Bugh
Agara terjatuh ke lantai, tak siap menerima pukulan yang tiba-tiba dilayangkan padanya. Menatap bingung pada seseorang yang kini seperti tengah menahan amarah. Apa lagi salahnya?
Agara baru saja pulang sekolah setelah mampir ke klinik untuk mengganti perbannya. Dirinya benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan sambutan seperti ini.
"A–Ayah." Aditya menarik kuat kerah Agara agar bangun dari duduknya.
Plak
"Apa yang kamu lakukan di sekolah, kenapa bisa Araka mendapat surat panggilan?" Ah, itu pasti karena pertengkaran Araka dengan temannya.
"Berapa kali harus kukatakan JAGA ANAKKU!" Agara berjengkit kaget dan refleks memejamkan mata.
"... Ma–maaf Ayah ... Maaf," ucapnya terbata, menundukkan kepala.
"Maaf, maaf. Itu sajakah yang kamu bisa?"
Agara semakin menundukkan kepalanya, kedua tangannya meremas kuat sisi celananya. Agara tersentak ketika Aditya kembali menarik kerahnya, ini sedikit membuatnya tercekik.
"Dengar, kalau Araka sampai dihukum ... Kamu yang harus menggantikannya. Mengerti?" Agara segera menganggukkan kepalanya. Aditya menyunggingkan senyumnya, menyentak kuat Agara yang mana membuat si empunya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Agara meremas kuat seragamnya. Air matanya menetes, tapi segera ia hapus kasar. Agara menarik nafas lalu membuangnya perlahan, menarik kedua sudut bibir membentuk senyum yang tampak dipaksakan—menyedihkan.
"Gak papa ... Gak papa, ini bukan pertama kalinya. Gak papa, Agara. Gak , Gak papa ...," air mata menetes di penghujung gumaman lirihnya
Seseorang yang sedari tadi memperhatikan pertengkaran barusan mencengkram kuat pegangan tangga. Hatinya juga merasa sakit ketika pemuda itu mendapat perlakuan seperti yang tidak menyenangkan dari sang ayah.
Agara berjalan menuju tangga. Tepat di atas anak tangga, ada Araka yang sedang menatapnya, tatapan yang sulit Agara artikan. Entah adiknya ini marah, sedih, atau malah senang dengan tontonan gratis barusan.
Agara menyunggingkan senyum tipisnya, tetapi malah membuat Araka semakin sakit melihatnya. Pegangan pada tangga kian menguat, benar-benar benci pada pemuda yang tampak semakin menyedihkan di matanya.
Senyuman itu ... Araka ... Membencinya.
Araka membalikkan tubuhnya berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Agara yang hanya dapat menatap sendu kepergian sang adik. Jujur saja, Agara ... Merindukan adiknya yang dulu selalu menempel padanya. Agara menghela nafas, tertawa kecil atas pikiran yang nyatanya hanyalah berupa angan semu saja.
Matanya kembali memanas, dadanya ikut menyesak bagai dihimpit ditekan kuat . Berjalan cepat menaiki anak tangga, sesampainya ia segera masuk dan menutup dan mengunci pintu kamarnya.
Agara meluruh di lantai, memeluk kedua lutut dan menenggelamkan wajahnya. Agara ... menangis, mungkin tangisannya kali ini lama.
Terlalu lama bersikap tidak apa bukan berarti membuatmu tak lagi merasa, sakit yang kau tahan dan pendam akan berakhir tumpah ruah ... Menjadikan dirimu bom waktu yang tinggal menunggu waktunya saja ... Saat ruang tak lagi cukup menyimpan sang lara.
🛡️🛡️🛡️🛡️
Agara mengerjapkan mata, menoleh kanan kiri menatap sekelilingnya, belum sadar benar mengapa dia duduk di lantai. Beberapa detik setelahnya baru ia tersadar dan mengingat jelas apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Agara bangun dari duduknya, meringis tatkala seluruh persediannya terasa ngilu semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scutum (Sedang Revisi)
Teen FictionAkan tiba masanya saat aku pergi dari dunia Saat janji yang aku ucapkan sudah terlaksana Saat dirimu mengatakan diriku sudah memenuhi yang kau pinta Dan saat Yang Kuasa bilang sudah tiba waktunya Karena memang seperti ini jalan kehidupannya seorang...