03. Kenangan Kedua

23 11 1
                                    

Ternyata, setiap pertemuan denganmu adalah hal terindah yang tidak bisa digantikan dengan emas ataupun berlian.
-Yuna Zhafira
.
.
.


“Yuna, lo gak pulang?” tanya Sarah.

“Eungghh...”

“Yun, badan lu panas!” teriak Dina setelah meletakkan tangannya pada punggung tangan Yuna.

“Caca mana?” tanya Dina pada Sarah.

“Caca lagi ada di ruang BK.” Sebelum Sarah menjawab, Yuna lebih dulu menjawab pertanyaan Dina. Tentunya dengan suara paraunya.

“Lo hari ini pulang sama Caca, kan?” tanya Sarah.

Yuna dan Caca memiliki arah jalan pulang yang sama. Keduanya berada di komplek yang sama dengan blok yang berbeda. Tidak heran jika mereka berdua kadang lebih dekat dari 2 anak kembar.

Yuna tiba-tiba berdiri. Badan yang terlihat lemas dan wajah yang pucat, Yuna berusaha sekuat tenaga. Kini ia melangkah kakinya untuk menuju lapangan sekolah, tepatnya pada lapangan basket.

“Yun, lo sakit. Jangan ngebucin dulu,” tegur Sarah dari kejauhan. Karena Yuna sudah berada di luar kelas dan siap menuju lapangan basket.

Langkah kaki yang sedikit terhuyung. Kepala yang terus menunduk. Yuna memang benar-benar nampak sakit.

Srettt!

Jaket yang berada di tangan kanannya tiba-tiba jatuh. Tanpa berpikir panjang Yuna mengambil jaket itu. Kepalanya terasa sangat pusing. Semakin menunduk, kepalanya terasa semakin sakit. Dengan kesadaran yang sedikit berkurang, Yuna berusaha menguatkan dirinya untuk tidak ambruk saat ia mengambil jaketnya yang terjatuh.

Grebb!

Hampir saja Yuna menjatuhkan dirinya pada lantai yang dingin. Ia masih berada di teras sekolah. Gadis itu melirik tangan yang menangkapnya secara tiba-tiba. Besar. Ini bukan tangan cewek, gumam Yuna.

Matanya menatap seseorang yang berada tepat di sebelahnya. Sosok yang sangat tinggi dari tinggi badannya. Sungguh sangat kontras dengan tinggi badan Yuna.

“Kamu tidak apa? Wajahmu sangat pucat.” Suara serak laki-laki itu mampu menembus gendang telinga Yuna. Suara dan kalimat itu seperti sudah terentri dan akan tersimpan selamanya dalam kotak memori Yuna.

I don’t believe it!

Yuna diam terpaku melihat sosok laki-laki yang berada di sebelahnya. Hmm, ya! Dia adalah Yuda. Laki-laki yang selama ini Yuna kagumi hanya karena sebuah senyuman.

“Hei! Tidak apa-apa, kan?” tanya Yuda lagi sembari menengok Yuna. Karena tinggi Yuna yang bisa dibilang pendek, Yuda berusaha menyejajarkan wajahnya agar Yuna tidak terlalu menengok untuk menatapnya.

“E-em. T-tidak apa-apa.” Yuna berusaha menutupi kegelisahannya. Ia tidak berani menatap Yuda ketika laki-laki bertanya padanya.

“Mau aku antar ke UKS?” tawar Yuda.

Yuna? Jangan ditanya! Gadis itu sudah seperti es batu yang tengah mencair. Seperti kehabisan kata-kata, Yuna sama sekali tidak bisa menjawab peranyaan Yuda. Gadis itu hanya berharap sekarang juga ada mukjizat yang bisa menyelematkannya dari situasi yang bisa membunuhnya secara perlahan.

“YUNAAA!” Suara cempreng memenuhi telinga Yuda dan Yuna. Siapa lagi jika bukan Caca yang berteriak seperti orang kesetanan. “Lo kemana aja? Udah gue bilangin buat diem aja di dalam kelas!”

Yuna dan Yuda saling melempar tatap. Yuna tersenyum canggung pada Yuda, sedang laki-laki di seberangnya itu tengah tersenyum manis.

“Nama kamu Yuna?” tanya Yuda.

“Iya,” jawab Yuna singkat beserta senyum canggungnya.

“Hoshh hosshh! Udah dibilangin buat diem aja, kan?” ucap Caca dengan tatapan sinis.

“Temannya Yuna?” tanya Yuda.

Caca langsung menoleh ke arah Yuda. “Ah, iya. Aku Caca, temannya anak bandel ini,” jawab Caca tanpa filter.

“Sepertinya dia sakit,” ujar Yuda. “Bawa dia ke UKS. Masih ada susternya, kok,” pinta Yuda. “Aku harus ke lapangan sekarang.”

Permintaan itu diterima Caca dengan anggukannya. “Terima kasih sudah menemukan Yuna.”

“Tidak. Aku tidak menemukannya. Aku hanya baru keluar dari kamar kecil dan melihatnya seperti ingin terjatuh,” jawab Yuda apa adanya.

“Bagaimana pun, terima kasih,” ujar Caca lagi.

Yuda tersenyum sebagai balasan. Sebelum laki-laki itu benar-benar meninggalkan Yuna dan Caca, ia sempat berbicara, “kalau sakit, jangan diusahain buat ngelakuin semua hal sendirian. Cepat berobat biar lekas sembuh.”

Demi es kutub mencair! Yuna sudah seperti lautan air es sekarang. Bahagia? Tentu saja. Rasanya semua lemas dan rasa sakitnya tiba-tiba menghilang.

“Ca, sepertinya gue udah nyelamatin Presiden di kehidupan sebelumnya,” ujar Yuna meracau.

“Mana ada! Hidup hanya 1 kali. Dah ayok ke UKS!” Caca menarik Yuna.

“Gue udah sembuh, Ca.”

Caca menghembuskan napasnya kasar. “Sembuh napas lu harum! Masih panas gini juga.”

“Badan gue emang masih panas. Tapi hati gue udah kedinginan,” jawab Yuna. Ia tak henti-hentinya menatap Yuda yang berada di tengah lapangan basket.

“Ya udah. Lo tunggu di kursi itu aja.” Sebuah kursi yang berada di sudut yang mana dari kursi itu bisa dipakai menonton anak-anak ekskul basket.

“Lo diem aja. Jangan ke mana-mana. Biar gue yang ngambilin obat ke UKS.” Yuna mengangguk setuju dan ia langsung berjalan menuju kursi yang Caca maksud.

Memang benar! Setiap pertemuan denganmu adalah hal yang sangat indah.

To be continued
.
.
.

Je/Jen,
23 Maret 2021

7 Kenangan Terindah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang