Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, Axel menuntun Adel masuk yang disambut oleh Bi Inah —-asisten rumah tangga Axel.
"Nah udah sampai, lo mau di lantai dua atau satu?" Axel setengah menoleh pada Adel.
"Gue lantai satu aja," balas Adel sekenannya.
"Oke, Bi anter teman Axel di kamar tamu lantai dua yaa!" suruhnya pada Bi Inah yang berdiri tidak jauh dari keduanya.
Adel berdecak dan menggerutu pelan, "Kalau gitu ngapain pake tanya mau di lantai berapa segala ...."
"Den Axel bisa aja, temenya jadi kesel gini kann," goda Bi Inah yang direspons kekehan renyah oleh Axel, "ayo Non, Bibi anterin ke kamar tamu dulu!"
Adel yang sebelumnya melemparkan sumpah serapah pada Axel dalam hati, tersentak ketika Bi Inah memanggilnya. "Iya Bi," respons Adel cepat kemudian mulai mengikuti langkah wanita ujung kepala empat itu.
"Oh iya Del, kakak gue biasanya pulang jam sepuluh, atau nggak jam sebelas malam. Itu pun kalau nggak ada operasi darurat, jadi lo nggak usah tunggu dan langsung turun aja buat makan malam kalau udah bersih-bersih dulu. Kalau mau ketemu kakak, besok pagi aja soalnya kakak gue berangkat jam lapanan," ujar Axel yang lantas membuat Adel berhenti dan menoleh padanya.
"Oke," balas Adel dengan anggukan pelan kemudian kembali melangkah.
"Lagi, nggak usah sungkan kalau perlu apa-apa. Kamar gue di ujung lantai dua, anggap aja rumah sendiri," tambahnya lagi.
"Iya bawel!" balas Adel tanpa menoleh.
Axel mendengkus pelan melihat respons Adel. Sepertinya Adel sudah benar-benar menganggap rumah itu, rumahnya sendiri. Memikirkan itu, senyum tipis terbit di bibir Axel.
Dia lantas melangkah ke ruang keluarga, merebahkan diri di sofa dengan wajah menengadah ke langit-langit. "Kak Zea bakal pulang kayak jam biasa nggak sih? Kebiasaan banget, udah tau punya tamu pake pulang telat segala," gerutu Axel kesal.
Memang benar jika Zea mengetahui itu, Axel telah mengabarinya sejak masih di rumah Adel yang tentu saja di setujui oleh Zea. Dia menghela napas panjang, masih dengan menatap lamat-lamat langit-langit bercat putih di atasnya kemudian memejamkan mata.
"119147 125118, kenapa? Kenapa harus sama dengan teka-teki yang dikirimkan si brengsek Humpty dumpty?" batin Axel.
"Kenapa dia harus kembali? Sial, kenapa gue yang harus mecahin teka-teki bodoh itu?!"
"Brengsek sialan!" umpat Axel dalam hati seraya mengetatkan rahang menahan amarah, dengan tangan menjambak rambut sendiri dengan kuat.
Axel menggeram pelan, kemudian menegakkan tubuh kembali. "Nggak-nggak!" Axel menggeleng pelan, "gue nggak boleh gini. Humpty dumpty kembali, sesuai yang dia janjikan pernah. Dan gue yang harus mecahin teka-teki sialan itu, kalau nggak, bisa aja nyawa gue yang dia ambil!"
"Tapi persetan! Gue nggak boleh mati, sebelum ngungakap siapa dia sebenarnya! Gimana pun caranya, gue harus ada selangkah di depannya! Apa lagi, sepertinya dia juga mengincar Adel ...."
"Sialan ...."
***
"Ini foto Ibu Adel, bisa minta Intel kita untuk nyari tau nomor ponselnya?" tanya Tama setelah memberikan selembar foto wanita dengan umur sekitar akhir dua puluhan, pada Daniel tapi panggil saja dia Dan.
"Laksanakan, Iptu!"
"Saya sudah coba cari tadi, tapi tidak ada nama Bellianda Sevara di kewarganegaraan Jerman. Saya punya dua kemungkinan, pertama sepertinya ibu Adel mengganti identitas setelah mengganti kewarganegaraan, lalu yang kedua ...." Tama memberi jeda mengalihkan netra pada foto itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Kematian [Selesai]
Misteri / ThrillerKoma untuk waktu yang panjang lalu terbangun dengan beberapa ingatan yang menghilang, hampir semua keluarganya menjadi korban dari pembunuh yang identitasnya ia sendiri tidak tahu. Namun setelah ingatan itu berangsur kembali, dia tahu apa yang tenga...