2 - Kronologi Versi Dia

359 36 2
                                    


Jika kata orang, hidup adalah pilihan, itu belum bisa berlaku bagi gue. Karena, in fact for me, saat ini gue nggak bisa milih bagaimana kehidupan gue dalam perihal rumah tangga.

So, kalau menurut gue yang melihat keadaan saat ini, hidup itu ketentuan dan ketetapan. Mau enggak mau, terima enggak terima, gue harus menerima dan menjalaninya. Tinggal bagaimana gue menyikapi kehidupan yang belum datang, 'kan?

Serius, lho, gue masih belum terima dituduh melakukan hal mesum di kontrakan gue semalam. Dan gue masih belum sepenuhnya terima kalau laki-laki asing yang gue tahu namanya adalah Rinaldy Adhyaksa ini suami gue, yang notabene adalah seorang yang akan menghabiskan sisa hidupnya sama gue selamanya.

Ini hari Minggu. Yang tadinya menjadi hari tenang buat mahasiswa kayak gue, sekarang berbalik jadi hari paling awkward. Setidaknya selama dua puluh tahun gue hidup.

"Adhis, kamu masih belum mau bangun?" Suara itu. Suara yang masih asing di telinga gue, terdengar mengudara.

Dari balik selimut tebal gue mencoba melihat sosoknya, si pemilik suara dalam, rendah, dan lembut secara bersamaan.

"Adhis?" panggilnya, tanpa embel-embel 'Mbak' seperti sebelumnya.

Sekarang gue masih malas-malasan bergelung di balik selimut meskipun sudah bangun sedari tadi. Sementara dia sudah tampak segar meski dalam balutan outfit kasual. Ya, penampilan biasa. Namun, entah kenapa terlihat luar biasa karena sosoknya.

Gue selalu menjaga penampilan. Menampakkan visual acak-acakan-apalagi penampilan muka bantal-adalah bukan gaya gue banget, bahkan enggak ada di kamus hidup gue.

Tapi saat ini, gue bodoh amat. Justru gue berharap banget dengan muka bantal, mata sembab lengkap dengan kotorannya, liur mengering di ujung bibir, atau rambut mengembang seperti singa jantan bisa membuat dia ilfil. Dan mungkin dengan alasan itu, dia bisa menceraikan gue.

Tapi rasanya percuma. Saat gue bangkit, dan refleks menoleh cermin, gue tetep cantik menawan dalam keadaan apapun dan dilihat dari sudut mana pun. Ugh! Sejak kapan menjadi cantik menjadi begini menyebalkan?

Bagaimanapun juga, gue merasa kesal sama dia. Andai dia nggak menyusup masuk kamar gue, andai dia nggak keluar lagi dari lemari hanya untuk kaus sialannya itu, semuanya enggak akan berbuntut sepanjang ini.

"Masih belum mau bangun?" Dia bertanya lagi.

"Hm, ini bangun." Gue menjawab malas seraya menurunkan kaki dari ranjang.

Oh, wait! Gue lupa kalau semalam gue langsung diboyong ke rumahnya. Tentu saja setelah melewati beberapa drama antara keluarga gue dan dia.

Om Jaya dan Tante Ayu, orang tua Rinaldy, atau dengan kata lain ayah ibu mertua gue, kukuh mau langsung bawa gue. Alasannya untuk meluruskan pernikahan yang sekonyong-konyong ini di rumah. Lebih enak, lebih nyaman, lebih leluasa, katanya.

Sedangkan Mama dan Papa juga kukuh ingin menyeret gue untuk pulang ke Bandung. Alasannya sama, tapi di sini gue udah ada firasat kalau metode problem solving ala Papa bakal ada ultimatum panjang lebar dengan tambahan percikan api emosi. Sudah jadi watak beliau yang enggak bisa berpikir dengan kepala dingin. Sangat enggak cocok dengan profesinya sebagai attorney senior.

"Kamu masih canggung sama keluargaku? Apa nggak masalah kalau aku turun dulu buat sarapan, kamu menyusul?"

"Nggak, nggak, jangan tinggalin gue. Tungguin bentar, ya. Gue mandi dulu."

Dia cuma mengangguk, lalu memilih duduk di sofa yang semalam menjadi tempat tidurnya sembari bermain ponsel. Ya Gusti, baru kali ini gue lihat laki-laki dengan sikapnya yang tenang, kalem, bertutur lembut. Bahkan bicara sama gue pakai sebutan 'aku-kamu'.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang