Hukuman dari Bu Ita memisahkan kami menuju dua jalur yang berbeda. Ardan, Dodot dan Emen belok kiri ke arah kamar mandi, sedangkan aku belok kanan, kembali ke kelas. Sekilas kulihat lengkung dibibir Emen yang terlihat seperti ingin menangis. Tapi Dodot langsung menepuk punggungnya, “Men, cowok nggak boleh cengeng!”
“Ya Tuhan, hukum aku jadi cewek aja biar bisa nangis sepuasnya!” Seru Emen sambil sedikit terisak.
Dua orang siswi yang kebetulan lewat langsung berhenti ketika mendengar keluhan Emen.
“Eh, kamu kira enak jadi cewek? Yang bikin kita, para cewek-cewek ini nangis, ya para cowok. Fakboi. Kita sebagai cewek, terlalu sering disakitin. Wajar lah kalo cewek berhak nangis sepuasnya!” ucap salah satu anak perempuan berkuncir kuda sambil melipat tangan dan mendengus kesal.
“Lagian, kamu pikir jadi cewek itu enak karena bisa nangis? Kita kudu nahan sakit perut tiap datang bulan. Sakitnya tuh kayak ginjel disentil ama malaikat Izroil. Kamu sih enak, cowok, ngerasain sakitnya sunat Cuma sekali seumur hidup. Lah kita?” kali ini teman satunya yang bicara, si kacamata. “Kalo boleh milih, ya kita sebagai cewek milih gak nangis, lah! Kamu pikir nangis itu hobby? Kagak!”
Seolah hukuman dari Bu Ita belum cukup berat, masih diceramahi cewek-cewek pula. Malang betul nasib kalian, teman. Di rumah dimarahi ibu, di sekolah dimarahi guru, sekarang ditambah dimarahi cewek-cewek pula. Itu sebabnya aku tidak tertarik punya pacar. Pusing!
Selepas melambaikan tangan perpisahan ke arah Ardan, Dodot dan Emen, yang langkahnya masih terhenti karena diomeli dua siswi tak dikenal itu, aku melangkahkan kaki ke kelas dengan gontai. Saat ini pasti sudah mulai jam pelajaran Bahasa Indonesia. Membayangkannya saja kepalaku makin pening.
Menurutku pelajaran yang paling tidak penting adalah Bahasa Indonesia. Kupikir pelajaran itu akan mudah, karena toh bahasanya kita gunakan sehari-hari. Tapi nyatanya kaidah berbahasa itu rumit. Pantas saja aku kesulitan punya pacar. Mempelajari bahasa sehari-hari saja pusing, apalagi bahasa cewek yang suka bilang, “terserah”, tapi kalau nggak sesuai maunya malah bilang, “kamu nggak peka!”.
Baru saja aku melangkahkan kaki masuk ke dalam, suara bariton yang khas milik Pak Jalal langsung menyambutku dengan meriah.
“Ini dia, pahlawan kita sudah datang. Mari kita sambut kepulangan ksatria gagah berani yang telah berjuang di medan perang ini, MIKHA !!!!”
Riuh rendah tepuk tangan Emenuhi seluruh kelas. Aku hanya bisa melongo. Apa-apaan ini? Kenapa kelas malah jadi ramai? Dan lagi, pahlawan? Sejak kapan aku jadi ksatria?
“Mikha, kemari.” Kata Pak Jalal sambil melambaikan tangan kearahku, isyarat untuk mendekat. “Saya dengar anda tadi dihukum hormat di depan tiang bendera selama dua jam karena ketahuan bolos di jam upacara?”
Wajahku memerah malu. Masih ingat bagaimana rasanya kami berempat tadi digiring ke tengah lapangan sekolah dan dipermalukan dihadapan seluruh penghuni SMA Persada Khatulistiwa. Kami dihukum berdiri sambil hormat di depan tiang bendera selama dua jam.
“Tema pelajaran kita hari ini adalah reportase,” lanjut Pak Jalal lagi sebab aku tak kuasa menjawab pertanyaannya. “Jadi hari ini anda mendapat kesempatan untuk melaporkan seperti reporter di tempat kejadian perkara.”
“Ma... Maksudnya, pak?” tanyaku gugup. Aku masih butuh udara segar untuk sedikit bernafas setelah menjalani setengah hukuman dan mendapat vonis. Ini, masuk kelas malah langsung disuruh tampil. Alamak!
“Anda pasti pernah menonton berita, bukan? Jadi hari ini, peran anda adalah sebagai reporter lapangan yang melapor dari TKP. Beritanya adalah apa yang terjadi di lapangan upacara pagi tadi. Reporter Mikha dari tempat kejadian perkara, dipersilahkan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kecil Mikha
HumorMikha hanya seorang siswa biasa dengan nilai akademik biasa dan hidup biasa yang cenderung monoton. Hingga suatu hari ia ikut ketiga kawannya bolos jam upacara dan mendapat hukuman menulis. Dari situ akhirnya ia mulai menemukan hasratnya dibidan tul...