4 - Jumpa yang Tak Diduga

253 26 1
                                    

Setelah percakapan kemarin, Ayah dan Ibu enggak banyak komentar. Mereka justru menyerahkan semua keputusan pada kami.

Bahkan, mereka bilang akan terus mendukung jalannya pernikahan gila ini, entah mau pisah, atau tetap bersama. Namun, Ibu sepertinya lebih pro sama Mama. Meski tidak terang-terangan, beliau lebih mendukung kalau kami tidak memilih berpisah.

Dan sorenya, Ibu langsung menyuruh kami pergi ke dokter untuk check-up kesehatan seperti pasangan yang hendak menikah. Kebalik, 'kan, nikah dulu baru urus ini itu?

Setelah gue ingat-ingat, dari awal Rinaldy juga sangat hati-hati dalam berucap. Seperti khawatir jika saja dia bisa keceplosan melontarkan kalimat yang menjurus pada talak.

Aih ... sepertinya, enggak ada jalan lain bagi gue ataupun Rinaldy untuk menghindar dari pernikahan gila ini, meskipun hanya pernikahan di bawah tangan.

"Syukur, deh, apartemennya dua kamar." Gue berujar lega, tepat setelah melepas sepatu kets gue dan melangkah ke ruang tengah.

Ya, apartemen. Hadiah pernikahan dari Ayah dan Ibu. Kata Ibu, kami butuh privasi. Itu alasan lain beliau membelikan ini untuk kami. Entah kapan mereka membeli unit ini. Yang pasti, seusai jam mata kuliah terakhir tadi, gue langsung dijemput Rinaldy dan dibawa ke mari.

Heran juga, semua yang di dalam sudah rapi dan siap huni. Dugaan gue, sih, unit di Permata Hijau Residence ini sudah menjadi hak milik keluarga Adhyaksa sebelumnya.

Letaknya cukup strategis. Enggak terlalu jauh dari rumah utama keluarga Adhyaksa di Menteng, enggak terlalu jauh dari kampus gue yang di ujung barat, pun enggak terlalu jauh dari kampus Rinaldy yang di selatan.

"Kenapa?" tanyanya dengan santai seraya berjalan menuju sofa, dan mendudukkan diri di sana.

"Ya gue nggak bisa, lah, biarin lo tiap hari tidur di sofa mulu. Gini-gini gue masih punya rasa kasihan ya, Mas."

"Misal cuma satu kamar, emang mbaknya nggak mau ngalah, gantian gitu yang tidur di sofa?" Dia menjawab, masih dengan nada santai dan lembut seperti biasa.

"What? Lo tega?"

Dia mengangkat bahu. "Kalo mbaknya kemarin aja tega, kenapa aku enggak?"

'Mbaknya' dia bilang?

"Mbak? Gue bukan mbak lo," sentak gue ngegas. Sebutan itu membuat gue merasa orang asing.

Tapi, sebentar. Bukankah kami memang orang asing?

"Terus kenapa aku harus 'mas'?"

Wah ... gue enggak percaya dengan apa yang barusan terlontar dari lisannya. Penilaian gue kemarin salah. Gue kira Rinaldy adalah sosok lelaki lembut dari segala aspek. Ternyata yang lembut hanya suara dan nada bicaranya saja.

Nyatanya, dia bisa juga menjadi sosok yang menjengkelkan seperti ini. Mood gue yang sudah hancur karena Senin, bertambah ambyar karena sisi lain si Rinaldy ini.

Enggak jauh beda sama Bang Satya. Hanya saja, Bang Sat lebih kentara nada kasarnya.

"Terserah," ucap gue tak acuh, lalu menarik dua koper gue yang sudah ada di sini menuju kamar di sebelah kanan.

Gue enggak peduli kalau dia mau pakai kamar ini. Gue bisa mindahin barang-barangnya, kok.

Gila, sih. Setelah gue lihat-lihat, unit ini masuk kategori mewah. Sebenarnya enggak terlalu mengejutkan, menilik dua hari kemarin gue hidup jadi keluarga Adhyaksa, gue jadi tahu jika mereka merupakan kalangan kaum borju. Mungkin juga termasuk salah satu jajaran Sultan Menteng.

Ah, sudahlah. Enggak akan ada habisnya ngomongin keluarga Adhyaksa. Lebih baik gue bergegas bersih-bersih diri. Barang-barang dalam koper dibereskan nanti saja. Cukup keluarkan jeans, t-shirt, dan jaket denim berwarna senada dengan celana untuk keluar malam ini.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang