❤️13 Jarak

15.4K 2.7K 105
                                    

Sejak Abimanyu mengatakan Bu Ani masih dirawat di Singapura, kami hanya bertemu dua kali. Karena dia sibuk dengan pekerjaannya dan juga bolak balik Yogya Singapura. Aku tidak mau menambah bebannya dengan terus meminta perhatian dia. Kami sama-sama sudah dewasa. Kalau hubungan kami bukan lagi masa anak remaja yang tengah menjalin hubungan. Apalagi kami memang masih terbilang baru. Memang tidak ada kata yang memastikan kami menjalani ini semua, tapi aku tahu Abimanyu serius denganku.

Maka, intensitas komunikasi kami selama satu bulan ini memang benar-benar jarang sekali. Dia masih sering menanyakan Ica dan aku tiap harinya tapi sudah sangat larut malam, mungkin saat dia sempat dan aku sudah tertidur. Paginya aku lupa membalasnya. Dan itu semakin hari semakin jarang. Kami menjadi dua orang asing yang tidak menjalin hubungan apa-apa. Ica juga awalnya terus menanyakan Abimanyu, tapi seiring waktu, saat Hendra malah gencar mendekati Ica dan sukses mengalihkan Ica dari Abimanyu.

Aku tidak bisa berbuat apapun, toh Ica memang anaknya Hendra dan mereka butuh itu. Aku tidak mau mental seorang anak menjadi down saat kedua orang tuanya bercerai. Entah motif apa Hendra mendekati Ica, aku tidak peduli. Yang pasti Ica bisa tersenyum dengan bahagia. Sesimpel itu.

"Mbak, ini pesenan kebaya yang buat Minggu besok harus diselesaikan hari ini kan?"

Maya menunjuk kebaya warna biru muda yang masih separuh selesai itu. Kuanggukan kepala.

"Iya. Kurang kasih bordiran aja di ujung May. Kamu bisa? Aku lagi nanggung banget ini. Bu Ira minta diselesaiin besok nih."

Aku menunjuk seragam kantor yang memang sedang aku kerjakan. Maya menganggukkan kepala dengan patuh.

"Siap Mbak. Aku bisa kok."

Dia melangkah menuju mesin bordir dan duduk di sana. Aku merasa beruntung Maya itu bisa melakukan semuanya kalau aku sedang tidak bisa. Dia partner yang baik.

Saat tengah sibuk dengan jahitan kancing, tiba-tiba ada yang masuk ke dalam toko. Posisiku yang langsung bisa melihat pintu langsung tertegun melihat siapa yang kini berdiri di sana. Itu Lia. Wajahnya sembab dan tampak kacau.

"Ndis, bisa bicara?"

Maya langsung menoleh dan mengernyitkan kening saat melihat siapa yang datang. Aku menatap Lia tanpa memberikan reaksi apapun. Kenapa dia datang ke sini?

"Maaf. Aku sedang sibuk."

Akhirnya kuucapkan itu. Aku toh memang tidak mau berbasa basi dengannya. Memangnya hati aku seputih salju? Hingga bisa memaafkan kesalahannya? Enak saja.

Lia tidak mendengarkan ucapanku karena dia malah kini menarik kursi dan duduk di depan mesin jahitku. Kenapa sih? Di saat seperti ini aku dipertemukan lagi dengannya?

"Aku cuma bicara sebentar. Kamu kan udah punya calon suami, tolong lepasin Hendra."

Kali ini bahkan jariku tertusuk jarum yang baru saja aku lepas dari baju yang aku jahit. Aku langsung mengulum jemariku dan menyesap rasa darah yang mengalir.

"Nggak ada urusan sama aku," jawabku ketus. Lia kini mengusap matanya yang kali ini menangis. Dia ini maunya apa sih?

"Aku tahu kamu emang udah benci sama Hendra. Aku juga tahu kamu membenciku juga. Aku minta maaf karena sudah merebut Hendra dari kamu. Tapi itu...," Lia menatapku sekali lagi.

"Kami tidak bisa menghindarinya. Tiap hari kami bertemu, Hendra itu orang baik, bahkan sangat perhatian, jadi aku... Aku jatuh cinta sama dia."

Astaga.

Aku tidak mau mendengar hal semacam ini lagi. Bukannya aku sudah tutup buku? Tapi ini menyakitiku saat dia mengatakan itu. Rasanya aku ingin...

Tanganku terasa begitu panas. Maya bahkan sampai beranjak dari duduknya dan menatapku dengan khawatir. Lia sudah memegang pipinya yang baru saja aku tampar.

"Mbak...,"

Itu suara Maya. Aku memejamkan mata dan kini mencoba menenangkan diriku. Lalu menatap Lia yang diam dan menunduk.

"Tahu nggak, aku tuh udah nggak mau kayak gini. Tapi kamu mancing aku. Kamu itu jahat tahu nggak? Kenapa kamu berbuat seperti ini Li? Aku tuh kurang apa sama kamu. Aku anggap kamu sahabatku paling baik."

Akhirnya aku kelepasan juga. Emosi selama hampir 10 bulan yang mengendap ini langsung keluar semuanya. Aku menangis karena merasa kesal dengan diriku sendiri.

"Aku salah Ndis. Iya. Aku salah. Tapi sekarang aku udah Nerima karmanya. Hendra lagi jauhin aku karena aku yang terus menuntut untuk melakukan bayi tabung. Hendra menyalahkan kondisiku dan dia malah mengancamku untuk menceraikan ku kalau aku masih terus begini. Aku udah kena hukumannya Ndis. Tapi aku tidak bisa melepaskan Hendra. Aku terlalu cinta sama dia. Please, kamu lepasin Hendra ya?"

Sialan.

*****

Aku menyesap kopi pahit di cafe ini. Ica sedang menikmati es krimnya. Tadi Hendra mengembalikan Ica setelah diajaknya membeli mainan. Hendra memang tidak mengatakan apapun, aku juga tidak menceritakan kedatangan Lia ke toko. Malas membahasnya.

"Bunda, elsanya cantik ya?"

Ica menunjuk boneka Elsa yang dibelikan Hendra. Aku hanya menganggukkan kepala dan mengusap rambut Ica dengan sayang. Ah rasanya tuh aku hanya ingin berdua dengan Ica. Membahagiakan Ica. Tidak usah ada siapapun. Aku ingin menikmati kesendirianku ini. Aku sudah lelah untuk terus merasa sakit begini.

"Bun, Ica mau ke sana ya?"

Ica menunjuk play ground yang memang disediakan di cafe ini untuk anak-anak. Kuanggukan kepala sekali lagi. Ica berlari meninggalkanku. Aku termenung dan menatap lembayung senja di luar sana. Apa aku nggak boleh hidup bahagia? Kenapa selalu saja ada rintangan?

Dering ponselku membuat aku mengernyit, saat menatap layarnya aku melihat id yang meneleponku.

Abimanyu.

Kuhela nafasku. Rasanya masih malas mengangkatnya. Abimanyu pasti juga sedang sangat sibuk dengan urusannya. Aku nggak mau mengganggunya. Tapi ponselku terus berdering. Akhirnya kuangkat panggilan itu.

"Halo."

"Halo, Gendhis."

Tenggorokanku tercekat mendengar suara Abimanyu di ujung sana. Entah kenapa aku ingin melampiaskan semua kesedihanku ini kepadanya.

"Iya Mas."

Suaraku sudah bergetar dan aku mencoba untuk menahannya.

"Ndis, kamu baik-baik aja?"

Pertanyaannya itu membuatku tidak bisa menahan tangisku. Aku membekap mulutku agar tak terdengar Isak tangisku. Untung saja aku duduk di pojok jadi tidak begitu menarik perhatian.

"Sayang."

Dan pecahlah tangisku saat itu. Semua rasa yang menumpuk selama satu bulan ini tidak bisa aku tahan. Aku menangis dan Abimanyu mendengarkan ku dengan sabar. Setelah sedikit reda, akhirnya dia bersuara.

"Aku khawatir sama kamu. Denger kamu nangis gini ingin rasanya aku pulang."

Dari ucapannya aku tahu dia tidak sedang ada di Yogya. Memang beberapa hari lalu dia sempat berpamitan ingin menjenguk Bu Ani. Tapi aku hanya membalas sebisanya saja.

"Mas masih di Singapura? Bagaimana keadaan Bu Ani?"

Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Nggak mau membebani pikiran Abimanyu.

"Aku yang khawatir sama kamu. Maaf selama ini aku belum bisa ketemu, nemuin kamu dan Ica. Jadwalku padat banget, dan harus jenguk Ibu."

"Enggak apa-apa Mas. Aku ngerti kok."

Ada jeda lumayan di ujung sana. Yang terdengar hanya helaan nafas. Aku tahu dia juga berat di sana.

"Kamu, masih mau bertahan nungguin aku kan Ndis? Aku butuh kamu."

Ucapan itu membuatku menangis lagi. Kenapa semuanya ini terasa begitu berat?

"Aku akan berusaha Ndis. Buat kita, buat kamu, aku dan Ica."

Bersambung

Ambil tisu ah nangis ini...puk puk Gendhis...

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang