Bab Tujuh-Bos Kimchi Corner

17 3 0
                                    

Senin pagi yang supersibuk, sesibuk Kimchi Corner. Semuanya pegawai berlomba datang pagi-pagi termasuk aku. Atas instruksi dari manajer, seluruh pegawai restoran harus datang sebelum pukul delapan pagi.

Aku membetulkan ikatan rambut yang mulai mengendur, lalu menata poni yang sudah mulai panjang dengan tangan serapi yang aku bisa. Perlahan aku menurunkan tangan ketika Tia, teman satu shift-ku memandangiku dengan tatapan aneh.

Aku kembali duduk manis di kursi sementara yang lain sibuk membicarakan bos yang akan datang pagi ini, lebih tepatnya yang membuat kami sekarang berkumpul di tengah restoran. Tia yang tadinya duduk di seberang, kini menyeret kursinya ke sebelahku.

"Sebelumnya kau udah pernah ketemu bos?" tanyanya. Dia semakin mendekatkan kursinya.

"Belum."

Tiba-tiba dia meringis dan menepuk pundakku sampai menarik perhatian yang lain.

"Bos keren. Aku kira dulu bos personel salah satu boy band," pekiknya. Pegawai yang lain terlihat tertarik dengan obrolan kami.

Rasanya ingin sekali membungkam mulutnya agar suasana kembali tenang. Tapi yang aku lakukan hanya mengangguk sambil menaikkan sebelah sudut bibirku.

Dari depan pintu masuk terdengar suara tepuk tangan dua kali. Kak Citra berdiri di sana, membuat gerakan tangan menyuruh kami mendekat. Tanpa mengatakan apa pun, kami menurut.

"Bos sedang dalam perjalanan ke sini. Kita harus bersiap menyambutnya. Seperti yang kalian tahu, bos baru saja pulang dari Korea."

Aku malah baru tahu sekarang, padahal aku sudah pekerja di sini seminggu lebih. Aku kira ini hanya menyambutan yang biasa dilakukan pagawai di sini dua minggu sekali atau beberapa bulan sekali.

Aku menderap ke pintu depan sambil mengamati raut wajah pegawai lain secara acak. Mereka terlihat antusias sekali, rasanya hanya aku yang biasa saja. Walau sedikit penasaran mendesakku melangkah lebih cepat, tapi rasa kantuk yang masih menyerang membuatku malas meladeni keingintahuan tentang bos. Aku menundukkan kepala dan terus berjalan pelan.

"Fanya!"

Aku mendongak, Kak Citra memegang kedua bahuku, spontan aku berhenti dan menoleh ke belakang. Aku menjadi pusat perhatian.

"Kita nunggunya nggak di pelataran parkir. Kita berbaris memanjang ke depan di sisi pintu masuk," jelas Kak Citra. Dia menuntunku ke barisan dan aku ditempatkan di sampingnya, baris kedua.

Haruskah seperti ini? Memangnya bos orang yang bagaimana? Aku membuka mulut hendak bertanya pada Kak Citra tapi belum sempat mengeluarkan suara, Beni berseru kalau mobil bos sudah memasuki pelataran parkir. Serentak kami menoleh pada Lexus hitam yang sepertinya pernah aku lihat di suatu tempat semakin mendekat.

Keningku berkerut saat mobil itu berhenti. Seperti mobil yang aku lihat di jalan kompleks perumahan saat Papa dan Ardian mengantarku ke rumah sakit waktu itu. Aku mencubit pipiku kuat-kuat menyadarkan diri sendiri kalau jumlah mobil di Medan yang jenisnya sama dengan mobil laki-laki itu melebihi jumlah jari tangan.

Sialnya, waktu itu aku tidak melihat plat nomornya, jadi tidak bisa memastikan siapa yang akan muncul dari dalam mobil.

"Selamat pagi, selamat datang kembali, bos," seru semuanya kompak dan tentu saja selain diriku. Aku malah menunduk dalam-dalam.

"Selamat pagi. Terima kasih."

Aku yakin itu suara bos. Kata Tia bos orang Korea, tapi aku hampir tidak mendengar aksen bahasa ibunya.

"Selamat datang kembali bos," kata Kak Citra.

Detik berikutnya, mataku bertumbuk dengan sepatu pantofel abu-abu. Perlahan mataku terarah pada uluran tangan besar semulus porselen. Aku menjabat tangan itu tanpa mengangkat kepala, lalu aku menarik tanganku perlahan, namun yang orang itu tidak melepasnya.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang