Dia Bunuh Diri - Part 3

120 5 0
                                    

#RealStory
PART 3 --- Enam Anjing Mengejar

°°°

Ini cerita dua hari sebelum Mina bunuh diri.

"Waahahahahahahahahahaha!!!"

Aku memperhatikannya, mencoba mencari apa yang sedang ia tertawakan begitu gelinya. Aku bertanya apa yang terjadi pada celana dalamnya, ia malah tertawa. Aku merasa itu bukan tawa bahagia, tapi sesuatu yang selama ini ia pendam dan dilampiaskan dalam tawa agar siapapun menganggapnya tidak apa-apa. Aku benar-benar harus menemukan akar masalah yang membuat kejadian gila terjadi padaku dan kelainan pasti yang dialami Mina.

Semua itu pasti tertulis di Diary miliknya.

Terbesit di pikiranku untuk mencurinya.

Belum lagi tambang dan bunga makam yang rencananya hendak kuambil, terurung karena Mina Palsu menunjukkan wujudnya di depan mataku. Intinya, tak peduli yang sedang bersamaku ini siapa, aku harus yakin kalau ia adalah Mina.

PLAAK!

Aku terpaksa harus menamparnya.

Mina pun berhenti tertawa. Menatapku kosong seperti orang yang hendak kerasukan. "Kenapa kamu tampar aku?" katanya dengan hening. "Salah aku apa?"

Sementara tanganku terasa panas karena menampar pipinya. "Karena kamu tertawa karena alasan gak jelas!"

Dia diam, menyentuh pipinya dengan sorot mata kosong.

Aku diam dengan napas yang menggebu-gebu.

Mina tiba-tiba tersenyum dan melepaskan tangannya dari pipinya. "Hari ini aku ada reuni SMP.. Kamu mau ikut nggak?" Katanya seolah tak pernah kutampar barusan. "Mereka pasti senang liat kamu."

'Apaan, sih.' kata hatiku geram.

Bahkan ia sampai membuatku tak berkedip karena kelakuannya. Anak ini benar-benar gila, kurasa. Apa yang terjadi padanya sebelum aku datang adalah hal yang sangat ingin ku cari tahu. Kubuang lah jauh-jauh niat mencuri Diary-nya, karena itu ... privasinya. Dan aku akan menjalankan rencana lain. Di mana aku akan menolak ajakannya, tapi aku akan mengikutinya secara diam-diam. Agar melihat bagaimana lingkungan pertemanannya kala SMP berlangsung, tanpaku.

"Ah, mm.. Aku mau di rumah aja. Kamu sendiri aja, ya?"

Ia berdiam sejenak dengan wajah datar, seakan tak suka dengan jawabanku. Kemudian tersenyum lagi. "Ya udah. Kamu nggak apa-apa kalo aku tinggal?"

Aku mengangguk, masih merasa tak enak karena sudah menamparnya. Tapi Mina sendiri malah terlihat tak merasa tamparan itu pernah mendarat di pipinya. "Ini masih pagi banget sih buat ketemu orang baru." kataku. "Aku juga gak enak sama temen kamu nantinya."

Dia manggut-manggut ceria. "Aku titip tasku, ya? Aku nggak akan lama kok." Jika kalian melihat wajahnya, tak ada lagi kata waras dalam sorot matanya dan aku selalu ingin menangis saat melihat matanya.

∆∆∆

Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Tadinya, lagi-lagi aku ingin membaca Diary miliknya. Namun aku tak sempat bertanya kemana ia akan pergi. Makanya, sekarang aku sudah menguntitinya diam-diam secara senyap dan rapih. Aku sudah memakai kerudung warna hitam, topi putih. Dandanan yang Mina tak akan percaya kalau ini aku.

Dia berjalan dengan riang di jalan yang naik-turun. Pohon bambu dan tanaman ketela menghiasi pinggir jalan rakyat. Angin sejuk semilir dengan sedikit sinar matahari. Bahkan bisa dibilang mendung. Kemana anak ini akan pergi, aku tak tahu pasti. Tapi sekrang kami mendekati jalan besar menuju kota. Yang kutebak, temannya ini bukan orang kampung dan tidak seperti Mina.

Seperti kekhawatiran sahabat pada umumnya, hatiku dilanda firasat tidak enak sejak pertama kaki menginjak trotoar, bersampingan cukup dekat dengan Mina yang sedang menunggu angkot. Sampai kami naik di angkot yang sama, dengan wajah yang agak kutundukan dan duduk yang kusengaja agak tomboy, Mina tak tahu kalau ini aku.

Kumpulan Cerita Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang