Ketika Kau Jauh dariku (Daru)

19 2 0
                                    


Sejak Kejadian di taman itu, aku tidak pernah bicara lagi dengan Pijar. Aku kembali duduk sendiri di bangkus udut depan ruang kuliah. Ketika kami berpapasan, dia memalingkan wajahnya. Biasanya dia akan tersenyum dan matanya akan berbinar bila melihatku. Aku ingin menyapanya namun aku nggak berani setelah apa yang kulakukan padanya.

Teman-temannya sering berkumpul di jurusan kami akhir-akhir ini. Ada dua orang cowok juga hadir di antara sahabat-sahabatnya, aku tidak tau siapa mereka. Aku melihat Pijar tertawa di antara teman-temannya, aku senang dia bisa tertawa setelah kejadian itu. Terkadang aku ingin mendekatinya namun aku mengurungkan niatku. Genta melarangku mendekati Pijar. Dia katakan untuk tidak memberi harapan pada Pijar dan aku harus menjauh dari Pijar. Aku berusaha mengalihkan perhatianku dari Pijar namun tak selalu berhasil...

Kak Wastika semakin sering menemuiku, menemaniku. Namun rasanya tidak sama seperti dulu bahkan ketika melihatnya aku mengingat Pijar. Aku nggak tau harus bagaimana, seperti ada yang kurang dari hari-hariku.

Selesai kuliah hari ini Kak Wastika menemuiku, kami mengobrol di depan ruang kuliah.

"Bagaimana kondisi Aksa? tanya Kak Wastika.

"Sampai saat ini dia terlihat baik, dia tidak membuat masalah." jawabku sambil melihat ke depanku.

"Keadaan Kamu gimana?" tanyanya, aku melihat ke arah Kak Wastika.

"Baik." jawabku singkat.

"Yakin? Aku lihat Kamu lesu beberapa hari ini." ucap Kak Wastika, ntahlah Kak... Aku hanya merasa kehilangan sesuatu.

"Kamu harus jaga kesehatan Kamu juga ya." ucap Kak Wastika sambil memegang tanganku, aku senyum.

"Iya, Kak." ucapku, tak ingin Kak Wastika khawatir. Aku menoleh ke arah ruang perkuliahanku hari ini. Apakah Pijar sudah pulang? Pijar.., Pijar baru saja berbalik dan hendak melangkah pergi tapi ada Genta di depannya. Apakah Pijar melihat aku dan Kak Wastika tadi? Genta mendekati Pijar, lalu mereka berjalan bersama. Mau kemana mereka? Benarkah Genta menyukai Pijar? Sejak di taman itu aku nggak pernah membahas itu dengan Genta. Aku nggak ingin mendengar jawaban jujur Genta, tidak untuk saat ini. Aku belum siap kalau seandainya Genta benaran suka Pijar... Ntahlah... Aku berdiri dan meminta ijin pergi dengan Kak Wastika.

"Maaf, Kak. Aku ada perlu, ntar aku hubungi Kakak. " ucapku lalu meninggalkan Kak Wastika. Kak Wastika hanya diam. Aku melangkah menuju arah Pijar dan Genta pergi. Ternyata mereka duduk di bawah pohon depan sana, aku berhenti melangkah dan hanya melihat mereka dari jauh. Pijar dan Genta ngobrol. Apa yang dikataka Genta pada Pijar? Apa Genta mencoba mendekati Pijar? Genta sungguhan? Aku terus memperhatikan mereka lalu aku melihat seorang cowok mendekati mereka. Pijar berdiri diikuti Genta, cowok itu... Salah satu dari cowok yang dekat dengan Pijar. Genta menjabat tangan cowok itu, mereka kayak sudah saling kenal. Siapa sebenarnya cowok itu? 

Pijar pergi dengan cowok itu meninggalkan Genta. Kulihat Pijar melangkah pergi dengan cowok itu lalu cowok itu memegang tangan Pijar dan mereka berjalan cepat. Aku melangkahkan kakiku, aku ingin menahan Pijar tapi kakiku berhenti melangkah. Siapa aku yang akan menghentikannya? Melihat cowok itu memegang tangan Pijar rasanya aneh... Biasanya aku yang akan memegang tangan Pijar saat mengajaknya pergi... Cowok itu juga yang pernah kulihat di kantin bersama Pijar dan teman-temannya. Dan dia menyentuh rambut Pijar, aku kesal. Kenapa tangannya selalu gatal menyentuh Pijar... Aku mendesah pelan lalu berjalan mendekati Genta.

                                                                                    *****

Papa dirawat di rumah sakit, mungkin kelelahan karena menjaga Mama dan juga bekerja. Aku hendak menjaga Papa tapi Papa menyuruhku untuk menjaga Mama yang masih di rungan perawatan intensif. Aku tak ingin melakukan apa yang Papa katakan tapi aku nggak ingin Papa makin drop. Aku duduk di bangku di samping tempat tidur Mama. Aku menatap Mama yang sedang tertidur, wajah itu terlihat pucat. Wajah Mama sudah banyak berubah, kecantikan masa mudanya sudah memudar. Penyakit yang dia derita telah merengutnya, mungkinkah ini sebuah hukuman baginya?

Tiba-tiba pintu ruangan di buka. Aku melihat ke arah pintu... Aksa? Aku berdiri.

"Aksa? Ngapain Kamu di sini?"tanyaku kaget. Aksa tidak mengubrisku, dia berjalan mendekati tempat tidur Mama... Aksa menatap dengan tatapan marah... Ada apa dengan Aksa, aku mendekati Aksa.

"Ngapain Kamu di sini?" ulangku lagi sambil memegang tangannya. Aksa menepis tanganku.

"Abang sendiri ngapain di sini?" tanyanya marah.

"Papa nggak bisa jaga Mama, Abang hanya melihat sebentar." ucapku menenangkan Aksa.

"Ngapain dijaga? Abang sudah menerima dia?" ucapnya makin marah.

"Pelankan suaramu, Aksa? Nanti Mama bangun." ucapku.

"Apa peduliku..." ucap Aksa dengan suara yang semakin kuat. Aku menarik tangan Aksa.

"Ayo kita keluar." ucapku mulai kesal.

"Daru..." Mama menyebut namaku, aku tidak jadi melangkah dan menoleh pada Mama. Mama menatapku dan Aksa.

"Kamu di sini Aksa?" tanya Mama, dia tersenyum lemah. Aksa tidak menjawab.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Mama sambil melihat Aksa.

"TIDAK... MASIH PERLU BERTANYA..." ucapnya kuat.

"Aksa..." ucapku, menahan Aksa bicara lebih banyak

"KARENA KAMU PAPAKU SAKIT... KENAPA KAMU HARUS DATANG LAGI... PERGI SAJA SEPERTI DULU... KENAPA KAMU MERUSAK KELUARGA KAMI. PERGI SAJA..." ucap Aksa, aku menarik tangan Aksa dan melangkah keluar. Aksa mencoba melepaskan gengaman tanganku di tangannya tapi aku mempererat peganganku.

"Bang..." protesnya, aku tidak peduli. Tapi langkahku terhenti saat mendengar suara monitor alat bantu Mama berbunyi keras. Aku memalingkan wajahku ke arah Mama. Mama kelihatannya susah bernafas.

"Ma..." ucapku lalu melepaskan tangan Aksa dan mendekati tempat tidur Mama. Mama kelihatanya menangis, ada air mata di sudut matanya. Mama semakin sulit bernafas. Aku berlari keluar dari ruangan memanggil perawat, dua orang perawat segera masuk ke ruangan. Aksa diam mematung menatap Mama... Aku menarik tangannya dan membawanya keluar, kali ini dia menurut.

"Aksa, ini semua demi Papa. Kalau bukan Papa yang menyuruhku untuk menjaga Mama, aku juga tak ingin." ucapku, Aksa hanya diam.

"Aksa..." ucapku lagi.

"Karena dia Papa sekarang sakit. Bagaimana kalau terjadi hal buruk pada Papa." ucap Aksa dengan pandangan kosong.

"Aksa, jangan berpikir macam-macam." ucapku menyadarkan Aksa.

"Aku takut, aku takut Papa meninggalkan kita juga." ucapnya Matanya berkaca-kaca. Aku menarik Aksa dalam pelukanku.

"Papa akan baik-baik aja..." ucapku sambil menepuk punggung Aksa lembut. Aksa...

"Papa akan baik-baik saja..." ucapku lagi sambil juga menyakinkan diriku sendiri. Aksa membalas pelukanku.

"Iya kan, Bang. Papa akan baik-baik aja kan?" ucap Aksa, aku mengangguk tanpa suara. Papa cepatlah sehat, kami membutuhkan Papa...

                                                                                *****

Bersambung...

Sudut HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang