"Kita mau ngapain hari ini? Atau ke mana?" aku sedang mengelap gelas dan piring yang baru saja ku cuci, dan meletakkan mereka di dalam rak. Sementara Luca sedang berbaring di lantai setengah telanjang dengan kaki dinaikkan ke atas sofabed. Hai itu adalah Sabtu pagi, dia baru saja pulang dari shift malamnya.
"Bisa ga kita ga kemana-mana, dan ga ngapa-ngapain hari ini? Just enjoying each other's presence that is enough for me."
"Not a bad idea. Mau sambil nonton?"
"Apa?"
"Bukannya kemaren mau liat 500 Days of Summer?"
"Aku batalin setelah liat review dan trailernya."
"Kenapa?"
"Ceritanya tentang yang lagi jatuh cinta trus ditinggalin gitu aja. Sounds familiar?"
"Shit man, do you have to say it like that?"
"What?"
Aku pandangi dia dengan sinis, dan ku nyalakan kompor untuk memasak air. Cuaca seperti ini tepat sekali untuk minum coklat hangat. Aku bergegas duduk di sebelah kepalanya yang terbalik di lantai, ia memandangi wajahku seperti ingin mengatakan sesuatu tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan.
"Kenapa?"
"Ga pa-apa..." Luca menyusupkan lengannya ke belakang punggungku dan melingkarkan lengan yang lain ke sekeliling perutku, menembunyikan wajahnya ke perutku. "Nomong-ngomong, tadi ada seorang perempuan tua yang ngeliatin aku terus di koridor. Kenapa dia?" Ketika dia bicara, nafasnya terhembus ke pusarku membuatku aga merinding.
"Oh dia? Tetangga sebrangku? Dia memang begitu. Sulit, ga ramah dan suka protes apa lagi kalau ada yang berisik sedikit saja. Ga usah di pikirin, paling lagi ngawasin tetangga yang satunya lagi soalnya semalem aja aku ga bisa tidur karena mereka berisik."
"Ngapain? Berpesta?"
"Bukan... Emmm... Ya gitu?"
"Seriusan?"
"Serius, aku kira cewenya lagi di siksa atau kenapa karena keras banget. Gimana kerja kamu? Bisa tidur?"
"Baru aja mau tidur sekitar jam 2 pagi, tapi ada pasien dengan luka tembak ke perut sama paha, berantem sama temennya yang lagi mabuk. IGD sampe kaya kapal pecah darah di mana-mana."
Aku membetulkan posisi dudukku, tubuh Luca meluncur dari sofabed sepenuhnya ke lantai kemudian ia memeluk perutku lebih erat. Di tariknya tanganku dan ditempatkannya tangan itu ke kepalanya. Semenjak hari itu ia tak berhenti memintaku membelai rambutnya yang selalu wangi mint, padahal ia baru saja pulang dari pekerjaannya dengan berlumuran darah.
"Emangnya kenapa kamu mau jadi dokter?"
"Karena Nonna (nene) ku. Kamu tau? Yang menyelamatkan aku dari tragedi sialan itu? Nonnaku sakit jantung, dari sejak aku SMP sampai SMA dia tak berhenti keluar masuk rumah sakit, sampai aku pada dasarnya hidup di rumah sakit. Tapi aku tak menyesali itu... Dia satu-satunya orang yang benar-benar peduli padaku."
Aku berhenti sejenak membelai rambutnya, dan memandangi wajah Luca yang tersembunyi. Sulit bagiku menebak ekspresi apa yang ia keluarkan ketika membicarakan nenenya seperti itu.
"Di mana dia sekarang?"
"Roma, bersama bibiku. Bibiku juga tak buruk, untunglah. Oh iya, mau menemui Nonnaku libur natal nanti?"
"Kamu mau aku bertemu dia?"
Luca keluar dari persembunyiannya. Sekarang dia menengadah tepat ke wajahku, aku yang canggung hanya memandang ke sebrang ruangan. "Iya, memangnya kenapa?"
"Ya ga kenapa-kenapa. Memangnya kamu ga ada shift?"
"Tenang, sudah ku atur. Itung-itung jalan-jalan kan? Mau ya?"
"Iya, iya."
Dia mengacungkan kelingkingnya, memintaku untuk berjanji. Ku ikatkan kelinkingku ke kelingkingnya. Dia tersenyum puas. Suara denging melengking datang dari dapur, membuatku sedikit kaget.
"Aku harus angkat air itu." Luca malah mempererat pelukannya ke perutku. "Hey! Lepasin, nanti tetangga itu gedor-gedor deh karena berisik. Ayo cepetan!" Luca menyerah dan melepaskan pelukannya.
"Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan sama kamu," Luca menarik bantal dari sofa dan menempatkannya di bawah kepalanya.
"Apa?" Aku membuka sebungkus coklat bubuk instan dari lemari dan menuangkannya ke dalam mug.
"Mau ga kamu tinggal sama aku?" Pertanyaan itu membuatku berhenti menuangkan air panas. Aku menoleh padanya, dan Luca sedang memperhatikanku. "Maksudnya, aku jemput kamu ke sini, pulang juga antar kamu, kadang aku tinggal di sini. Apa ga sebaiknya kita tinggal bareng aja?"
"Aku bakal memikirkannya." Sebenarnya aku masig ragu dan ingin mengatakan tidak.
"Rumahku lebih deket dari kampus, dan kalo biaya sewa dianggung bedua kan lebih hemat juga. Gimana?"
Yang dikatakannya ada benarnya. Aku memandang ke luar, memperhatikan seorang pelayan yang sedang membersihkan kaca di kafe sebrang gedung tempatku tinggal, sambil aku mengocek coklat hangat itu.
"Kamu mau coklat ini ga?" Aku masih enggan beranjak dari tempatku berdiri di dapur, menghindari percakapan dengan Luca.
"Engga, nanti malah ga bisa tidur. Ya udah kamu pikirin aja dulu, lagian aku ga terburu-buru dan aku ga maksa."
Aku kembali duduk di sampingnya, ia dengan spontan menggeser badannya dan kembali memeluk perutku. Aku menarik laptopku ke dekatku dan memilih film 500 Days of Summer untuk diputar.
"Masih mau nonton itu?" tanyanya dengan sedikit menguap.
"Bukankah kita janji kita ga akan lari dari hal seperti ini? Lets watch this and face the trauma together."
"Baiklah," Luca bangkit dari lantai dan berbaring di sofabed. Aku masih duduk di lantai. Luca telungkup, menempelkan dagunya ke ujung sofabed itu, menyenderkan kepalanya ke kepalaku dan mengalungkan lengannya ke leherku.
"Kamu se clingy ini kah?" Ku tempelkan telingaku ke telinganya.
"Skinship is my language, and this is how i speak." Dia memaikan dagu dan leherku seperti sedang membuai seekor kucing, sementara film di depan kami sudah di mulai.
Kami menonton film itu dalam diam. Menikmati setiap menitnya tanpa bersuara. Memasuki akhir film, saat itu juga aku menyadari kalau tangannya sudah berhenti membelai leherku dan terkulai begitu saja. Nafasnya berhembus begitu dekat ke leherku. Ketika aku menoleh, Luca sudah terlelap dengan damai. Aku bangkit dan merasa prihatin. Dia terbaring dengan posisi seperti anak anjing yang kedinginan. Aku bergegas pergi ke kamar dan mengambil comforter dan menyelimutkannya ke badan Luca. Ku pandangi Luca yang terlelap dengan seksama, dan aku teringat akan cerita dari film yang baru saja aku tonton itu. Ketika Tom, sang tokoh utama, ditinggalkan oleh Summer, pada akhirnya dia bertemu dengan Autumn, seperti pergantian musim dan suasana hati dan cintanya. Setelah aku memandangi Luca, ku pandangi langit musim gugur di luar jendela, dengan daun kekuningan berguguran... Aku bertanya pada diriku sendiri apakah Luca adalah Autumn bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...