Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]
Seminggu kemudian semenjak kepergian Sergio ke Bandung. Ayumi sudah tidak sedih lagi. Dia tak ingin terlalu larut dalam rasa rindu yang sungguh menyesakkan. Sebisa mungkin Ayumi mengalihkan pikirannya dari sang kakak dengan memperbanyak kegiatan di luar rumah.
Tangannya yang luka sudah dilepas perban sejak tiga hari yang lalu. Namun emang dasarnya manja, luka sedikit saja masih membuat ayumi meringis. Jadinya dia masih memakai plester untuk menutupi lukanya.
Sudah dari pagi-pagi sekali Ayumi pergi kerja kelompok di rumah Hana. Jadi tidak dapat menemani Ibu Sany berbelanja di pasar. Sedangkan Ayah Karta sedang pergi keluar bersama teman-teman kerjanya.
“Aduh!” Ibu Sany tersungkur ke tanah. Di saat tengah repot-repotnya membawa belanjaan, kakinya tersandung batu kerikil yang berserakan.
“Ibu enggak apa-apa? Ayo saya bantu,” ujar seorang lelaki yang menghampiri Ibu Sany. Dia memunguti beberapa buah salak yang berceceran. Lalu memasukkan kembali sayur-mayur dan daging ayam mentah yang keluar dari plastiknya.
“Ma-makasih, Nak.” Ibu Sany merutuki kelalaiannya. Sakitnya jatuh sih tidak seberapa. Tapi malunya itu loh, sampai-sampai membuatnya tak kuasa melihat wajah si penolong. Keadaan pasar sedang ramai-ramainya. Walaupun pasar di pusat Desa kecil, tapi selalu banyak orang yang berlalu-lalang.
Saat akan mengambil kembali kantong belanjaannya. Lelaki tersebut menahannya, dia malah membawa satu plastik lagi yang Ibu Sany jinjing. “Enggak apa-apa, Bu. Saya bawain. Emm, motor ibu yang mana?”
“Ibu gak pake motor.”
“Naik angkot?” tanyanya lagi.
“Enggak. Jalan kaki aja. Rumah ibu deket kok. Di Maragas, belakang polsek,” ujar Ibu Sany merujuk pada dusun tempatnya tinggal.
“Oh, saya juga tinggal di sana, Bu. Yah, lebih tepatnya di Maragi. Tapi di ujung dusunnya, di perbatasan.”
Ibu Sany memperhatikan muka lelaki penolongnya. Jika benar mereka berada di satu lingkungan yang sama, seharusnya dia dapat mengenal sosok penolongnya ini.
“Saya Angkara, Bu. Anak pemilik warung yang baru buka itu.”
“Ohh, iya. Pantesan, kayaknya pernah liat dimanaa gituu.” Sekarang Ibu Sany ingat. Orang yang menolongnya adalah anak Bu Muni, pemilik warung yang baru itu—orang yang baru pindah ke Dusun Maragi. Pernah beberapa kali mereka berpapasan, tapi tidak tahu siapa namanya.
“Ya udah kalau gitu Kara antar ya? Kebetulan Kara pake motor.”
“Enggak usah, nanti ngerepotin. Ibu jalan kaki aja. Deket inih.”
“Ih, si ibu mah pake gak enakan segala. Hayu atulah, gapapa, Kara sekalian pulang juga inih. Tuh, motor Kara di seberang sana.” Kara menggandeng tangan kiri Ibu Sany, menuntunnya untuk menyeberangi jalan raya yang sedang padat-padatnya. Ibu Sany menurut saja. Lagian dia hanya basa-basi saja tadi menolak Angkara. Sebenarnya sih mau banget dianterin sampai rumah. Capek soalnya kalau jalan kaki.
Motor matik hijau ini sudah berhenti tepat di depan rumah Ibu Sany yang tidak lain adalah rumah Ayumi. Angkara kaget saat tahu tempat yang sebenarnya mereka tuju. Otomatis dengan begitu dia tahu bahwa wanita yang duduk di belakangnya itu ibunya Ayumi.
“Masukin ke dalem aja!” Ibu Sany memendorong gerbang pagar agar motor Angkara bisa masuk ke dalam halaman rumahnya. Tentunya setelah turun dari motor terlebih dahulu.
“Ibu, ibunya Yumi?” tanya Angkara sembari mengangkat kantong belanjaan dari motor.
“Iya. Eh, kok kamu tahu?”
“Kara pernah sekali ke sini. Waktu nganterin Ayumi, pas hujan-hujan itu. Yahh, sebenernya Kara temen main futsalnya Gio sih. Tapi kenal Yumi juga.” Angkara mengikuti Ibu Sany ke teras rumahnya. “Kara adik kelas Yumi di sekolah.”
Ibu memutar kunci lalu mendorong pintunya hingga terbuka, “Ohh, gitu. Jadi kamu yang nganterin Yumi waktu itu?” ucapannya bernada senang bahkan nyaris terkekeh-kekeh. Pasalnya baru kali ini Ayumi memiliki teman dekat berjenis kelamin laki-laki. Sampai berani mengantarnya pulang segala.
“I-iya, Bu. Hujan gede soalnya. Takut Gio juga sih,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh.
“Jadi Gio juga udah tahu kamu dekat sama Yumi?” Ibu Sany akan meraih belanjaan yang ada di pegangan Angkara, namun lagi-lagi ditolaknya.
“Udah biar Kara aja, Bu.” Ibu Sany menyetujuinya, membiarkan Angkara membawa barang belanjaannya. “Iya, Bu. Kita pernah mancing bareng juga waktu itu,” ujarnya melanjutkan percakapan yang tadi terpotong.
Angkara mengikuti Ibu Sany yang berjalan ke dapur, lalu bertanya, “Mau disimpen dimana, Bu?”
“Di sini aja, nih,” ujarnya menujuk meja dekat tempat cuci piring. “Oh, yang waktu Ayumi luka itu, ya?” Dan Angkara hanya mengangguk mengiyakan.
“Aduhh, kamu jadi tahu dong Yumi manjanya kayak apa?” Ibu Sany terkikik geli. Dia sudah menyangka anaknya itu pasti akan mengeluarkan sikap buruknya di saat seperti itu. Yang parahnya ternyata ada teman laki-lakinya menyaksikan. Hadeuuh! Malu-maluin aja, Yum-Yum. Sekalinya deket cowok malah kayak gitu.
“Emm, yahh, gitu, deh. Dia cengeng banget. Apa biasanya emang manja kayak gitu?”
“Yahh, bisa dibilang Yumi sama Gio itu sebelas dua belas. Sama-sama manja, cengeng, pemarah, tapi sangat penyayang.” Ibu Sany mencuci daging mentah yang kotor tekena tanah tadi. “Pada dasarnya, mereka emang punya sifat yang sama.”
“Wahh, Kara baru tahu, kalau Gio secengeng itu juga.”
“Iya. Yaahh, walaupun sekarang sedikit ketutup sama sikap dewasanya, sih. Sedikit loh, ya,” ucap Ibu Sany sambil tertawa kecil.
Tanpa sadar Angkara juga ikut tertawa membayangkan Gio yang kekar dan jantan itu menangis tersedu-sedu karena hal sepele. “Aku gak nyangka loh, Bu. Aku kira dia emang gagah keren gitu.” Angkara melanjutkan tawanya. “Ehh, tapi … Gio gak akan marah nih? Ngomong-ngomong dia kemana? Kemarin-kemarin juga gak jemput Yumi.”
“Dia udah pulang semingu yang lalu. Itu malemnya pas pulang mancing dia langsung balik ke Bandung.”
“Ohh, gitu. Pantes aja gak kelihatan batang hidungnya.” Angkara yang melihat ibu sibuk dengan daging mentah dan sayurannya merasa tak enak. Sebaiknya dia pulang sekarang daripada mengganggunya. “Emm, yaudah kalau gitu, Bu, Kara pulang dulu. Takutnya keganggu, ibu kan mau masak.”
“Ih, apaan meuni gak enak-gak enak gitu. Tenang we. Ibu juga kan yang ngajak kamu ngobrol.” Ibu Sany tersenyum. Senyumannya begitu manis. Dan Angkara yakin dari sinilah awal mula senyuman Ayumi yang pernah dilihatnya waktu itu. Entah kenapa membuatnya ikut senang. “Di sinilah dulu bantuin ibu,” pinta Ibu Sany.
Angkara terkekeh-kekeh, “Kara gak bisa masak, Bu.”
Lalu terdengar suara petir yang menggelegar. Sangat tiba-tiba dan mengagetkan. “Kayaknya mau hujan, ya?” tanya Angkara meminta persetujuan.
“Iya. Ber-ber-ber sih. Musim hujan.”
“Ya udah kalau gitu Kara ….”
“Aduhh! Lupa. Jemuran.” Ibu Sany mencuci tangannya dengan tergesa. Lalu berlari keluar rumah. Diikuti Kara di belakangnya.
Ibu Sany dan Angkara memindahkan jemuran ke garasi. Saat Angkara akan berbicara, Ibu Sany mendahuluinya. “Emm, ibu boleh minta tolong lagi gak?” tanyanya dengan sungkan.
“Oh, iya. Boleh dong.” Angkara menggangguk dengan antusias.
“Gini, loh. Sebenarnya Yumi itu, kan lagi kerja kelompok di rumah Hana.”
Iya, jawab Angkara dalam hati sembari mengangguk lagi. Pantesan aja dari tadi gak kelihatan.
“Ibu minta tolong ya, jemput Yumi. Takut keburu hujan gede. Bisa-bisa sampai malem dia di sana. Kamu mau, kan?”
“Ohh, gitu. iya boleh-boleh. Kasian juga kalau sampai dia kejebak hujan.”
Ibu Sany ke dalam rumah dengan cepat. Lalu kembali dengan HP di tangan kanannya. “Ibu udah kasih tahu dia buat share location ke kamu.”
“Ehh, dia punya nomor kamu gak?” tanya Ibu Sany. Dia lupa jika Ayumi itu anti dengan laki-laki. Jangankan punya nomor laki-laki. Berinteraksi secara intens dengan laki-laki aja Ibu Sany ragu anaknya itu bisa.
“Kalau Yumi, sih, gak punya nomer Kara. Tapi tenang, Kara punya, kok.” Kara sibuk mengetikkan pesan di HPnya. “Untungnya Kara iseng minta dari Gio waktu itu.” Kara terkekeh-kekeh. “Ternyata berguna juga.”
“Nomor kamu berapa? Biar ibu simpen juga.”
Kara mengetikkan nomornya di HP Ibu Sany. Mencoba mengetesnya hingga HP punyanya berdering. “Ya udah kalau gitu. Kara pergi dulu, Bu. Sebelum hujannya bener-bener turun.”
Angkara memasukkan HP-nya. Lalu mencium punggung tangan Ibu Sany. Setelah mengucapkan salam, Angkata pergi menaiki motornya ke rumah sahabat Ayumi. Tentunya dengan kekuatan menyetirnya yang super.
Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]
Angkara menghentikan motornya di pinggir jalan. Ada chat dari Ayumi mengenai lokasi tempatnya berada. Tanpa melihat lagi pun Angkara tahu rumah sahabat Ayumi itu berada di kawasan ternama. Tempat berkumpulnya orang-orang berada.
Setelah memasukkan HP-nya, Angkara kembali membelah jalanan dengan kecepatan yang dia yakini cepat, namun masih dalam batas wajar.
Bersyukur dirinya sampai di rumah Hana tepat waktu. Bersamaan dengan kakinya yang menginjak teras rumah Hana, hujan turun dengan derasnya.
Tanpa menunggu waktu lama, setelah ketukan Angkara yang ketiga kalinya, pintu rumah terbuka. Menampilkan sosok Ayumi dengan rambut kuncir duanya. Terlihat manis, namun wajahnya berkata lain.
“Kenapa baru sampai sih?” tanya Ayumi dengan bibir cemberutnya. Persis seperti seorang perempuan yang ngambek karena telat dijemput oleh pacarnya.
“Ya jauh, Yum, dikata dari Maragas ke Maragi apa?!”
“Tapi kan enggak sejauh Sukasenang-Bandung juga Karaa!”
“Tadi gue nyasar di pertigaan depan. Jadi muter-muter deh gak nemu-nemu,” ujarnya sambil terkekeh malu.
“Kan pakai google maps, Kara. Masa masih nyasar sih?”
“Emangnya di google tertulis rumahnya Hana? Lagian petanya juga gak spesifik,” protes Angkara tak mau kalah. “Ya udah sih. Yang penting sekarang gue ada di sini.”
“Masalahnya percuma. Tuh hujan udah gede banget!” tunjuk Ayumi ke halaman rumah Hana. “Tujuan kamu ke sini kan biar aku gak kejebak hujan. Sekarang gimana? Terpaksa nunggu ujan berhenti deh.”
“Ya mau gimana lagi,” pasrah Angkara akhirnya. Dia tak mau lagi memperpanjang masalah.
Sedangkan Hana—si pemilik rumah—yang sedari tadi diam bak patung pajangan akhirnya bersuara. Dia sudah lelah menyimak saja di sana. “Udah atuhlah. Kalian mah gak di sekolah gak di mana ribuutt mulu!” Hana mengeratkan jaket yang memeluk tubuhnya. “Masuk aja, yuk! Dingin banget di sini.”
Belum juga Hana membalikkan badannya untuk kembali memasuki rumah. Ada satu orang lagi yang datang ke rumahnya. Dia menghentikan motornya. Lalu buru-buru berlari menaiki tangga rumah Hana.
“Assalamualaikum,” ucap lelaki tersebut. Tubuhnya basah kuyup karena kehujanan.
“Waalaikum salam,” jawab Ayumi dan Angkara berbarengan. Diikuti oleh Hana beberapa detik kemudian dengan suara kecilnya.
Angkara dan Ayumi saling tatap. Lalu memantapkan pandangan ke arah Hana. Di saat yang ditatap malah ikut terbengong. Mereka kembali melihat lelaki yang ada di hadapan mereka. Saling berspekulasi dalam diri sendiri. Sebenarnya siapa gerangan lelaki pucat yang berdiri kebasahan itu.
“Hana! Saya kedinginan ini. Cepat kita masuk!”
“I-iya, Pak. Maaf. Silakan masuk, Pak!” Hana membungkuk pertanda mempersilakan masuk lelaki tinggi tersebut.
“Kamu duluan! Saya tidak akan lancang mendahului pemilik rumah,” titahnya tak terbantahkan. Dengan begitu, otomatis Hana langsung menuruti keinginannya. “Kalian juga, ayo masuk!”
Ayumi dan Angkara yang ditatap sedemikian rupa langsung menjawab patuh, “I-iya, Pak.” Tanpa sadar mereka kompak mengikuti Hana memanggilnya ‘Pak’. Angkara berjalan di belakang Ayumi memasuki pintu rumah Hana yang besar.
Lelaki tesebut menutup pintu setelah memasuki kawasan ruang tamu. Sedangkan Hana, Ayumi dan Angkara terus berjalan memasuki ruang keluarga.
“Kamar mandi di sebelah mana?” tanya laki-laki jangkung itu.
Hana menghela napas. “Bapak jangan berlagak seolah-olah baru ke sini deh,” ujarnya malas.
“Iya. Terakhir saya berkunjung ke sini kamar mandi tamu sedang dalam masa pengrusakan.”
“Itu udah tiga hari yang lalu, Pak,” elak Hana. “Lagian bukan masa pengrusakan, tapi masa perbaikan!” kesalnya tak terima.
“Iya-iya, kamu yang merusak saat itu juga.”
Lagi-lagi Hana menghela napas berat sebelum berbicara, “Silakan Bapak Agus yang terhormat. Sekarang kamar mandi sudah dapat digunakan dengan baik.” Berhenti sejenak hanya untuk memandang wajah lelaki yang diyakini gurunya tersebut. “Bapak bisa berdiri dulu di depan kamar mandi. Tepat di atas keset. Karena sedari tadi air menetes dari pakaian bapak yang basah.”
Laki-laki yang dipanggil Bapak Agus itu pun mengikuti arah mata Hana. Memang benar di bawahnya genangan air sudah terlihat seperti kubangan. Ayumi dan Angkara pun melihat ke arah yang sama.
Di saat Pak Agus melihat ke belakang mengikuti jejak kakinya tadi. Mereka pun secara bersamaan melihat jejak air tersebut. Sampai berakhir di depan pintu rumah Hana yang tertutup rapat.
“Akan saya pel nanti setelah selesai membersihkan diri.” Dirinya berjalan dengan cepat menuju kamar mandi.
“Tidak usah Pak Agus. Sesuai petuah bapak saya akan bersikap sopan pada yang lebih tua,” ujar Hana. “Mana berani saya menyuruh bapak mengepel lantai.”
“Tidak apa-apa. Kali ini saya yang bertanggung jawab membersihkannya.”
Hana hanya tersenyum sembari meninggalkan ruangan tersebut. “Ya udah, aku ambilin handuknya dulu.”
Setelah mendapatkan handuknya, Pak Agus buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Lalu mengunci pintunya.
“Tapi maaf, Pak, showernya masih rusak. Bapak pakai gayung aja, ya. Ujan-ujan begini seger kalau air dingin,” Hana terikik geli saat mendengar geraman kesal diikuti namanya yang diteriaki oleh laki-laki di dalam sana.
“Parah kamu, Han, dia kan abis keujanan. Bisa menggigil dia kalau kayak gitu,” ujar Ayumi khawatir. Terlihat dari raut wajahnya yang menampilkan seperti itu. Sifat Ayumi yang baik hati dan selalu memikirkan orang lain timbul di saat yang begini.
“Tenang aja. Badan keker gitu kok kamu khawatirin,” ujar Hana menghampiri sahabatnya. Di saat melihat Angkara yang berdiri di samping Ayumi, dia baru menyadari jika ada tamu lain di rumahnya. “Eh, Kara. Aku jadi lupa, ‘kan ada kamu. Mau minum apa, Kara?”
“Enggak apa-apa. Selow aja. Kalau ujannya reda juga gue bakal bawa Yumi balik.”
“Sayangnya kamu gak bakal bisa pulang secepat itu, Kar,” ujar Hana tersenyum misterius. “Ya udah, tunggu ya. Aku bakal ambilin minum dulu.” Dia berjalan pergi ke arah dapur.
“Tebak-tebakan, Yum,” kata Angkara berbisik-bisik. Dia mendahului Ayumi duduk di sofa.
“Apa?” tanya Ayumi penasaran. Tentunya dengan berbisik-bisik pula. Menundukkan tubuhnya, lalu perlahan-lahan duduk di samping Angkara.
“Menurut lo, dia siapa?” tanya Angkara. Tanpa menujuk pun, Ayumi sudah tahu pasti siapa yang dimaksud.
“Saudara.” Ayumi berbicara ragu. Melihat Angkara yang sama tak yakin juga. “Kalau enggak, guru,” ucapnya kemudian.
“Kalau saudara gue gak terlalu yakin. Kenapa harus ‘Pak’? Kenapa enggak manggil ‘Om’? Ke—,”
“Gimana kalau itu teman ayahnya? Atau kakaknya?” terka Ayumi. “Lagian mukanya gak keliatan tua, ah. Sampai harus dipanggil ‘Pak’ begitu.”
“Menurut gue dia gurunya sekaligus temen kakaknya. Makanya keliatan muda,” kali ini mereka berdua sudah lupa untuk bicara bisik-bisik. Jadilah Hana yang sedang menuju ke ruang keluarga dapat mendengar percakapan dua sejoli itu.
“Lagi ngomongin apaa, sih?” goda Hana.
Hana meletakkan dua minuman ke atas meja. “Bisa langsung tanya kok, gak usah bisik-bisik berbusik!” Hana duduk, melihat dengan senyuman sahabatnya dan adik kelas yang selalu menjadi teman gelutnya itu. Sampai saat ini dia masih bingung. Kenapa mereka bisa seakrab ini. Bahkan sampai ibu Ayumi memberi titah pada lelaki rese tersebut.
Hana tak mau bertele-tele dan membuat mereka berspekulasi yang lain. “Okeh, aku langsung to the point aja. Dia—“
“Hana!” suara dalam yang cukup mengejutkan. Pak Agus sudah keluar dari kamar mandi. Menggunakan baju kebesaran dan celana training yang diyakini milik Ayah Hana—Adiwinata.
“Ayo, bantu saya membersihkan ini!” Pak Agus berlalu ke belakang. Mau tak mau Hana langsung patuh mengekorinya, sebelum ucapan tersebut kembali terulang. “Kalian berdua juga, bantu saya!”
Hana, Ayumi dan Angkara akhirnya mengikuti pergerakan Pak Agus, mengepel dan memeras secara bergantian. Karena air yang cukup banyak membasahi lantai dipel dengan pel bergagang saja tidak cukup. Harus menggunakan lap kering, lalu diperasnya berulang-ulang. Hingga jejak air mengkilap sampai kering tak tersisa di lantai granit rumah Hana.
Tak sampai di situ, saat Pak Agus melihat lantai dapur yang ternyata kotor, dia menginginkan ruangan itu juga ikut dibersihkan. Hana beralasan Bi Tuti sedang sakit, sehingga lantai rumah jadi tak terurus.
Ayumi dan Angkara hanya pasrah menurut untuk membantu Pak Agus menyapu dan mengepel seluruh lantai rumah Hana yang ada di lantai satu.
Ternyata kelainan Pak Agus itu termasuk mengerikan. Dia tidak bisa tahan saat melihat lantai yang kotor sedikit saja. Sepertinya memang memiliki penyakit kebersihan, atau kerasukan hantu bersih-bersih. Akan Ayumi tanyakan pada Hana nanti.
Sedangkan Hana yang sudah protes dan merengek berkali-kali tak akan mempan untuk seorang Pak Agus. Hana malah mendapatkan omelan pedas yang menyakitkan. Berkali-kali mereka bertengkar dan selalu berakhir dengan Hana yang menurut melanjutkan perkerjaan sembari cemberut menahan kesal.
Setelah berjam-jam Ayumi dan Angkara berada di rumah Hana. Akhirnya mereka bisa pulang saat hujan sudah benar-benar berhenti. Dua kali mereka gagal pulang, karena selalu ditahan oleh Pak Agus dengan alasan untuk menemani Hana mengikuti pembelajaran.
“Kasian Hana,” ujar Ayumi khawatir. Dia kembali mengingat wajah sahabatnya yang memelas tadi. Seakan meminta pertolongan kepadanya.
“Biarin ajalah dia, ‘kan guru yang diperintah mamihnya juga,” ujar Angkara santai. “Lagian gue curiga dia bukan cuma sekedar guru buat Hana.”
“Maksudnya?” tanya Ayumi tak mengerti.
Angkara tak menimpali lagi. Dia kembali fokus mengendarai motornya melewati jalanan kota. Berharap dapat sampai ke rumah sebelum matahari benar-benar terbenam di ujung barat.
[*****]
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote, comment, subscribe dan rating!
Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan.
Cerita ini sedang dalam proses revisi.
Kritik dan saran akan sangat membantu.
Feedback mengikuti.
Terima kasih.
Putri Kemala Devi Yusman
08:33
260420
280121
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Ayura
Ficção AdolescenteAyumi membenci seorang murid pindahan yang berstatus sebagai adik kelasnya. Dia selalu risih ketika sosok tersebut hadir di hadapannya. Sialnya, Ayumi tidak dapat menghindar karena kelas mereka bersebelahan. Akan tetapi, hati selalu berkata lain, se...