☆Keputusan

4 1 0
                                    

Saat kita telah tiba dibatas yang digariskan.

Apa iya, bagimu pilihan akan lebih mudah diputuskan ketika hati telah dibuat hancur sehancur-hancurnya?

Setelah kau mengorbankan banyak hal, sedang ia tidak pernah peduli. Apa lagi yang kau inginkan darinya?

"Haih, apa yang kau tulis-tulis itu, Ra?" Tanya kak Emi, salah satu staf pelaksana

"Nda tau kak.. saya juga cuma asal tulis." Jawabku seadanya setelah dengan cepat mereras kertas yang sempat dibaca oleh kak Emi

"Ayo keluar makan!" Ajak kak Emi

Mendengar kata "makan" seketika aku tersenyum menatapnya. Tanpa suara sama sekali, aku langsung berdiri seraya menarik tas ku. Tanpa di jelaskan, semua orang kantor juga paham. Seorang Zahra ketika diajak makan, tidak akan banyak bicara dan tidak menunggu diajak kedua kalinya.

Makan dan minum adalah hobi utama bagi semua orang. Hanya makan dan minum lah yang konsisten terus dikerjakan dalam hidup. Tak sehari pun orang bisa meninggalkan kebiasaan itu. Sepakat? (Kalau tidak, ya tidak masalah)

"Zahra di mobilku saja." Pinta Iwan

Aku menoleh sebentar sebelum membuang muka. Semobil sama dia, bukannya ke rumah makan yang ada kita ke rumah sakit jadinya. Bukan karena dia tidak bisa nyetir, tapi karena aku sama dia tidak bisa jika tidak ribut. Jangankan di dalam mobil yang cukup luas untuk bergulat. Di atas motor saja kita pernah bertengkar hanya karena hal yang tidak penting dan menyebabkan kita hampir tertabrak.

"Saya mau makan, Wan. Bukan mau di rawat atau di kubur." jawabku yang langsung membuat beberapa orang yang mendengarnya tertawa. Dan Iwan, hanya menggaruk bagian belakang lehernya.

Meski panas, lebih baiklah aku sama kak Emi naik motor. Bukan apa-apa, aku memang lebih suka motor daripada mobil. Alasan pertama karena aku mabuk meski sekarang sudah tidak pernah sih, mungkin karena sudah terbiasa. Dan alasan kedua itu, aku tidak bebas menikmati udara segar. Biasa aku buka jendela lebar-lebar malah di tegur harus di tutup rapat terus nyalakan AC, astaga hidungku tidak cocok.

Aku tidak lagi mendengar suara tawa atau kalimat ledekan yang akan mereka tujukan ke Iwan. Karena motor kak Emi sudah jalan lebih dulu meninggalkan mereka yang lambat geraknya.

"Ra.." ucap kak Emi

Ia masih melajukan motornya ditengah jalan yang begitu panas. Entahlah suara deru angin itu menghalangi suaranya atau pendengaranku yang kurang jelas. Yang pasti, aku hanya mendemgarnya samar-samar.

"Ya, kenapa kak?" Tanyaku dengan setengah mencondongkan badanku ke depan, tepas dibelakang bahunya

"Kamu kemana 3 hari ini dek?"

Mendengar pertanyaannya, aku tidak langsung menjawab. Sebisa mungkin aku memilih kalimat yang tepat agar jatuhnya tidak berbohong meski tidak mengatakan yang sebenarnya.

Aku juga baru ingat, ternyata aku tidak masuk kantor sampai 3 hari. Seketika rasa tidak enak dan penyesalan muncul. Mengingat akhir-akhir ini terlalu banyak tugas yang harus aku selesaikan. Aku jadi merasa lari dari tanggung jawab.

"Mmm, kemarin itu sebenarnya saya cuma izin lambat masuk kak. Tapi ada yang saya urus lagi setelahnya. Terus saya nda sempat minta izin lagi." Jawabku

Mungkin kak Emi tidak terlalu jelas mendengarnya. Ia hanya mengangguk tanpa mengurangi laju kendaraannya. Baru saja ia ingin mengucapkan sesuatu. Tiba-tiba mobil Iwan sudah membunyikan klakson tepat di samping kami.

"Waaan.. awas kau Wan!" Pekik kak Emi

Aku hanya menggeleng sambil mengusap dadaku yang dag dig dug dibuatnya. Hingga kita tiba di rumah makan yang menyajikan berbagai menu makanan kuah, ia tidak pernah lagi bertanya. Sedikit bersyukur karena ulah jail Iwan tadi. Memang ya, manusia itu kalau hidup mestilah bermanfaat.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang