08 🍒 mama

5.1K 836 61
                                    

Yeri tidak tahu mengapa dia melakukan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yeri tidak tahu mengapa dia melakukan ini. Padahal, dia baru pulang pukul satu pagi dari rumah sakit dan baru tertidur satu jam, tetapi Karina berhasil membuatnya mengkhianati tubuhnya sendiri hanya dengan melalui direct message di Instagram.

Terlebih lagi, Karina bukan siapa-siapa—hanya anak kecil yang berbagi nama belakang dengannya. Perihal mamanya Karina yang sakit juga bukan urusan Yeri, toh ada banyak dokter di luar sana, jadi mengapa Yeri menyetir seperti orang kesetanan menuju alamat apartemen yang Karina kirim beberapa menit yang lalu? Mengapa Yeri peduli?

"KARINA!" Yeri dengan tidak sabar memencet bel unit apartemen Karina sesampainya dia di sana. Suasana koridor yang sangat sepi membuat Yeri semakin menekan tombol bel dengan brutal. Karina kemana, sih? "BOCIL, KELUAR LO! HEH BOC—"

Ceklek.

"Kak Yeri?"

Yeri tertegun. Karina di hadapannya sungguh kacau. Matanya sembab, hidungnya memerah dan rambut panjangnya dicepol asal-asalan.

"Mana nyokap lo?"

"Ma-mama pingsan, Kak." Karina membuka pintu lebih lebar, lantas bergeser agar Yeri dapat masuk dengan mudah ke dalam apartemen. "Aku tadi ninggalin Mama di depan kamarku."

"Cepet, gue gak punya banyak waktu," balas Yeri, mengikuti Karina dengan tidak sabaran seraya mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan yang bisa dibilang sederhana itu. Ukuran ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga saja lebih besar kamar mandi Yeri di rumah.

"Aku gak kuat bawa tubuh Mama ke kamar atau sofa, jadi..."

Suara Karina teredam begitu saja kala netra Yeri menangkap sosok wanita paruh baya yang terkulai lemas di depan pintu. Kakinya sontak terpaku ke lantai.

Telinga Yeri berdenging. Seluruh indra Yeri mendadak kehilangan fungsinya ketika otaknya mengenali siapa sosok wanita yang Karina klaim sebagai ibunya tersebut.

"Mama."

Bukan, itu bukan suara Karina, melainkan Yeri yang entah sejak kapan sudah bersimpuh di samping tubuh Irene.

"Ma?" Suara Yeri terdengar begitu lirih, seolah-olah dia tidak mempercayai apa yang dia lihat. Bahkan guratan usia di wajah Irene tidak membuat Yeri tidak mengenali sosok yang potretnya tersimpan rapi di atas nakas di kamarnya. Sosok Mama.

Iya, Mama.

Yeri tertawa getir, menertawakan takdir yang bermain-main dengannya. Sembilan belas tahun Yeri hidup sendiri, menyalahkan dirinya sendiri karena membuat Mama pergi, tetapi sekarang sosok itu begitu nyata ada di pelupuk matanya.

Mama. Mama. Mama.

"Kak?" Suara pelan Karina terdengar. "Kakak kenapa? Mama gak kenapa-napa, kan?"

"Gapapa." Yeri dengan cepat mengusap airmatanya yang jatuh tanpa permisi. Seketika dia ingat tujuannya kemari. Biarlah dia melupakan sejenak rasa rindu dan berbagai macam pertanyaan yang bercokol di kepalanya. Dia di sini sebagai seorang dokter, bukan seorang anak yang telah belasan tahun tidak pernah bertemu ibunya. Yeri harus profesional. "Lo bantu gue angketin Mama ke dalam mobil, kita ke rumah sakit sekarang."

Pukul tiga pagi, Yeri membelah jalanan Jakarta dengan berbagai pertanyaan yang terus berdatangan di kepalanya.

Mama selama ini di Jakarta, tapi kenapa gak nyariin Yeri?

Apa Mama benci sama Yeri?

Terus, kenapa Karina bisa sama Mama?

🍒🍒

"Gimana, Mark?" Yeri berdiri dari duduknya ketika Mark, temannya sekaligus dokter yang berjaga di IGD, selesai memeriksa Irene.

Karina ikut berdiri. "Mama saya kenapa, Dokter?"

"Kemungkinan Nyonya Irene menderita usus buntu atau radang," jawab Mark. "Tapi untuk memastikan, harus dilakukan tes urine dan tes darah, juga CT scan. Sebelum itu—"

"Gue aja yang ngurus administrasinya," sambar Yeri, sudah hapal dengan prosedur rumah sakit yang akan diutarakan oleh Mark. Tatapannya lantas berpindah ke Karina. "Bocil, lo tunggu di sini."

"I-iya, Kak."

Tidak butuh waktu lama bagi Yeri untuk menyelesaikan administrasi. Dia mengambil duduk di samping Karina yang berada di kursi tunggu IGD setelah cukup lama menatap gadis itu dari kejauhan.

"Cil," panggil Yeri.

"Iya Kak?"

"Lo gapapa?"

Karina tersenyum sebentar, lalu menggeleng lemah. "Aku gak kenapa-kenapa. Oh iya, aku belum bilang terima kasih sama Kak Yeri karena udah nolongin Mama. Maaf juga ya Kak, aku bikin Kakak repot."

"Emang," tukas Yeri. "Lo berhutang banyak sama gue."

"Makanya aku berterima kasih banget sama Kak Yeri," balas Karina. "Aku gak tau gimana hidup aku kalau Mama kenapa-kenapa."

"Emangnya bokap lo kemana?" Pancing Yeri. Jujur saja, Yeri sudah mempunyai jawabannya sendiri—after all, dia tidak bodoh setelah menghubungkan beberapa fakta yang ada, tetapi Yeri cukup bodoh mengira Karina adalah anak tidak sah dari salah satu pamannya ketika papanya sendiri juga merupakan seorang Chandrajaya.

"Papa gak ada, Kak. Selama ini cuma ada aku sama Mama."

Yeri tersenyum kecut. "Kalau gitu kita kebalik, Cil," ujarnya. Pandangannya menerawang ke langit-langit IGD yang berwarna putih bersih. "Mama gue yang gak ada. Gue hidup sama bokap sejak kecil—no, jangan kasian sama gue, gue gak butuh rasa kasihan dari siapapun."

Karina diam, tidak jadi membuka mulutnya ketika melihat Yeri memejamkan mata setelah mengatakan kalimat itu. Dia menghela napas panjang, lantas ikut menyandarkan kepala ke dinding dan memandang langit-langit seperti yang dilakukan Yeri.

"Cil," panggil Yeri ketika mereka cukup lama berselimut keheningan. Matanya terbuka, memandang profil Karina dari samping. Yeri baru menyadari bahwa fitur wajah Karina sangat mirip dengan mamanya. "Heh, Bocil."

"Hmm?" Karina bergumam tanpa menoleh.

"Lo mau tau nama nyokap gue yang gak pernah gue temuin selama sembilan belas tahun, gak?"

"Maksud Kak Yeri?"

"Ck, jawab aja susah banget, sih. Lo pengen tau, gak?!"

"Kalau Kak Yeri gak keberatan."

"Tapi lo jangan kaget," timpal Yeri lagi.

Kali ini Karina menoleh sehingga dua wanita muda itu kini saling bertatapan. "Kenapa aku harus kaget?"

Yeri terdiam sejenak, memandang wajah Karina dengan lekat, sebelum bibirnya berkata,

"Karena nama nyokap gue adalah Irene Subagyo." Yeri tersenyum miring, menikmati perubahan raut wajah Karina yang sarat akan keterkejutan. "Selamat, mama lo ternyata mama gue juga, dan gak menutup kemungkinan kita anak dari pria yang sama mengingat nama belakang lo juga Chandrajaya. Gimana, kaget kan, lo?"

🍒🍒🍒

Aku gapede banget sama chapter ini masaaaa. Mo meninggoy.

[✔] JuicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang