Part 17

901 73 24
                                    

Fildan melaju menuju mansionnya setelah mendapat kabar Lesti pingsan. Sebenarnya ia masih kesal dengan kedatangan Morgan ke rumahnya. Jika ditanya alasannya, sama seperti Lesti, Fildan tidak suka jika Lesti memperhatikan orang lain lebih daripada dirinya. Taruhlah dia egois karena melarang sang puteri dekat dengan yang lain, tetapi dirinya sendiri membangun hubungan baru dengan Rose. Meskipun dia tidak sepenuhnya salah. Mencari wanita baru dalam kehidupannya adalah permintaan Lesti sendiri.

Sesampainya di mansion. Fildan berjalan santai seolah tidak terjadi apapun. Dia hanya menanyakan keadaan Lesti. Setelah dilaporkan membaik, Fildan segera ke dalam kamarnya sendiri. Tak menengok Lesti sesaatpun.

Di kamar, Fildan tak dapat tidur juga. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Fildan memikirkan keadaan Lesti. Amarahnya tidak cukup kuat untuk menghapus kasih sayangnya untuk sang puteri. Fildan berdiri ingin membuka pintu kamarnya, namun langkahnya terhenti mendengar suara ketukan pintu yang samar - samar karena begitu lemah. Fildan mendekatkan telinganya ke pintu dan mendengar seruan Lesti di luarnya. Hati Fildan terasa perih.

"Papa, Lesti diluar. Papa sudah tidur?, Papa."

Sekian lamanya tak ada jawaban. Lesti berusaha bangkit dari lantai dan kembali ke kamarnya. Tetapi tubuhnya masih sangat lemas, sehingga langkahnya tertatih dengan bertumpu ke dinding. Sementara para bodyguard tidak bisa membantunya, karena Lesti meminta mereka berjaga di lantai bawah.

"Pa, aaah." Lesti nyaris ambruk, tetapi sebuah tangan besar menarik perutnya. Mata Lesti bertemu dengan tatapan dingin pria kesayangannya. Senyuman memancar indah dari wajah sendu Lesti dalam suasana hening.

"I love you Papa," Lirihnya dengan mata berkaca - kaca.

Fildan menghela napas berat. Tatapannya beralih dari Lesti, diangkatnya tubuh mungil itu ala bridal style lalu membawa ke kamarnya.

Fildan meletakkan tubuh rapuh Lesti di ranjang dan bersiap pergi, tetapi Lesti menahannya. Lesti tidak berkata apapun. Hanya menatapnya saja. Namun seperti itu saja sudah membuat Fildan merasa berat. Apalagi wajah Lesti pucat, matanya pun bengkak karena terus menangis.

Merasakan dinginnya tangan itu, Fildan paham, sebentar lagi demam Lesti akan naik. Terpaksa ia duduk di sampingnya. Meskipun matanya menatap ke sana ke mari. Tak mau mengarah ke gadis mungil yang tak berpaling mata sedetikpun darinya.

Lesti menarik tubuh Fildan agar berbaring di sampingnya. Lagi - lagi Fildan menurut. Namun tetap tak mau menatapnya. Bahkan dia tetap diam ketika Lesti meletakkan kepala di dada kirinya. Begitupun ketika senyuman Lesti mengembang mendengar detak jantung Fildan yang begitu cepat. Lesti mengusapnya lembut lalu meletakkan tangan Fildan di atas pipinya.

Fildan memiringkan tubuh agar posisi tidur Lesti membaik. Tubuh Lesti semakin terasa panas. Fildan menghiba.

"Kamu minum obat demam dulu."

Lesti tak bereaksi. Matanya telah terpejam sambil mendekap tangan Fildan. Posisi ini membuat Fildan serba salah. Dia masih ingin marah, tetapi kondisi Lesti membuatnya sulit.

"Bangunlah dulu, minum obat."

"Obat Lesti adalah Papa, Lesti gak butuh yang lain," lirih Lesti yang terdengar seperti racauan.

"Ini konyol, kenapa aku gak tega sama dia," bathin Fildan.

Lesti mendongakkan kepala, membuka mata sayunya dan menatap lurus ke netra hitam Fildan. Setelahnya kembali merunduk melekatkan wajahnya di dada kiri Fildan.

"I love you, Papa."

Suara Lesti tenggelam dalam lirih deru napasnya yang begitu hangat. Fildan semakin menghiba. Ia merosotkan tubuhnya mensejajarkan kepala dengan Lesti. Perlahan ia meletakkan bibirnya di kening gadis itu dan memejamkan matanya. Berusaha, hingga benar - benar terlelap.

My Sugar Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang