Empat tahun lalu,
sepulang dari Amsterdam. Dengan wajah super kacaunya, Sojung meminta bertemu dengan Wilson. Dia mengajak laki-laki itu untuk bertemu di salah satu coffeeshop―yang letaknya tak jauh dari tempat Wilson, juga rumah orang tuanya.
Wanita itu duduk sendiri, namun dia ditemani dengan dua cangkir vanilla latte hangat yang baru saja datang beberapa saat lalu. Dia memegang cangkir miliknya dengan kedua tangan di atas meja, sambil menunggu dengan harap cemas kehadiran Wilson.
Begitu laki-laki itu datang, Sojung menghela napasnya lega tanpa Wilson tahu. Dia mengukir senyumnya dengan tipis, menyambut kedatangan lawan bicaranya yang sedaritadi memang dia tunggu.
"Hai, Jung." Wilson duduk, tersenyum menatap Sojung. "Bukannya lo baru aja pulang dari second honeymoon sama suami lo di Amsterdam?"
Sojung terkekeh untuk sesaat. "Second honeymoon, apanya?"
Melihat Sojung terkekeh, menarik kedua sudut bibirnya ke atas, Wilson ikut tertawa walau hanya sekenanya. "Ya 'kan lo perginya berdua, sama suami. Apa lagi coba kalau bukan honeymoon?"
"Terserah lo, deh," kata Sojung sambil mengembalikan ekspresi awalnya. Dia memandang Wilson datar, tanpa senyum yang ditunjukkan sedikit pun.
"Oh, ya. Kenapa lo manggil gue? Ada perlu apa?" tanya Wilson yang nada suaranya terdengar perhatian. Dia menatap Sojung dalam, matanya menunjukkan sirat penuh harap atas ketersediaan Sojung dalam berbagi cerita keluh kesahnya.
"Galau gue," keluh Sojung.
"Galau karena apa? Coba cerita dulu, biar gue paham lo kenapa," balas Wilson menanggapi keluhan Sojung.
"Sebelum itu ..." Sojung menggantung kalimatnya, secara sengaja. Dia mengubah raut tatapannya, menjadi lumayan tajam dan begitu dalam. "... lo, beneran ada rasa sama gue?"
Wilson batuk. Entah karena memang tersedak, atau dia terlalu terkejut atas pertanyaan Sojung barusan. Tangannya meraih cangkir di atas meja, menyeruputnya pelan-pelan ... terakhir, dia berusaha menjawab pertanyaan Sojung.
"Jung ... kenapa lo tanya kayak gitu ke gue?"
Sojung menghela napas. Bukan ... sungguh bukan ini jawaban yang Sojung inginkan. Sojung hanya ingin dengar jawaban yang sejujur-jujurnya, keluar dari mulut Wilson secara langsung.
"Jawab gue, Wil. Jangan malah balik nanya," lirih Sojung.
"Tapi kenapa lo tiba-tiba mikir kayak gitu? Kenapa lo ngelempar pertanyaan kayak gitu ke gue?" Wilson malah menimpa Sojung dengan pertanyaan beruntut.
"Jawab aja, Wil. Gue pengen banget tau jawaban lo," kata Sojung. "Kita udah temenan lama ... that's right! Kita dua orang yang beda jenis, itu juga bener ... dan karena itu, masing-masing dari kita mungkin pernah ada yang menyimpan rasa."
Tatapan Sojung melunak. Dia melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. "Sekarang gue tanya sama lo. Apa lo pernah suka sama gue? Lo pernah ngerasa kalau gue itu harusnya sama lo? Kalau iya, apa sampe sekarang ... rasa yang pernah lo rasain itu masih ada?"
Wilson terkekeh, menundukkan kepalanya sejenak. Lalu menatap ke arah Sojung lagi dengan satu sudut bibir terangkat yang terpasang sempurna di wajahnya.
Melihat itu, Sojung merasa bahwa Wilson mungkin akan mengabaikannya juga pertanyaan anehnya. Jadi, wanita itu berusaha meyakinkan sekali lagi agar dia dapat jawabannya. "Gue tau, pertanyaan itu aneh banget ... really-really. Tapi, Wil ... gue beneran pengen tau, biar gue bisa mastiin ... apa yang ada di sudut pandang suami gue itu cuma omong kosong; obsesi semata, atau emang dia bener ... naluri laki-lakinya yang bilang kalau dia emang takut kehilangan gue, dengan hadirnya lo di tengah-tengah keluarga kami."
Sekarang tatapan Wilson yang melunak, sebelah sudut bibirnya terangkat naik mengikuti sudut yang lain. "Suami lo nggak salah, Jung. Naluri dia sebagai laki-laki; sebagai suami ... itu bener, nggak salah."
Sojung menaikkan kedua alisnya. "Jadi ... lo beneran pengen gue jadi―"
Perkataan Sojung dipotong oleh kekehan Wilson dan gelengan kepalanya. "Oh, sorry. Tepatnya mungkin begini, dulu ... mungkin emang gitu. Gue ngerasa Seokjin itu nggak seharusnya sama lo. Apa lagi gue tau kalau dia itu duda. Perempuan kayak lo, dapet duda ... gue ngerasa itu nggak adil banget buat lo. Seokjin terlalu beruntung untuk bisa dapetin lo."
Wilson melanjutkan kalimatnya tadi. "Gue mikir kalau lo harusnya bisa dapet yang lebih baik dari Seokjin. Nggak harus sempurna ... tapi minimal dia punya nilai plus yang ngebuat lo keliatan kayak salah satu perempuan beruntung di dunia ... dan gue ngerasa kalau gue mampu berdiri di tempat itu, di samping lo."
"Ditambah masalah tempo lalu, alasan kenapa lo mau pisah sama dia. Dia nampar lo, dia nyakitin lo. Dari situ gue makin ngerasa kalau gue mungkin yang seharusnya ada di samping lo, bukan dia."
Senyuman kecil tercetak di kedua sudut bibir Wilson. "Tapi belakangan ini gue sadar ... lo bukan buat gue. Lo udah punya Hani, anak lo sama Seokjin. Ngeliat lo sedih karena pisah rumah sama suami lo, ngurus bayi sendiri tanpa ditemenin suami lo ... rasanya sakit banget di gue. Gue tau, lo sayang banget sama Seokjin ... dan seharusnya perpisahan itu nggak terjadi."
Tangan Wilson meraih dan menggenggam kedua tangan Sojung di atas meja. "Gue rasa lo masih bisa pertahanin rumah tangga lo, Jung. Kasih Seokjin kesempatan satu kali lagi. Hani berhak bahagia, dia berhak punya keluarga yang utuh dan harmonis. Pikirin sekali lagi, sebelum final di persidangan besok."
Sojung menghela napas, mendengar setiap kalimat yang Wilson ucapkan. Terdengar tulus ... dan berhasil membuat Sojung terpengaruh. Otaknya berputar, memikirkan keputusannya sekali lagi.
"Mungkin emang nggak ada yang namanya kesempatan ketiga, tapi kesempatan kedua itu masih ada, Jung. Kasih Seokjin satu kesempatan lagi. Kalau ternyata dia nggak pake kesempatannya dengan baik ... keputusan kedepannya ada di tangan lo," lanjut ujar Wilson. "Kebahagiaan lo ... selalu ada di tangan lo. Nggak akan pernah berubah."
Satu tetes air berhasil lolos dari penghujung mata Sojung. Dirinya benar-benar merasa kacau. Dia makin yakin bahwa keputusannya untuk berpisah adalah pilihan yang tidak tepat. Dirinya dan Seokjin ... masih bisa bersama, bukan hanya demi anak-anak mereka ... tapi juga untuk diri mereka masing-masing yang sejatinya masih saling membutuhkan.
"Balik sama Seokjin ... ya?" bujuk Wilson sebagai akhir dari pembicaraan mereka.
Sojung mengajak Wilson berdiri. Kemudian memeluk tubuh laki-laki itu sekali lagi. Dia mengucapkan banyak terimakasih ... atas segala bentuk bantuan yang Wilson lakukan malam ini. "Makasih, Wil. Lo juga berhak bahagia. Lo pasti dapet yang lebih baik dari gue."
Pelukan mereka merenggang, Wilson menatap Sojung dengan senyumannya. "Pasti. Nggak lama lagi, gue pasti nyusul lo sama Seokjin. Gue nikah sama perempuan yang gue sayang, juga punya anak yang lucu kayak Hani."
Sojung mengangguk-anggukan kepalanya dengan air mata yang sesekali datang menemani. "Jangan lama-lama, pastiin anak lo ada sebelum Hani masuk sekolah."
Wilson tertawa. "Semoga, ya? Gue juga pengen banget bisa kayak lo sama Seokjin."
Wilson memeluk Sojung lagi, mengusap punggung wanita itu yang Wilson tahu bahwa banyak sekali beban di sana. Setidaknya, Wilson harap, Sojung lega setelah bercerita dan mendapat jawaban yang ia ingin dengar saat ini.
Laki-laki itu, sahabatnya ... hanya menginginkan yang terbaik untuk Sojung. Semoga kedepannya, Sojung bersama suaminya, bisa hidup bahagia dan mampu melewati masalah-masalah yang akan terjadi di masa depan ... sampai bahagia sejati menjemput, dan maut memisahkan mereka berdua.
― ♡ ―
Author's Note:
extra part ini sebenarnya tujuannya buat ngupas tuntas, hal-hal yang terjadi selama empat tahun belakangan, sebelum epilog kemarin.tadinya kupikir, satu extra part aja cukup. cuma ternyata antusiasme kalian masih tinggi😭 santai gais, masih ada dua extra part lagi, kita masih bisa liat kehidupan mama-papa + dua anaknya di sana.
jangan lupa tekan bintang🌟⭐ & kalau ada waktu, silakan mampir ke buku baruku. see, ya!</3
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Emotions; Sowjin
Fanfic#1 ― Sojung #1 ― Sowjin [Sowjin ― Semi Baku] [Sequel of Pak Seokjin] [Slice of Life] Seokjin dan Sojung akhirnya menikah. Setelah menikah tentu saja mereka harus siap menghadapi setiap lika-liku dan hiruk-pikuk rumah tangga. Seokjin yang memang leb...