❤️Berdua

15.2K 2.6K 128
                                    

"Kamu gila?"

Aku menatap Hendra yang baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin aku turuti. Dia sepertinya memang tidak dalam keadaan sadar kalau menurutku.
Sejak pagi tadi dia sudah datang ke rumah, bahkan mengantarkan Ica ke sekolah, lalu menjemputnya dan setelah itu mengajak Ica dan aku makan di sebuah restoran yang dulu selalu jadi langganan kami. Maunya apa sih? Aku sudah mengatakan kalau aku sudah tidak mau berurusan dengannya lagi selain yang berhubungan dengan Ica. Tapi sekarang saat Ica sedang asyik bermain otoped yang bisa disewa di sini, Hendra mengajukan ide gilanya.

"Aku akan menceraikan Lia kalau kamu tidak ingin ada dia lagi."

Kugelengkan kepala dan kini menatapnya dengan bingung. Baru saja dia mengatakan ingin rujuk denganku. Karena selama beberapa hari ini sudah tidak menemukan titik temu dengan Lia. Mereka bertengkar hebat dan membuat Lia pulang ke rumah orang tuanya. Aku tidak mau tertarik dengan kondisi rumah tangga mereka.

"Jangan jadi cowok brengsek. Sudah aku aja yang tersakiti Hen, kamu jangan mainin Lia kayak gitu. Bagaimanapun juga dia wanita sepertiku."

Hendra kali ini menggelengkan kepala. Lalu menatap Icha yang kalah tersenyum dan melambai kepadanya saat melewati kami.

"Aku khilaf saat itu. Tapi Ndis, aku tuh cintanya sama kamu. Dari dulu."

Kuhela nafasku dan kini mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Menatap anak-anak seusia Icha yang tampak bahagia. Ada keluarga lengkap mereka. Akupun sebenarnya ingin memberikan keluarga lengkap seperti ini. Tapi ini takdirku dan aku tidak boleh lemah.

"Hen, aku mohon lepaskan aku."

Akhirnya aku menoleh ke arah Hendra dan dia tampak tidak suka dengan omonganku. Dia lalu beranjak berdiri.

"Yang pasti aku inginnya kembali sama kamu. Biar Icha juga tidak merasa tersiksa. Take your time Ndis."

Aku hanya menatap Hendra yang berlalu dan mendekati Icha. Dia membantu Icha untuk bermain otoped. Mereka memang ayah dan anak. Icha tampak bahagia sekali. Tapi aku tidak bisa kalau harus kembali bersama Hendra. Sudah cukup rasa sakitku.
*****
Icha merengek minta pulang sama Hendra. Aku akhirnya mengiyakan dan memberi ijin Icha untuk menginap satu malam bersama Hendra. Kalau sudah seperti ini toh aku tidak bisa memaksa Icha. Akhirnya daripada aku kesepian, aku kembali ke toko, masih ada jahitan yang harus aku selesaikan. Sampai terdengar ketukan di pintu depan. Aku mengernyitkan kening, siapa yang datang malam begini? Apa Icha minta diantarkan?

"Ya sebentar."

Aku beranjak dari dudukku dan membuka pintu, saat itulah aku terkejut mendapati siapa yang kini ada di depanku.

"Hai..."

"Mas..."

Sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu dengannya. Dia tampak lebih kurus saat ini. Abimanyu tersenyum kalem.

"Boleh masuk?"

Aku langsung menganggukkan kepala dan memberinya jalan. Dia melangkah masuk ke dalam lalu menungguku untuk menutup pintu. Saat berbalik, kami hanya diam dan saling menatap. Canggung. Satu kata itu yang kini mewakili perasaanku. Abimanyu juga tampak salah tingkah.

"Ehm kenapa masih ada di toko? Icha mana? Aku kangen."

Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

"Nginap di ayahnya."

Ucapanku membuat Abimanyu mengernyitkan kening, tapi kemudian menganggukkan kepala.

"Yah padahal aku kangen."

Dia akhirnya melangkah ke arah sofa dan duduk di sana. Aku mengikutinya duduk di sebelahnya.

"Pulang kapan?"

Abimanyu kini menoleh ke arahku
"Semalam, tapi mau ngabarin nggak enak udah larut. Terus tadi pagi sibuk di puskesmas dan sore ini mau telepon kamu tapi akhirnya mending langsung ke sini karena udah kangen sama kamu."

Aku tersipu mendengar penjelasannya. Entah kenapa tiap kali dia mengatakan itu membuat jantungku berdetak kencang.

"Gimana Ibu?"

Abimanyu akhirnya menganggukkan kepala
"Udah ada kemajuan. Semoga bisa pulang segera."

Jawabannya membuatku menghela nafas dengan lega juga.

"Alhamdulilah."

Abimanyu menganggukkan kepala tapi kemudian dia mengulurkan tangan untuk menggenggam jemariku.

"Kamu baik-baik saja?"

Tentu saja kuanggukan kepala tapi Abimanyu masih ragu. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipiku. Membuatku memejamkan mata. Setiap sentuhan Abimanyu membuatku ingin menangis. Dia terasa memang sangat ingin melindungiku. Aku baru merasakan hal ini saat bersamanya.

"Baik. Aku kuat Mas."

Abimanyu menghela nafasnya lalu mendekat, dia mengecup keningku. Lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Aku khawatir sama kamu selama ini."

"Mas..."

Aku mencoba untuk menjauh karena tidak enak dengan posisi seperti ini. Tapi Abimanyu menahanku.

"Biarkan seperti ini dulu Ndis. Aku butuh."

Bisikannya membuatku terdiam. Akhirnya aku membiarkan dia bersandar di bahuku.

"Nikah sama aku mau ya?"

Pertanyaannya tentu saja membuatku terkejut. Aku menunduk untuk menatapnya. Tapi dia malah memainkan jemariku.

"Tapi masalah Ibu dan..."

"Aku akan cari jalan."

Aku terdiam mendengar ucapannya. Bagaimanapun juga aku tidak bisa egois. Keluarganya Abimanyu bermasalah dengan masa laluku. Karena aku bisa merasakan itu. Sejak Bu Ani sakit, dia tidak mau membahas ibunya bersamaku. Abimanyu seperti menutup diri.

"Aku bukan gadis dan sudah mempunyai seorang putri. Aku ini janda Mas. Kamu masih lajang, belum pernah menikah dan layak dapat yang lebih."

Kali ini Abimanyu menegakkan tubuhnya dia menghela nafas lagi.
Lalu menatapku dan menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

"Tapi aku bahagianya sama kamu. Bukan yang lain. Aku maunya kamu Ndis."

Ada nada putus ada dari ucapannya. Kenapa dia membuatku tidak bisa berpaling darinya? Meski aku tahu rintangan kami akan banyak ke depannya.

Bersambung

Aku juga maunya kamu Mas... Sini...

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang