"Ve. Nama lo gitu doang?" tanya gue saat seorang cewek yang menurut gue pemilik nama Ve berhasil menemukan namanya di daftar pembagian kelas yang ada di mading utama sekolah.
Sebuah nama yang gue rasa terlalu simple, pelit dan irit. Yang sialnya, yang gue pikir orangnya nggak akan seperti namanya, ternyata memang begitu orangnya. Dia jutek, irit ngomong, sebodo amat, dan senyum pun rasanya nggak pernah terlontar saat pertanyaan gue tadi dengan gampangnya keluar dari mulut gue.
Beda banget sama gue.
"Nama lo ... unik," kata gue, basa-basi.
Dia nggak merespons sedikit pun. Padahal basa-basi yang keluar dari mulut gue itu sebuah pujian. Tapi kayaknya dia nggak akan pernah terpesona sama pujian gue. Kalau digombalin, nggak tahu juga, sih. Sayangnya gue nggak jago ngegombal kayak si Ardan, temen sekolah gue waktu SMP.
Sebenarnya gue nggak begitu tertarik sama Ve selain karena namanya yang unik, itu doang. Cuma, sebenarnya gue punya masalah pribadi gue sendiri sama dia, yang ngerasain, sih, cuma gue. Iya, dia yang entah sejak kapan menurut gue sudah menjadi saingan gue di bidang akademik. Karena nyatanya, dia adalah si peringkat kedua setelah gue yang ada di daftar seleksi tes masuk SMA. Dan yang memvonis dia jadi saingan gue adalah nilainya yang hanya berbeda dua poin dengan gue. Gila, kan?
"Kita sekelas," ujar gue lagi, padahal gue juga baru nyadar satu kelas sama dia.
Pembagian kelas ini ternyata cukup ekstrim, cukup diskriminasi menurut gue. Karena kita, si dua puluh besar yang nilainya paling tinggi waktu tes masuk, disatu kelaskan di kelas 10-1, dan masih belum diberikan pilihan penjurusan. Beda banget dengan sistem penjurusan di tahun-tahun setelah gue.
Gue masuk SMA tahun 2006. Gue sekolah di salah satu SMA di Sukabumi. Saat itu di sekolah gue ada 3 jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Pembagian jurusan akan dilakasanakan setelah gue kelas dua. Dan di tahun ... entah tahun berapa, jurusan-jurusan tersebut sudah berubah nama. MIA yang asalnya IPA, IIS yang asalnya IPS, dan IIB yang asalnya Bahasa. Dan gue denger juga tahun-tahun sekarang jurusan Bahasa sudah tidak ada, hanya tinggal jurusan MIA dan IIS saja.
Ve mengangkat bahu tanda nggak tahu kalau gue sama dia itu satu kelas, dia nggak tahu nama gue pasti. Jadi, dengan murah meriah gue memperkenalkan diri gue, "Nama gue Riko, lihat aja di daftar pembagian kelas, gue satu kelas sama lo."
Iya, nama gue Riko, lebih tepatnya Riko Maulana Yusuf. Meskipun nama gue nggak panjang banget kayak rel kereta, tapi nama gue juga nggak pendek banget kayak Ve, cewek yang ada di depan gue ini. Nama panggilan gue Iko. Ada juga yang manggil gue Koko, kayak Koko-Koko yang orang China itu, yang ganteng punya kulit putih. Tapi beneran, gue emang ganteng, cuma nggak putih doang. Hahaha. Ada juga yang manggil gue Ikok, dan nggak sedikit yang manggil gue Buaya dari Lubang Buaya dan Upil Buaya.
Whats? Upil? Upil Buaya?
Iya, Upil. Upil Buaya, kotoran di hidung buaya, bekas ingus buaya. Nanti bakal gue ceritain kenapa gue bisa dipanggil Upil Buaya. Tapi please jangan panggil gue dengan sebutan itu, gue lebih seneng dipanggil Iko. Jadi, panggil gue Iko aja.
Ve mengabaikan gue. Tanpa menoleh lagi ke arah gue, dan tanpa tahu kalau gue menunggu reaksi dia menanggapi ucapan gue, dia berlalu begitu saja.
Ini orang budeg atau gimana, sih? Pikir gue waktu itu. Iya, dari tadi nggak ngomong-ngomong, nggak merespons ucapan gue sama sekali.
Sumpah, nggak ada-ada manis-manisnya jadi cewek. Asem banget, kayak belimbing wuluh. Sombong banget.
Namun, ada sekitar sepuluh langkah dari hadapan gue, Ve menghentikan langkahnya. Gue nggak tahu apa yang bakal Ve lakukan. Tapi dia kelihatannya kayak orang bingung. Nggak lama kemudian Ve menengok ke arah gue sambil tersenyum manis. Dari situ gue bengong. Gue bengong karena bingung, bingung aja sama sikap cewek kayak Ve.
Detik berikutnya Ve kembali seperti sebelumnya, melangkahkan kakinya, tapi sekarang agak dipercepat, bahkan yang gue lihat agak sedikit berlari.
Gue masih bengong. Senyuman Ve manis banget, sumpah. Gue yang melihat dia kayak lihat Es Campur di menit-menit buka puasa, menggoda. Dan senyuman itu yang bikin gue bisa mengalahkan pahitnya kehidupan ini. Nggak jelas, ya, gue. Tapi beneran, sampai saat ini gue nggak pernah lupa sama senyuman itu. Benar-benar nggak pernah lupa. Dan nggak akan pernah gue lupain.
###
To Be Continue ....
Waahhh . . .
Gimana nih Prolognya?
Mau lanjut apa nggak?
Lanjut yaa ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Ve
Teen FictionDari dulu sampai sekarang, kata-kata Ve selalu menjadi motivasi gue untuk bertahan hidup, menjadi penyemangat gue di kala gue merasa down banget, menjadi penghibur gue di kala kesepian, dan menjadi sahabat gue di kala gue terpuruk. Ucapan Ve yang se...