Tepat pukul tujuh pagi, aku sudah berada di ruang BK bersama Bu Ita. Menyerahkan surat permohonan maaf sekaligus kronologi kejadian kemarin. Aku tidak pandai menulis, jadi aku tulis asal saja, yang penting selesai. Surat itu juga kuberi materai, hasil merogoh uang sakuku. Terpaksa aku tidak bisa jajan hari ini.
Bu Ita membaca dengan teliti surat yang kutulis. Aku harap surat ini tidak dinilai. Sebab aku belum sempat konsultasi dengan Pak Jalal. Lagipula, Pak Jalal juga tidak pernah memberi nilai pada semua tulisan yang kami buat. Hanya memberi paraf tanda mengerjakan tugas.
“Menarik,” kata Bu Ita sambil meletakkan kertasku diatas mejanya. “Kamu tau nggak, kira-kira kenapa botol whiskey ada di dapur Ardan? Apa keluarganya melegalkan minuman keras?”
“Saya tidak tau, Bu. Saya tidak pernah main ke rumah Ardan.” Jawabku ragu. Aku memang tidak pernah main ke rumah Ardan. Kami jadi teman sebangku baru dua bulan. Pun begitu dengan Emen dan Dodot. Kami hanya kebetulan duduk di satu deret yang sama. Selebihnya, aku juga tak begitu tau tentang mereka.
“Kalau Emen, apa dia belajar main bridge?”
“Saya juga tidak tau, Bu. Tapi saya tau Emen bisa meramal pakai kartu remi.”
“Menarik,” ujar Bu Ita lagi. “Kamu pernah diramal Emen?”
“Tidak, Bu. Tapi cewek-cewek di kelas minta diramalin.”
“Ramalannya tepat?”
“Sepertinya tidak, Bu. Kalau tepat, harusnya Emen punya firasat jika kami bakal ketahuan. Nyatanya kami malah dihukum.”
Bu Ita terkekeh kecil. “Lalu Dodot, setiap pagi sarapan asap rokok?”
“Saya tidak tau, Bu. Sebab ibunya Dodot tidak pernah melapor pada saya beliau masak apa pagi ini.” Aku menjawab dengan asal. Aku mulai tidak menyukai pertanyaan Bu Ita yang sepertinya terlalu kepo dengan kehidupan pribadi teman-temanku. Tapi Bu Ita malah terkekeh.
“Lalu kamu sendiri,” tanya Bu Ita sambil menatapku menyelidik. “Ibumu tidak pernah menyediakan sarapan?”.
Pertanyaan Bu Ita membuatku memutuskan untuk tutup mulut. Semakin kesini, Bu Ita makin banyak mengorek informasi mengenai kehidupan pribadi teman-temanku, juga aku. Aku tidak menyukai hal ini, sebab aku tak suka bergosip. Jadi aku putuskan untuk diam dan menggeleng.
Bu Ita mengajukan beberapa pertanyaan lagi padaku, yang semuanya kujawab dengan gelengan kepala. Aku merasa tidak nyaman, juga malu untuk membicarakan kehidupan pribadiku dengan orang asing. Butuh waktu sepuluh menit hingga akhirnya Bu Ita menyadari bahwa aku tidak nyaman dengan pertanyaan ini.
“Mikha, kamu malu menceritakan latar belakang keluargamu sama saya?” tanya Bu Ita tepat pada sasaran. Aku, lagi-lagi menggeleng dan menunduk. Selalu seperti itu sejak sepuluh menit yang lalu.
“Menarik,” ujarnya lagi. “Baik, saya beri kamu tugas kedua. Tulis latar belakang keluargamu. Kebiasaan ayah, ibu, juga saudaramu. Bila perlu, tulis juga tentang teman sepermainanmu di rumah.”
Hah? Tugas lagi? Aku sudah mendapat hukuman, juga sudah selesai mengerjakannya. Lalu kenapa ada tugas tambahan?
“Ta... Tapi, Bu...”
“Jika kamu keberatan mengerjakan tugas ini, maka hukuman teman-temanmu membersihkan WC siswa akan saya tambah menjadi dua minggu. Dan saya pastikan kamu ikut bersama mereka.”
Glek. Ini sungguh penindasan dari guru terhadap siswa. Tidak adil! Tapi aku juga tidak punya keberanian untuk menentangnya. Yang bisa kulakukan hanya menunduk dan mengiyakan. Aku harus menulis lagi, sesuatu yang tidak pernah ku sukai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kecil Mikha
HumorMikha hanya seorang siswa biasa dengan nilai akademik biasa dan hidup biasa yang cenderung monoton. Hingga suatu hari ia ikut ketiga kawannya bolos jam upacara dan mendapat hukuman menulis. Dari situ akhirnya ia mulai menemukan hasratnya dibidan tul...