana membantu Hana untuk mengusir Angkara secara tidak langsung. “Udah tuh, sana kamu!” Angkara pergi dengan jengkel tanpa menghiraukan perkataannya.

“Yum, menurut kamu siapa yang bakal menang?” tanya Hana di saat teman-temannya di depan sana sedang bersiap akan lari.

“Devan, dong. Dia kan yang jago lari di antara mereka berempat,” telunjuk Ayumi mengarah pada si ketua kelas. Sedangkan yang diperhatikan malah melihat ke segala arah.

“Aku sih gak setuju. Kayaknya kali ini Dewa deh.”

Peluit Pak Asep kembali bersuara dengan nyaring diikuti dengan suara gemuruh para murid yang langsung berlari. “Tuh, kan!” teriak Hana heboh.

“Devan ah.”

“Ih, enggak. Dewa. Itu … selisihnya deket banget itu.”

“Udah tuh tanya Pak Asep, Dida ke berapa! Sekalian liat siapa yang kesatu.” Hana membantu Ayumi berdiri. Lalu mendorongnya untuk ke tempat Pak Asep.

“Aku ke berapa, Yum?” tanya Dida yang sudah duduk berselonjor kaki di samping Hana.

“Keempat. Yang penting ada peningkatan Did dari yang sebelumnya.”

Dida hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Menerima kertas nilai yang Ayumi berikan.

“Siapa yang kesatu?” tanya Hana antusias.

“Iya, Dewa. Si Ugi harus tau nih. Adeknya gak lembek-lembek banget ternyata.”

Hana seketika tertawa mendengar penuturan sahabatnya. Yah, sebenarnya kaget juga. Mengingat Dewa yang selalu malas-malasan jika masalah olahraga. Berbeda dengan kembarannya yang ada di MIPA 5—Dewi Mugni Wijaya. Yang lebih tomboy dan menyukai hal-hal yang berkeringat seperti ini.

“Udah jangan ketawa aja. Tuh giliran kamu!”

Selepas Hana pergi ke seberang lapangan. Ayumi dan Dida menggeser tubuh ke belakang, supaya tidak mengganggu murid lain yang akan menghitung pelari berikutnya.

Setelah semua murid kelas sebelas selesai menyelesaikan tes lari, Pak Asep memerintahkan semunya untuk beristirahat. Atau berpindah ke pinggir lapangan agar tak mengganggu kelas sepuluh.

Ayumi menjerit saat ada murid yang dengan seenak jidatnya mengambil pulpen di tangannya. “Kara! Kamu—, Apa-apaan sih!”

“Pinjem,” ujarnya acuh tak acuh, sembari berlalu meninggalkan Ayumi.

Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]

Setelah lari cepat, kini waktunya lari estapet. Kelas sepuluh kali ini mengusulkan ingin dilakukan tes telebih dahulu. Agar cepat istirahat katanya. Pa Agus menyetujui itu. Sedangkan kelas sebelas malah sangat senang karena dapat beristirahat lebih lama lagi.

Namun sepertinya tidak semua murid menyetujui hal itu. Devan menolak mentah-mentah usulan itu. “Gak bisa gitu dong, Pak. Tadi kan kelas sebelas yang duluan. Harusnya sekarang kita juga yang duluan dong.”

“Iya, Pak. Saya juga enggak setuju. Kita kan baru aja selesai, Pak. Masa harus lari lagi. kapan istirahatnya?” salah satu murid laki-laki kelas sepuluh mengajukan protes yang memang masuk akal.

Beberapa murid mulai mengeluarkan suara dan protes satu per satu. Membuat suasana semakin tidak kondusif. “Iya-iya. Saya mengerti. Lebih baik diselang seling aja biar adil.” Murid-murid yang mengerubungi Pak Asep masih juga belum mau menyingkir. Membuat guru tersebut semakin jengkel saja. Dia sepertinya kapok menyatukan dua kelas dalam satu sesi olahraga.

“Sekarang kelas sepuluh absen satu sampai dengan sepuluh. Setelah itu kelas sebelas nomor urut satu sampai sepuluh. Begitu sampai seterusnya.”

Semua murid setuju. Satu persatu berpencar menjauhi Pak Asep. Lalu yang disebutkan namanya mengambil tempat masing-masing untuk persiapan.

Sebenarnya hari ini tidak ada pelajaran apa pun selain olahraga. Pak Asep dapat memakai waktu dua jam pelajaran untuk kedua kelas yang diajarnya. Para guru memang sengaja tidak melakukan pembelajaran di dalam kelas. Dua hari dengan besok digunakan untuk memenuhi nilai murid-murid yang masih kurang. Remedial dan nilai tambahan sebisa mungkin terselesaikan.

Ayumi masih saja duduk di belakang Angkara dengan Hana dan Dida. Menunggu gilirannya tiba. Sembari memperhatikan pulpen yang digunakan Angkara. Jangan sampai benda tersebut berpindah tangan pada yang lain. Apalagi sampai hilang.

Ana—teman Angkara—sudah menyelesaikan sampai musik berhenti. Berhasil melakukan itu sesuai dengan ketentuan berapa kali lari yang sudah ditetapkan. Ana terlihat sangat kecapekan. Bahkan jalannya seperti sempoyongan.

Angkara buru-buru berlari menangkap tubuh temannya. Dia benar-benar sudah tidak kuat berjalan. “Makanya jangan terlalu memaksakan diri. Gue bilang juga apa. Lo tuh gak kuat, Na.” Angkara memapah Ana ke pinggir lapangan.

Beberapa murid mengerubunginya. Mulai bersahutan menanyakan keadaannya. Angkara memberikan air minum padanya. Niat awal ingin membawa Ana ke UKS saja urung dilakukan. Setelah Pak Asep menyuruh murid yang lain mengantarnya.

“Udah, kamu bersiap-siap saja di tempat, Angkara! Biarkan Ana dibantu yang lainnya.”

“Tapi, Pak saya gak ada temen,” ujar Angkara saat sudah menempati start.

“Ayumi! Kamu jadi penghitung Angkara!” perintah Pak Asep. Karena tempat Ayumi yang sangat dekat dengan jalur Angkara membuat Pak Asep tidak harus memaksa yang lain melakukannya.

“Tapi, Pak— Kenapa saya, Pak?” protes Ayumi tak terima. “Saya, kan kelas sebelas, Pak. Mending yang lain aja, yang kelas sepuuh, Pak.”

“Tidak ada tapi-tapi-an. Saya menyuruh kamu bukan yang lain. Udah, itu ambil kertas dan pulpennya!” Pak Asep menunjuk kertas dan pulpen yang tergeletak tak jauh di depan Ayumi.

Di seberang sana Angkara tersenyum senang. Entah apa salah Ayumi sampai harus berurusan lagi dengan Angkara. Bahkan Pak Asep saat ini malah dalam mode galak.

“Berapa, Yum?” tanya Angkara saat waktu baru beberapa menit berlalu.

“Baru juga lima. Udah jangan banyak omong, nanti keburu capek geura!”

“Ululululu. Meuni perhatian,” ledek Angkara dengan suara yang menyebalkan. Saat dirinya lari-lari kecil dari satu ujung ke ujung yang lain.

“Bukan perhatian. Aku kasian aja sama kamu. Ini tuh harus sampai lima puluh kali balikan. Makanya jangan banyak ngeluarin suara. Tepar baru tau rasa kamu!” Ayumi kesal. Bisa-bisanya di saat begini Angkara menggoda dirinya.

Hana dan Dida hanya diam memperhatikan interaksi di antara keduanya. Mereka masih saja duduk mengapit Ayumi.

Lima belas menit kemudian. Baru tiga puluh dua balikan. Tapi Angkara sudah mengeluh capek.

“Capek, Yum,” melasnya saat di sudut jalur lari yang ujungnya terdapat Ayumi.

“Makanya diem! Tutup tuh mulut. Jangan ngoceh aja kayak burung beo!”

Angkara menuruti Ayumi. Dia berlari tanpa mengeluarkan suara lagi. Dia benar-benar menutup mulutnya. Bahkan Ayumi kira Angkara juga sampai tidak bernapas karenanya. Hana dan Dida dibuat tertawa karena ekpresi Angkara saat Ayumi mengutarakan pendapatnya.

“Udah, Kar gak usah dipaksain.” Ayumi mulai hawatir saat melihat keadaan Angkara. Bajunya sampai basah seperti kehujanan. Musik yang bertambah semakin cepat membuat murid-murid juga menambah kecepatan larinya.

“Berapa, Yum?” tanya Angkara dengan napas yang tak beraturan.

“Empat satu.”

Angkara tak menjawab. Terus berlari mengejar suara musik karena harus pas saat kakinya menginjak sudut yang lain. Lalu berkata dengan cepat saat menghampiri Ayumi, “Nanggung.”

“Semangatin dong, Yum.” Lagi dan lagi Angkara mulai berceloteh. Padahal jelas-jelas dirinya sudah kecapekan.

“Ogah,” jawab Ayumi dingin. Hana dan Dida membujuk Ayumi untuk melakukannya. Karena tidak salah juga membantu adik kelas yang sudah tak memiliki kekuatan seperti itu.

“Angkara! Angkara! Temenin dong!” Ayumi menyenggol lengan Hana. Begitu juga Dida.

“Angkara! Angkara!” Alhasil hanya di jalur Angkara satu-satunya pelari yang disemangati. Oleh tiga kakak kelas sekaligus. Beberapa pasang mata tertuju pada mereka. Merasa aneh dengan keadaan yang terjadi.

Ayumi sepersekian detik berpikir kayak, Apaan sih! Gue ngapain sih?! Kayak gak ada kerjaan aja. Padahal jelas-jelas murid itu Angkara. Tapi Ayumi malah terang-terangan menyemangatinya. Apa dia mulai ada rasa-rasa pada Angkara?

[*****]

Angkara masih saja berbaring di dekat Ayumi. Sesekali berceloteh mengganggu Ayumi. Saat ini Dida sudah mulai berlari mengikuti kecepatan musik. Ayumi menghitung berapa kali Dida berlari dari sudut A ke sudut B yang ada dirinya. Hana sudah pergi bersiap dengan teman penghitungnya.

“Eh, tadi kertas si Ana kemana, Yum?” tanya Angkara keheranan.

“Itu, di situ. Cari aja deket punya kamu!” sewot Ayumi. Bagaimana bisa Angkara mengganggu Ayumi yang sedang fokus menghitung.

“Enggak ada.” Angkara mencari-cari kertasnya ke sana- ke sini. Tapi tetap tidak mau menggerakkan tubuhnya. “Eh, ada ketang,” seru Angkara saat kertas tersebut ditemukan di bawah pahanya.

“Kamu kira Dida bisa gak sampai lima puluh?”

“Gak tau!”

“Ih, tebak aja dulu.” Ayumi benar benar tak meladeni perkataan Angkara. Dengan cemberut Angkara pun ikut diam. Lalu tak lama berbicara lagi, “Kalau kamu kuat gak?”

Hening. Tak ada jawaban ataupun perhatian.

“Jawab, Yum, kamu bisa gak?” tanya Angkara lebih ke memaksa.

“Enggak tahu.” Terdengan tegas dan jelas. Saat Angkara akan bersuara lagi, Ayumi menyela, “Liat aja nanti.”

“Jangan berisik ah! Aku aduin ke Pak Asep geura nih.”

“Dih, aduan! Gak asik banget sih lo, Yum!”

“Biarin.”

Waktu berlalu begitu cepat. Ditemani dengan ocehan Angkara yang terus menerus membuat Ayumi pusing. Dia bahkan sampai akan mencubit lengan Angkara karena saking jengkelnya. Untungnya tak jadi dilakukan, seakan sadar dia bukan Sergio. Yang bisa dengan seenaknya Ayumi cubit-cubit. Ditambah lagi dengan peringatan kakaknya waktu itu, agar tak asal cubit teman-temannya.

Ayumi bisa bernapas lega saat suara musik telah berhenti. Dida berhenti tepat di depannya. Lalu duduk berselonor di dekat Ayumi. Sekarang giliran Ayumi lari. Merasa senang karena bisa menjauh dari Angkara.

Namun betapa kesalnya Ayumi, saat Dida tiba-tiba pergi meninggalkan tempatnya. Ayumi sudah di seberang. Berteriak memanggil temannya, “Did, Dida! Kamu mau kemana ih?! Aku kan belum ….”

“Digantiin Kara, Yum. Tenang aja ya. Aku capek, Yum, mau ke kelas dulu,” balas Dida berteriak.

“Yah, yah, kok gitu sih! Did, kok lari dari tanggung jawab Did!” Ayumi kesal. Dia berteriak memanggil-manggil Dida yang sudah menjauhi lapangan.

“Gimana, sudah siap?” Pak Asep sudah akan meberikan pertanda akan mulai.

“Pak. Pak. Tunggu, Pak!” Ayumi meminta waktu sedikit pada guru olahraganya. Yang kemudian diikuti oleh bebrapa murid yang juga menginginkan persiapan.

Ayumi berlari mendekati Angkara yang duduk berselonjor. “Yang bener, Kar. Jangan becanda! Awas aja kalau kamu main-main!” peringatan Ayumi membuat Angkara tergugu. Sorot mata Ayumi di matanya sungguh tak dapat diartikan. Sangat tajam.

“Iya. Iya. Tenang aja. Gue jadi anak baik deh kali ini.”

Ayumi tak menjawab agi. Dia berlari ke sudut start untuk memulai lari estapetnya. Seperti biasa, ucapan lelaki memang tidak dapat dipercaya. Apalagi ucapan Angkara. Si adik kelas yang sungguh menyebalkan.

Sedari mulai Angkara masih saja terus berceloteh. Mengejek. Menggoda Ayumi yang berlari ke sudut sana dan sini. Namun akhirnya dia sadar, dan berhenti bermain-main. Angkara memilih untuk memberi semangat untuk kakak kelasnya yang sedang berjuang itu.

“Semangat! Semangat!”

“Mayumi! Semangat! Mayumi! … Mayumi!” Angkara bahkan sampai bertepuk tangan dengan riang.

“Seneng kan kamu?” tanya Angkara saat Ayumi menghampirinya.

“Lumayanlah.” Untuk pertama kalinya Ayumi memberikan senyuman tulusnya lansung tertuju pada Angkara.

“Udah berapa itu? Jangan meleng kamu!” tanyanya saat menghampiri Angkara lagi.

“Empat-empat. Sedikit lagi. Ayo, semangat! Semangat!”

Ayumi tersenyum-senyum sambil berlari. Entah kenapa dia merasa senang karena dukungan Angkara. Terlebih lagi hanya dirinya yang disemangati seperti itu oleh teman penghitungnya. Kelelahannya semain terasa, namun mendengar suara cemperng Angkara menjadikan sedikit kekuatan untuk dirinya.

Musik pengiring berhenti. Ayumi memelankan laju kakinya ketika mencapat sudut dimana Angkara berada. Botol airnya disodorkan si adik kelas pada Ayumi. Tentunya setelah berhasil duduk dengan nyaman di dekat Angkara.

[*****]

“Eh, Yum, Yum. Bentar.”

“Kenapa?” otomatis Ayumi berhenti berjalan.

“Mundur!” perintah Hana.

Lagi-lagi Ayumi mengikuti perkataan Hana. Melangkahkan kakinya ke belakang. Tanpa membalikkan badan. Persis seperti yang Hana lakukan.

“Apa sii—,” ucapannya tak terselesaikan. Ayumi terlalu kaget saat melihat ruangan di samping kanannya. Ruang guru. Bukan hanya guru yang sedang berdiri di dalam. Namun seorang laki-laki yang sedang terduduk cemberut berada di dalam sana menjadi penyebabnya.

“Kara!” nama itu serta merta keluar dari mulutnya.

Semua orang yang ada di dalam mengalihkan padangannya pada Ayumi. Hana yang panik buru-buru menarik Ayumi agar menjauh dari sana.

“Kamu apaan sih?” tanya Hana tak habis pikir. Dia sampai mengira Ayumi sengaja memancing keributan dengan guru galak tersebut.

“Ya abisnyaa …. Eh, itu tadi si Kara, ‘kan?”

“Iya. Emang itu, ‘kan yang mau aku kasih tahu.”

Ayumi tertawa kecil, “Balik lagi, yuk!”

“Enggak, ah. Ngapain!” Hana berjalan dengan cepat berniat meninggalkan Ayumi. Dia benar-benar tidak mau berurusan dengan guru tersebut. Terlalu menakutkan untuk bermain-main dengannya.

“Ayumi! Hana!” Tiba-tiba suara orang yang Hana pikirkan memanggil namanya. Sontak saja mereka berdua menolehkan kepala. Di belakang sana terlihat Bu Elin sedang berdiri dengan angkuhnya melihat ke arah Hana dan Ayumi.

“Ke sini!” perintah Bu Elin sembari berlalu memasuki kembali ruang guru.

Ayumi dan Hana bertatapan. Sejenak. Sebelum Ayumi berjalan duluan menuju ruang guru meninggalkan sahabatnya. Buru-buru Hana menyusul.

“Ini tolongin ibu,” ujar Bu Elin setelah Ayumi dan Hana berada di dalam ruangan. “Sebenarnya udah ibu periksa setengahnya. Yumi kamu cek yang ini ya! Hana yang di deket Kara.”

“Yang mana, Bu?”

“Itu, meja yang di samping Kara.”

Ayumi dan Hana duduk di kursi panjang yang ada di ujung ruangan. Memeriksa kertas jawaban murid-murid kelas sepuluh. Yang ternyata bukanlah bagian pelajaran Bu Elin. Guru yang bertanggung jawab seharusnya adalah Bu Olin. Karena pelajaran Bahasa Sunda yang mereka periksa. Untungnya mereka hanya perlu mencocokkan jawaban dengan kunci jawaban yang ada di kertas kecil.

Mungkin Bu Olin sedang ada keperluan, jadi menyerahkan pekerjaannya pada guru matematika tersebut. Yahh, memang pada dasarnya Bu Elin itu baik, galaknya hanya akan keluar di saat ada anak yang bandel saja. Atau saat moodnya sedang tidak baik—seperti waktu itu, Hana sangat ingat betul.

Bu Elin duduk di kursinya. Lalu, Angkara dan dua orang murid laki-laki—yang pastinya sekelas dengan Angkara—duduk di kanan dan kirinya. Yang Ayumi yakini ketiganya berada di meja guru yang berbeda.

Ayumi terkekeh-kekeh melihat ekspresi Angkara yang sangat serius. Dalam hati sebenarnya tertawa puas sampai terbatuk-batuk, mengingat rencana awalnya untuk mengerjai adik kelasnya itu ternyata berhasil.

Walaupun ada sedikit rasa bersalah di hatinya. Apalagi melihat Angkara yang saat ini berkeringat. Bahkan baju putihnya yang sudah basah dibiarkan terbuka. Menampakkan kaos putih polos yang sama basahnya. Si adik kelas yang rese dan menyebalkan itu terlihat sangat stess dan kelelahan. Pasti sebelum ini juga Angkara dimarahi habis-habisan. Apakah Ayumi keterlaluan?

Enggak-enggak. Si Kara lebih jahat lagi daripada aku. Dia udah berbuat seenaknya dan buat hidup aku gak karuan, Ayumi menggeleng-gelengkan kepalanya. Menyingkirkan rasa kasihan dan tidak enak hati pada Angkara.

Ayumi meyakinkan diri bahwa Angkara pantas mendapatkannya. Perbuatan Ayumi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perbuatan Angkara selama ini.

Ayumi mengalihkan pandangannya kala netra Angkara bertemu pandang dengannya. Ada segaris senyum yang terukir namun tak dapat disadarinya.

[*****]
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote, comment, subscribe dan rating!

Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan.
Cerita ini sedang dalam proses revisi.
Kritik dan saran akan sangat membantu.
Feedback mengikuti.
Terima kasih.

Putri Kemala Devi Yusman
08:33
260420
280121

Ayumi AngkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang