Bab 1. Hari Kelulusan

211 12 2
                                    

Tubuh mungil itu kini terbalut kain kebaya berwarna hijau lumut. Wajah ovalnya tampak cantik setelah dipoles sedikit makeup. Senyum terpancar indah menghias bibir tipisnya. Bahagia tidak terkira Zaskia rasakan kini, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-15, gadis cantik itu merayakan kelulusan sekolah menengah pertama.

"Cieee ... yang dapet juara umum selama tiga tahun secara berturut-turut," goda Hilda seraya mencolek dagu lancip temannya, Zaskia.

Semburat rona merah jambu terlukis dengan malu-malu, Zaskia tersenyum menanggapinya. "Alhamdulillah, ini hasil kerja kerasku selama ini, Hil. Selama ini aku percaya, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha," balasnya bangga.

Kedua gadis remaja itu tertawa bersama. Sebagai tanda perpisahan, mereka menghabiskan waktunya di belakang panggung. Zaskia duduk di tepi tembok pembatas koridor, sementara Hilda berdiri sambil berpangku tangan.

"Berasa disindir aku tuh," rajuk Hilda mencebik.

Gadis remaja itu merasa bangga sekaligus iri karena mendapat teman seperti Zaskia. Seorang Zaskia terlalu sempurna untuknya. Bisa lulus dengan nilai yang sesuai minimal kriteria umum saja sudah syukur-syukur alhamdulillah. Sebab, nilai Hilda tidak sesempurna Zaskia. Ia terlalu lamban dalam banyak hal. Bahkan, jika ada tugas kelompok Hilda lebih mengandalkan temannya itu.

"Gak gitu juga kali." Zaskia menggeleng pelan. Ia tidak bermaksud menyinggung teman karibnya itu. Ia berkata demikian karena selama ini sudah belajar dengan tekun, tidak pernah absen jika ada kegiatan ekstrakurikuler, selalu bersedia jika dimintai tolong oleh siapa pun. Sehingga, gadis itu disukai banyak orang.

"Rencana mau lanjut sekolah di mana, Hil?" tanya Zaskia seraya memainkan ponsel canggih di tangannya.

"Belum tahu nih, masih nyari-nyari yang pas. Kalau kamu?"

Zaskia bergeming. Senyum yang tadi terbit perlahan surut. Binar bola mata hitam itu tampak meredup. Ada guratan kecewa yang jelas terpancar di wajah mulusnya. "Aku ... gak diizinkan lanjut sekolah oleh keluargaku," gumamnya lirih.

"Apa?!" Hilda membulatkan mata. Gadis yang memakai kebaya krem itu tidak habis pikir, salah dengarkah ia? Tetapi itu tidak mungkin. Jelas-jelas tadi pagi setelah mandi ia sudah membersihkan telinganya menggunakan cotton buds. Jadi, tidak mungkin jika pendengarannya yang bermasalah.

"Bukan apa-apa," kilah Zaskia dengan senyum yang dipaksakan. "Oh, iya. Aku harus balik nih, ditunggu sama ayah dan bunda." Jemari lentiknya menunjuk sepasang suami istri yang terlihat kelimpungan mencari sesuatu. Mungkin mencari Zaskia yang sedari tadi asyik bercengkerama dengan Hilda di belakang panggung usai melakukan pentas seni.

"Ya udah, deh. Take care, ya!" teriak Hilda seraya melambaikan tangan.

Zaskia mengangguk kemudian berlari kecil, takut membuat orang tuanya khawatir. Hari sudah beranjak petang, tidak elok bagi seorang anak gadis terlalu lama di luar, apalagi malam sudah menjelang.

Ada aturan khusus yang sedari dulu diterapkan oleh keluarga Zaskia secara turun temurun. Anak gadis dilarang keras ke luar rumah lewat dari jam lima sore, tidak boleh berteman dengan anak laki-laki apalagi pacaran, wajib dinikahkan jika usianya sudah menginjak lima belas tahun. Itulah sebabnya wajah Zaskia tampak murung saat ditanya oleh Hilda, ia ingin melanjutkan sekolah di mana?

Bukan tidak ingin baginya meraih cita dan cinta di masa putih abu-abu. Akan tetapi, garis keras sudah mewanti di hadapannya kini. Terlebih lagi, hari ini adalah ulang tahunnya. Gadis itu paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya mampu tertunduk pasrah, ia tidak bisa mengelak walau enggan sekali pun.

"Ayah, Bunda!" sapa Zaskia sesampainya di depan aula gedung. Napas gadis itu terdengar tersengal, mungkin lelah karena habis berlari.

"Dari mana saja kamu?" tanya seorang wanita cantik berkisar tiga puluh tahunan. Wanita itu tampak awet muda dan sangat mirip dengan Zaskia, dapat dipastikan bahwa wanita dengan rambut disanggul itu ibunya.

"Abis di belakang panggung, Bun. Tadi ngobrol sebentar sama Hilda."

Murni mengangguk paham. Ia sangat mengenal Hilda seperti apa, anak itu sudah sering main ke rumahnya. Setiap kali ada tugas kelompok atau hari libur, Hilda lebih memilih menyambangi rumah Zaskia daripada ikut dengan mama papanya berlibur ke luar kota.

Sebab, Hilda tahu seperti apa kerasnya kehidupan keluarga Zaskia. Terlalu banyak aturan, membuat Zaskia seolah-olah berada di dalam penjara. Namun, gadis itu tidak tahu bahwa Zaskia akan dinikahkan jika usianya sudah menginjak lima belas tahun dengan lelaki pilihan keluarganya. Bukan, lebih tepatnya pilihan neneknya.

"Sudah 'kan, mainnya? Yuk, pulang," ajak Murni lemah lembut. Zaskia menunduk manut, sedangkan pria separuh baya di samping Murni hanya bertingkah layaknya robot. Tidak banyak berucap, lebih cenderung pendiam dan penurut.

Hal itu terdengar aneh di kalangan masyarakat, tetapi tidak di kalangan keluarga besar Murni. Hal itu sangatlah lazim. Karena sejak zaman nenek moyang mereka sudah begitu. Ada hal rahasia yang tak diketahui publik, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Salah satunya adalah Murni, karena ia sudah mengalaminya sendiri.

Kini ketiganya sudah berada di dalam mobil sedan berwarna silver. Sejenak keheningan tercipta, Murni larut dalam pikirannya yang entah ada di mana. Sedangkan Hardi, suami Murni, memilih fokus pada jalanan yang ramai dipadati pengendara.

"Sayang, nanti jangan kaget, ya? Kalau sudah sampai di rumah," ujar Murni berbisik di telinga Zaskia.

"Hmm ...." Zaskia bergumam pelan dengan napas lelah, gadis itu memejam saat musik degung diputar keras oleh Hardi.

Entah kenapa selera musik mereka sangat aneh dan kuno. Padahal, ada banyak sekali jenis musik yang dapat dinikmati setiap hari, dibandingkan dengan musik degung yang terdengar kolot dan membosankan. Biasanya musik ini diputar pada saat ada acara hajatan atau acara-acara tertentu seperti pentas seni; tari jaipong, pewayangan dan semacamnya. Entahlah. Keluarga itu memang sedikit aneh.

"Lingsir wengi ...."

"Loh, aku ada di mana ini?" Gadis itu menggaruk tengkuk leher dengan tatapan heran. Aneh saja. Padahal, tadi dia hanya memejam karena bosan mendengar musik degung, lalu sayup-sayup terdengar suara seorang wanita bersenandung. Namun, saat membuka mata ia malah berada di tempat asing.

"Ayah ... Bunda?" Zaskia tampak celingukan. Ia mendapati dirinya ada di sebuah hutan pinus yang dipenuhi kabut asap tebal. Semuanya tampak gelap, tetapi samar-samar gadis itu menangkap sesosok wanita tengah menari di kejauhan dengan gemulai seraya bersenandung, "Lingsir wengi ... dadiyo sebarang ...."

Rasa penasaran yang membuncah membuat Zaskia berjalan pelan menyusuri gelapnya malam. Dersik daun kering yang gadis itu injak memecah keheningan. Tepat setelah kakinya melangkah di hitungan ketiga, sosok perempuan itu berbalik seraya menyeringai licik. Sosok itu tampak menyeramkan dengan mata membusuk, tubuhnya sedikit bengkok dengan rahang yang sudah rusak.

Sosok perempuan itu perlahan mendekat dengan kaki diseret, membuat Zaskia membelalak terkejut. Tubuh gadis itu membeku di tempat. Zaskia hendak menjerit, tetapi suaranya tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Debaran jantung gadis itu terdengar memburu, saat selendang merah menyala yang dikenakan sosok itu mulai melilit lehernya.

"Ukh ...." Napas Zaskia tersengal, perlahan mata lentiknya terpejam seiring dengan tubuh yang melayang di udara. Lalu, sosok itu terkikik dengan melengking. Tampak lidahnya menjulur panjang berwarna hijau dan berbau busuk, sangat menyengat.

"Tidaaak ...!" Dengan napas terengah-engah dan tubuh yang dibanjiri peluh, Zaskia bangkit dari lelapnya dengan ekspresi terkejut. Gadis itu meraba sekujur tubuhnya yang terasa sakit, tetapi tidak terdapat luka maupun lecet. "Perasaan apa ini? Aku mimpi apa barusan? Kenapa rasanya seperti nyata?" Setidaknya, Zaskia bisa bernapas dengan lega karena mimpi itu benar-benar nyata.

"Sayang, kamu kenapa?" Murni yang sudah bersiap membuka seat belt berbalik dengan seraut khawatir.

Zaskia yang masih berusaha menenangkan degupan jantungnya itu mendongak, lalu menggeleng dengan seulas senyum penuh keraguan. "Eng-gak kok, Bunda ... aku cuma kecapean aja," jawabnya berbohong.

Hardi yang sedari tadi diam memperhatikan pun akhirnya melirik Zaskia yang terduduk lesu di kursi belakang melalui kaca spion dengan bibir menyeringai. Tatapan lelaki itu tampak tajam. Dengan ekspresi datar lelaki paruh baya itu berucap, "Kita sudah sampai, Sayang."

Bersambung!

Haloo, ini genre supranatural, ya. Cerbung ini akan diterbitkan jika sudah berakhir masa PO. Insya Allah. Jadi, kalian boleh membacanya secara cuma-cuma untuk beberapa bab ke depan😁🙏

Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang