Tau kan gimana caranya ngehargain penulis?
10 vote untuk next chapter.
Gue masih inget, hari dimana gue ketemu sama cewek bernama Mentari. Gadis dengan warna yang sangat ceria meskipun gue tahu kalo ada luka yang ia sembunyikan di dalamnya.
Kebanyakan seperti itu kan? Manusia terlalu suka memakai topeng, menjadikan dunia sebagai panggung sandiwara sampai mereka lupa bagaimana wajah asli mereka karena terlalu sering menutupinya.
Itu yang gue lihat ketika bertemu dengan Mentari di jembatan TI. Jembatan yang menjadi saksi kisah pertemuan antara dua orang manusia yang sama sama tersakiti.
Bagi orang Semarang pasti tau dimana jembatan TI berada, lumayan buat bunuh diri di sana. Silahkan mampir jika berkenan👍
"Kenapa gak jadi lompat? Takut?" Tanyaku begitu melihat gadis yang tadinya sudah menaiki pembatas jembatan kembali turun dan menangis sesenggukan
Dia yang berjongkok pun mendongakkan kepalanya, menatap diriku yang berdiri tak jauh darinya tengah bersandar pada pembatas jembatan "kalo takut kenapa tadi manjat? Apa perlu gue bantu dorong?" Tanyaku
Gue benci banget sama orang yang nyia nyiain hidupnya, sedangkan di luar sana masih banyak orang sekarat yang mati matian berjuang untuk hidup. Seberat apa masalah yang dialami gadis ini sampai sampai dia memutuskan untuk bunuh diri? Ya walaupun gak jadi sih...
"Sinting!" Kesalnya seraya berdiri dan berlalu melewatiku, sepertinya dia hendak pulang
"Kalo gue sinting, berarti Lo lebih sinting karena mau nyia nyiain hidup Lo gitu aja." Lirihku
Gue menghela nafas, memandangi punggung gadis itu yang mulai berjalan menjauh "jangan coba buat bunuh diri lagi, harusnya Lo bersyukur bisa hidup tanpa kekurangan suatu apapun." Ujar ku yang dapat menghentikan langkah gadis itu
Dia berbalik, menatapku sesaat lalu berjalan mendekat dan berhenti tepat tiga langkah di depanku "emangnya kenapa? Apa peduli Lo?! Lo cuma orang asing yang gak berhak buat campurin urusan kehidupan gue! Gak usah sok bijak kalo tujuan Lo kesini juga buat bunuh diri."
"Emang," balasku
"Tadinya, tapi gak jadi pas udah ada yang booking duluan buat bunuh diri."
Dia mendesis kesal mendengar perkataan gue barusan "ya kalo Lo mau bunuh diri sekarang juga silahkan, toh gue gak jadi, mau pulang aja."
Gue terkekeh kecil "kenapa pulang? Gue yakin kalo maksud dari kata 'pulang' itu Lo gak beneran pulang ke 'rumah' kan?"
"Sok tau Lo!"
Gue ketawa ngeliat wajahnya yang terlihat lucu menahan rasa kesalnya "ya ya ya, terserah deh. Soalnya kebanyakan masalah justru berasal dari 'keluarga'. Bener gak?"
Gadis itu berdecih lalu ikut berdiri di sampingku untuk bersandar pada pembatas jembatan menatapi sampah sampah plastik yang mengambang dibawah sana "untung aja gue gak jadi lompat, banyak banget sampahnya iyuh."
Gue ketawa denger omongannya "Gak usah sok iyuh kalo Lo aja masih buang sampah sembarangan."
Mungkin dia merasa tertampar dengan perkataan gue barusan, makanya dia diem sambil merhatiin sampah plastik yang hanyut oleh arus air.
"Gue saat ini kayak tuh sampah plastik, cuma bisa ngikutin arus air yang gatau dimana ujungnya." Ujar gadis itu setelah terdiam cukup lama
Gue yang tadinya menghadap ke kali pun beralih menghadap gadis itu "siapa bilang? Lo bisa kok ngelakuin apa yang Lo mau, cuma Lo takut aja. Kayak sampah itu, Lo bilang dia selalu ikut arus air yang gak tau ujungnya dimana kan? Itu salah."