Aku pernah mendapat suatu pengalaman buruk, pengalaman mengenai memudarnya batas ambang antara realita dengan imajinasi. Bermula pada suatu malam, ketika aku terbangun mendengar suara tembakan yang diikuti dengan derap langkah kaki berat di depan pintu kamarku yang tertutup, saraf motorik ku lantas menggerakan seluruh badanku untuk bersembunyi di bawah tempat tidurku. Benar saja, ketika aku mengintip dari bawah kasur, terdapat sosok kekar menggunakan jaket dan sepatu bot membawa pistol masuk ke kamarku dan keluar begitu saja, mungkin dia tidak tau keberadaanku. Sekitar satu jam aku di bawah kasur, dan merasa sudah aman. Aku merangkak keluar dari kasur dan menuju ke kamar orang tua ku. Pintu kamar mereka terbuka, aku mengintip dan mendapati ke dua orang tuaku telah dilumuri cairan merah kental serta tubuh mereka membeku. Aku masih ingat ketika melihat wajah ibuku pada saat itu, matanya melotot serta mulutnya menganga lebar bagai dipenuhi teror. Ayahku di sisinya, terkulai menutup mata dan dari mulutnya keluar darah. Tubuhku sontak membeku, perasaan sedih, marah dan tak berdaya bercampur menjadi satu. Pada saat itu aku masih kecil, namun aku tidak bodoh untuk membedakan orang yang hidup dan yang sudah mati. Aku lalu menelpon polisi.
Malam itu juga aku langsung dibawa ke kantor polisi, tidak lama aku menunggu bibiku datang. Ia datang sambil menggerutu pelan, ia menyumpah dengan berbisik. Namun telingaku cukup tajam untuk mendengar sumpah serapah yang diucapkannya. Pada saat itu aku belum terlalu mengenal bibiku, hingga ketika aku dibawa ke rumahnya pada saat itu juga. Jangan berpikir jika aku ikut dengan bibiku, semuanya akan baik – baik saja. Bahkan jika aku bisa memutar waktu, aku lebih memilih untuk tetap di kantor polisi hingga aku menjadi seperti sekarang. Kesedihan yang ku alami karena kejadian meninggalnya keluargaku bertambah ketika aku sampai di rumah bibiku. Aku ditempatkan di kamar yang tidak layak – sekarang aku baru menyadari jika kamarku merupakan bekas gudang – diperlakukan menjadi layaknya budak disana, serta aku tidak luput dari cacian dan hinaan yang ia lontarkan jika aku tidak bekerja dengan benar. Kesedihan yang bertumpuk itu lantas aku tuangkan ke dalam imajinasiku. Seperti ketika aku tengah dipukuli bibiku, aku membayangkan jika dipucuk ruangan ada ayahku yang sedang menunggu momen yang tepat untuk menyambar bibiku, dan anehnya aku mempercayai hal itu sehingga aku melawan bibiku yang ujung – ujungnya memperparah keadaan.
Keadaan ini membuatku mulai melihat adanya seorang wanita dikamarku. Ia berumur sama denganku dan memiliki paras yang mirip dengan ibuku. Anehnya, ia seakan – akan merasakan apa yang ku rasakan. Ketika aku marah karena bibi memukulku, ia juga marah. Ketika aku sedih karena teringat kenangan bersama keluargaku, ia juga ikut meneteskan air mata, ketika aku bahagia karena bibiku memberi makanan enak – walaupun makanan sisanya – ia juga ikut tersenyum. Pada saat itu bibiku tidak mempebolehkanku sekolah karena ia memiliki kondisi finansial yang buruk, sehingga aku tidak memiliki teman. Dan menurutku dengan adanya kehadiran wanita ini di kamarku, aku merasa memiliki teman, teman yang mengerti apa yang aku rasakan. Hingga pada suatu saat ketika aku dipukuli habis oleh bibiku, tak berdaya bergerak dan melawan bagaikan seorang yang tertimbun puing – puing bangunan besar. Aku mencari celah dan lari terbirit – birit ke kamarku. Aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Di kamar aku melihat wanita tersebut terlihat sangat sedih, matanya sayu dan merah serta terlihat kehabisan air mata. Aku sangat iba melihatnya dan teringat ibuku, paras mereka sama. Aku lalu melontarkan lelucon padanya, untuk menghiburnya. Dan respon wanita itu positif, ia tertawa. Aku senang melihatnya tertawa, namun tertawaan itu terhenti ketika bibiku masuk ke kamarku dan melihat seorang bocah lelaki memakai make up sambil tertawa melihat cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompilasi Pemikiran
RandomKompilasi cerita pendek berisi pemikiran terdalam penulis mengenai psikologis, kepribadian, kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang ditulis disini tidak berdasar pada apapun selain letusan yang ada di otak penulis.