Nabila 25 • Kisah yang Belum Usai

4.4K 684 8
                                    


Ada yang bilang kalau penyesalan memang datang belakangan
Dan sepertinya itu yang saat ini aku rasakan

Jantungku masih bertalu-talu dengan cepat. Bahkan setelah Mas Panca sudah jauh tidak terlihat.

Awalnya aku berfikir untuk pulang dan membatalkan acara menonton saja. Tapi dewi fortuna sepertinya sedang tidak berada di sisi ku. Ponsel, dompet, dan seperangkat peralatan untuk menunjang kehidupanku di luar rumah raib begitu saja. Sengaja dibawa oleh Mas Panca dengan alasan yang baru ku tahu barusan tentunya.

Hingga pada akhirnya, aku benar-benar tidak punya pilihan lagi untuk menghindar dari sosok lelaki yang selama ini selalu membuatku merasa bersalah. Sosok yang pernyataan cintanya kubalas dengan makian, dan sosok yang membuatku merasa sangat menyesal karena sebuah kesalahpahaman.

Bibirku tidak berhenti merapalkan doa. Semoga Mas Leo datang bersama temannya, atau jika perlu kekasihnya.

Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ayo semangat, Na! Kamu pasti bisa! Ucapku menyemangati diri sendiri.

***

"Hai, Na. Apa kabar?" Tanyanya yang membuat detak jantungku ingin berhenti seketika.

Bagaimana bisa sosok lelaki yang tidak pernah kutemui selama dua tahun belakangan ini bisa begitu berubah seperti itu. Apa iya waktu dua tahun bisa merubah orang sebegitu besarnya?

Dia benar-benar terlihat sangat menawan dengan kemeja biru langit yang sedang ia kenakan. Dengan celana levis yang robek di bagian kedua lututnya, serta convers dengan warna senada.

Gila. Its realy crazy! Dia benar-benar hampir keliatan sangat sempurna di mataku. Dan sialnya, itu berefek pada organ jantungku yang berdetak abnormal karenanya.

Oke oke biar aku jelaskan.

Pada dasarnya aku tetaplah wanita normal. Perempuan umur dua puluhan yang tentu saja mudah tergoda dengan sosok kaum adam yang punya visual di atas kata standar. Dan pertemuanku kembali bersama Mas Leo kali ini, tentu saja bisa benar-benar membuat perasaanku berantakan.

"Alhamdulillah Mas, baik." Jawabku yang semoga intonasinya terdengar normal.

Kulirik Mas Panca malah tertawa melihat interaksi kami. Sepertinya dia sangat menyukai keadaan canggung yang menyelimuti.

Kill!

"Gue beli minum dulu bentar. Kalian tunggu sini aja," Kata Mas Panca yang membuatku ingin mengumpat seketika.

Double kill!

Aku sungguhan ingin menonjok wajah sengklengan saudara tuaku itu.

Setelah kepergian Mas Panca tidak ada yang bersuara diantara kami. Hanya saling berhadapan dalam diam, sampai akhirnya si Mas Ganteng di depanku melontarkan pernyataan yang bisa saja membuatku masuk UGD seketika.

"Cantik banget, Na!"

Tripple kill!

Mama ...
Hilangkan aku sekarang dan kembalikan taun depan!


***


Melihat Mas Leo terdiam saat kami akhirnya memilih duduk didepan ruang bioskop malah membuatku semakin gugup. Ini Mas Leo. Lelaki yang dua tahun lalu menyatakan cintanya padaku tepat dihalaman belakang rumah. Sosok lelaki yang benar-benar tidak kusangka bisa memiliki perasaan seperti itu kepadaku. Dan sosok laki-laki yang menghilang tanpa memberikan kesempatan padaku untuk meminta maaf atas perbuatanku waktu itu.

Fyi, Mas Leo adalah sepupu jauhnya Reno. Yang kebetulan menghabiskan masa SMA di kota pelajar ini dan tinggal di rumah Reno, which is berarti otomatis menjadi tetanggaku. Dan umurnya yang setara Mas Panca, membuatnya memang hampir setiap hari main ke rumah. Seperti hubunga Aldo dan Reno, maka hubungan antara Mas Panca dan Mas Leo pun seperti itu.

"Sejak kapan di Jogja?" Tanyaku memecah keheningan

"Its about three months ago," 

"Kenapa nggak main ke rumah?" Entah kenapa aku malah melontarkan kalimat itu.

Mas Leo langsung mengalihkan pandangannya padaku. "Kamu nggak papa aku main ke rumah?" Pertanyaanku justru dijawabnya dengan pertanyaan juga.

Sungguh, aku bingung ingin membalas apa. "Hmmm...." Hanya jawaban itu yang bisa aku berikan padanya.

"Maaf, Na." Ucapnya yang seketika membuat kedua tanganku mengepal di kedua sisi.

Nyatanya penyesalan itu datang kembali. Bahkan ketika dua tahun telah berlalu diantara kami.

"Kenapa nggak jujur soal Alfian Mas waktu itu?" Kali ini aku yang justru menjawab permintaan maafnya  dengan pertanyaan.

"Aku nggak mau nyakitin kamu," Jelasnya yang justru berhasil menyesakkan dada.

"Why?" Tanyaku dengan suara tertahan.

"Because i love you, and the truth wil be hurt you Na."

"Your lies hurt me too, Mas. Dan mungkin, malah jauh lebih besar dibandingkan jika Mas mau kasih tau kebenarannya soal itu ke aku waktu itu."

"Sori Na."

"But its hurt you too, Mas. " Aku melontarkan pernyataan dengan suara yang agak meninggi.

"Aku bahkan dengan tidak tahu malunya maki-maki kamu gara-gara itu." Ucapku mati-matian, lalu berakhir dengan menelungkupkan kedua tangan ke wajah untuk menutupi air mataku yang mulai jatuh membasahi pipi.

Aku sudah tidak peduli lagi bahwa posisi kami duduk cukup strategis. Yang berarti bahwa apa yang terjadi saat ini diantara kami bisa saja dilihat orang-orang. But i don't care. The one and only i want is crying, dan menghilangkan sesak yang ada di dada.

"Aku jahat banget Mas sama kamu waktu itu. Tanpa mau minta penjelasan or anythyng like that, aku ngehakimin kamu gitu aja. Bahkan aku marah-marah nggak jelas cuman karena kamu bilang kalo kamu cinta sama aku." Ucapku dengan nada putus asa.

Mas Leo menarik kedua tanganku yang menutup wajah. Lalu menyunggingkan senyum menenangkan yang dulu seringkali membuatku tenang di tengah kekalutan. "Nggak papa, Na. That is the past. Dan Mas pikir, nggak ada yang perlu disesalin soal itu. Semua udah berlalu, dan satu-satunya yang nggak berubah semenjak waktu itu cuman perasaan Mas ke kamu."

Gila... Entah mengapa perasaanku langsung membaik seketika.

Point OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang