La Famiglia

493 72 14
                                    

Luca ga ada bosen-bosennya bertanya apakah aku bakal ikut ke Roma untuk ketemu sama neneknya atau engga, dan setiap hri jawabanku tetep sama: aku pikirin dulu ya. Tapi seakan pepatah "sometimes later becomes never" menamparku tepat di pipi, ternyata Natal datang tanpa basa-basi. Pada 24 Desember malam, aku seperti ditarik dengan paksa oleh tangan besar yang tak kelihatan dan tiba-tiba diletakkan di Roma Termini. Kegugupanku ketika turun dari kereta sedikit tertutup oleh rasa takjubku karena salju tipis yang turun di atas kota Roma.

"Aku ga tau kalau bakal turun salju," Luca membalutkan syal rajut tebal ke sekeliling leherku, memakaikan beanie ke kepalaku dan menurunkannya sampai menutupi telinga. "Udah cukup anget? Atau mau tambah lagi?" Tanyanya hendak membuka long coatnya.

"Udah cukup ko, lagian kalo aku pake long coat kamu entar malah kaya pake gaun berekor, karena kepanjangan"

Luca tertawa dan meremas remas beanieku.

"You are such a dork! Now, come on let's go!"

Luca membawaku menaiki bis yang dipenuhi perempuan tua yang membawa sekeresek penuh ornamen natal, karena rupanya ornamen natal mendapat diskon besar-besaran di hari itu; juga anak-anak kecil yang berpakaian tebal membuat mereka terlihat seperti gundukan pakaian berwajah imut memegang gulali atau aromanis.

Kami turun di sebuah jalan besar, dengan kafe-kafe dan toko-toko yang memancarkan cahaya yang hangat di malam yang dingin. Aku mengikuti Luca dari belakang sambil lirik kanan kiri, mengagumi apa yang aku liat. Anak-anak muda dalam grup sedang memainkan alat musik dn menyanyikan lagu-lagu Carol. Pria-pria paruh baya juga ga mau kalah berkerumun, dengan cerutu yang mengepul bermain kartu meninggalkan istri-istri mereka yang memasak makan malam di rumah sambil menonton telenovela yang suaranya bisa kedengeran dari luar balkoni.

"Home sweet home," ucap Luca setelah menekan kata sandi pintu apartemen itu. Kami naik ke lantai tiga dengan lift, tanpa bicara pada satu sama lain. Aku bersandar di dinding lift dan Luca bersandar di dinding lain di seberangku. Ia menatapiku dengan seksama dan bibirnya ga bisa berhenti senyum.

"Kenapa?" tanyaku. Tapi lift berhenti dan pintunya terbuka sebelum dia sempet jawab.

"Cucciolo! (Puppy!)" teriak suara itu mengagetkanku., karena sosok itu tiba-tiba muncul begitu pintu lift kebuka. Wanita itu meluk Luca erat banget, ngelepasin pelukannya, menekan kedua pipi Luca dengan tangannya. "Oh, aku merindukan kamu!" Katanya, meluk Luca lagi, dan saat itu dia baru ngeh kalau aku cuman bisa berdiri di belakang dengan canggung, masih di dalam lift mencoba ga terjebak di dalamnya karena lift itu akan membawaku kembali ke bawah.

"Oh, sni, sini, dia pasti pria yang kamu ceritakan itu kan?" Nonna bicara pada Luca, tapi tangannya menarik tanganku keluar dari lift dan memelukku. "Selamat datang, ayo masuk. Pasti kamu kedinginan. Cucciolo, bawa dia masuk!" Nonna melangkah pergi mendahului kami.

"Cucciolo? Seriously?"

"Shut up!" wajah Luca memerah, dan ini kali pertama aku ngeliat hal itu.

Ketika aku masuk, rasa hangat yang nyaman langsung menjalar dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Dan ketika aku memasuki ruang tamu aku bisa nyium pelembut pakaian mengharumi seisi rumah, wangi pelembut yang khas yang ga akan pernah aku lupa.

"Duduk, duduk!" Nonna menunjukkan tempatku duduk. "Carla, kemari! Mereka sudah datang!" Aku duduk di meja makan dengan gugup dan ngeliat itu Luca megang tangan aku dan senyum, ngeyakinin aku kalo aku ga perlu cemas. Sekarang karena aku berada ditempat terang, aku bisa ngeliat jelas wajah Nonna. Nonna mengenakan sweater rajut berwarna biru navy tapi warnanya tuh pastel (aku ga terlalu tau tentang warna, but you guys get me right?). Rambutnya yang udah putih dipotong super pendek yang bikin aku inget sama Jamie Lee Curtis tapi versi nenek Italia. Lalu tiga orang muncul dari kamar yang entah dimana letaknya.

KintsukuroiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang