Dia Lagi

23 12 4
                                    

"Aku lupa kita sudah bukan lagi siapa-siapa. Semenjak kau meninggalkan banyak kenangan dan luka. Kau memutuskan untuk tidak lagi saling menyapa. Tak apa, aku rela. Biarlah alur cerita kita mengalir apa adanya, sebagaimana mestinya."

________ 

Warna merah di langit perlahan bias berganti remang yang menyebar cepat. Lampu-lampu sepanjang jalan menyala serentak bersamaan embusan angin yang terasa dingin merayap di permukaan kulit. Kukendarai Honda Jazz ku dengan kecepatan tak lebih dari 20 km per jam. Baru beberapa meter mencapai jalan besar kumandang azan lantang terdengar dari sebuah masjid yang letaknya 200 meter di depan.

“Sudah magrib, apa aku harus berhenti di masjid atau salat di rumah aja?”

Kutengok ke kiri-kanan jalan. Lengang. Beberapa kendaraan roda empat dan dua mulai memadati pelataran masjid besar itu. Aku dihinggapi kegamanagan. Tetapi entah kenapa pikiran bawa sadar memerintahkan kakiku menginjak pedal rem. Melambat lalu mengikuti sebuah minibus berwarna hitam berbelok dan mengambil tempat diantara kendaraan yang terparkir di depan masjid. Baiklah, kuputuskan untuk salat berjamaah disini.

Aku rindu perasaan syahdu ini. Rasa ingin mengadu dan tunduk dalam kepasarahan kepada-Nya. Ya Rabb, seberapa lama diri ini hilang. Berlari menjauhi-Mu. Padahal seberat apapun cobaan yang harus kutiti, tidak sejengkal atau sedetikpun Engkau meninggalkan aku. Tetapi aku mencari jalan lain yang kukira dapat menyelamatkan dari terpaan badai, ternyata aku salah. Cara yang kutempuh bahkan lebih memporak-porandakan hidupku. Ampuni aku, aku telah keliru dan tersesat.

Dengan tergesa aku menuju tempat berwudhu, dua-tiga pasang mata yang kebetulan berpapasan denganku memandang dengan tatapan ganjil. Ah, aku tahu penampilanku terlalu vulgar untuk tempat sesuci ini. Mengenakan rok katun pendek yang hanya menutupi sedikit ke bawah lutut, atasan sweter berbahan wol dengan tudung. Ya, cukup kontras dengan mereka yang berseliwerann dengan seluruh tubuh tertutup rapat.

Kupikir, setelah ini aku harus mulai berbenah diri.

Dua rakaat yang panjang. Aku tenggelam dalam lantunan ayat-ayat alquran yang di baca dengan suara yang menyayat-nyayat oleh sang imam. Air mata menggenang di pelupuk mata, menetes di atas sejadah. Betapa rapuh dan berdosanya diriku di hadapan-Nya. Ya Rabb, Ya Rabb izinkan aku kembali. Aku ingin kembali jangan biarkan aku sendiri, lirihku diantara gerakan salat.

Barisan jamaah undur satu-satu. Aku tetap di tempat. Menikmati kedamaian yang melingkupi. Seharusnya seperti ini. Dan kini aku tahu, kesudut bumi manapun aku berlari sejatinya tak ada selubang jarum pun tempat untuk bersembunyi dari segala kepedihan. Apa yang menjadi bagianku akan datang kepadaku dan apa yang bukan bagianku tidak akan menimpaku. Begitulah ketetapan yang telah tertulis.  Tak satu kekuatan pun bisa mengubahnya. Dan memang semestinya aku tak harus berlari jauh, atau bersembunyi cukup rapatkan kening, bersujud mendekatkan diri kepada sang Maha di atas segala Maha. Dia-lah yang mengetahui semua tentangku.

Hingga langkahku tiba di pelataran, isakku belum mereda. Ada haru yang tak bisa kujelaskan dengan benar. Entalah, barangkali imbas segala lelah yang setahun ini menyesak di dada. Dan memang harus ku akui aku ingin berhenti, aku letih. Aku ingin pasrah. Biarlah jalan hidup mengalir apa adanya, sebagaimana mestinya. Aku tak perlu terus berpura-pura kuat. Jika memang menderita akan kukatakan bahwa aku menderita. Apa gunanya terlihat tegar dan tegak jika pada kenyataannya dalam jiwa lemah dan rapuh.

Kuputar kunci kontak setelah menyeka sisa air mata. Menghela napas samar. Aneh, mesin mobil tak menyala. Kucoba menstarter sekali lagi mesin menyala aku menjadi lega, tapi kenapa tersendat-sendat lalu mati sama sekali.

Tidak. Kehempasakan kepala pada sandaran jok. Apa-apa ini?

"Jangan ... Jangan mogok. Ya Allah tolonglah jangan mogok sekarang apa lagi malam begini."

Izinkan Aku Menjadi  Ibu Untuk Anak-AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang