Langit sudah menggelap saat kami berdua masuk ke sebuah café yang ada di seberang taman. Café itu cukup luas dengan meja-meja kecil dengan kursi-kursi bersandaran yang melingkarinya. Nuansa putih dan kayu. Tipe- tipe café aesthetic yang di datangi dengan tujuan foto Instagram.
Ara berjalan mendahuluiku, menuju bangku panjang yang menghadap langsung ke arah luar. Dari jendela kaca besar yang ada di depan meja kami dapat terlihat kendaraan berlalu-lalang, dan taman yang mulai dipenuhi cahaya lampu.
Aku memesan 2 matcha late dan dua strawberry cake. Entah Ara suka atau tidak, aku hanya mencoba menebak. Gadis itu menggeser posisi duduk saat melihatku datang membawa nampan minuman kami.
Kami berdua saling tatap sejenak sebelum sama-sama sibuk menatap ke depan. Seolah-olah memandangi kendaraan yang ramai berlalu-lalang dan lampu-lampu yang mulai dinyalakan melalui jendela besar adalah hal yang paling menarik sekarang. Aku sengaja tak mengungkit lagi percakapan di taman karena menurutku bukan hal yang bijak kalau mendesak seseorang bercerita padahal dia tak nyaman.
Ara mendengus keras sampai membuatku menoleh ke arahnya. "Kenapa Ra?"
"Masih kepikiran soal lagu."jawabnya tanpa memandangku. "Pengin bikin lagu yang bagus tapi masih nggak tau harus diapain."
Aku berheham. "Aku pernah baca, karya yang baik itu kalau disampaikan pake hati. Mulai dulu dengan apa yang kamu rasain sekarang."
Ara mengerutkan dahi. Dia meminum matcha latte-nya lalu menatapku frustasui. "Udah lama nggak ngerasain apa-apa Kak."
"Hm... gimana kalau kita mulai dari hal yang paling ditakuti? Hal yang kita takuti bisa jadi keresahan juga Ra."
"Hal yang ditakuti?"ulang Ara pelan. Tangannya memutar-mutar sedotan pelan. "Hm...Apa ya? Kalau kakak?"
"Masa depan"
Ara melebarkan mata, menatapku dengan tatapan menilai. "Why?"
Selama ini aku hidup tanpa tahu harus melakukan apa, tanpa tahu harus menyukai apa. Semua yang akan aku lakukan sudah di atur dan semua yang harus aku lakukan sudah direncanakan. Hidupku bukan milikku.
"Kalau kamu?"aku memilih tidak menjawab pertanyaan Ara.
Gadis itu terdiam cukup lama. "Sendirian."gumamnya. "Kakak nggak takut sendirian?"lanjutnya.
"Nggak juga"aku memandang wajahnya dari samping. "Kenapa takut kalau pada akhirnya kita juga sendiran?"
Ara menatapku heran. "Nggak ada orang yang tahan sendirian."
Aku mengakui itu. Pada awalnya aku juga tak tahan, tapi lama-lama aku mencoba terbiasa. Aku akhirnya bercerita tentang masa kecilku kepada Ara. Tentang orangtuaku yang menjalani kehidupan pernikahan secara jarak jauh. Ayah terus berpindah lokasi kerja, begitu juga ibu. Karena alasan itu aku selalu berpindah-pindah sekolah hingga menjadi anak baru hampir di setiap tahun ajaran baru.
Awalnya aku kesulitan. Di setiap tempat aku akan menemukan orang baru, tapi juga akan kehilangan dia saat pindah ke sekolah lain. Sampai akhirnya aku sampai pada kesimpulan, setiap orang akan berpisah secara alamiah kerena mencari jalannya masing-masing.
"Jadi aku menyerah di sekolah yang lama."aku mencoba membaca ekspresi Ara, tapi gadis itu hanya memberikan senyum tipis. "Bisa dibilang aku nggak punya teman."
"Tapi kakak nggak menyerah kali ini."ujarnya.
"Kalau Jimmy nggak datang duluan, mungkin aku juga akan nyerah."ujarku miris."Bagus lah. Kita tetap butuh orang lain untuk nemuin diri kita yang sebenarnya."lanjut Ara."Karena ada bagian kita yang cuma bisa dilihat sama orang lain."
"Contohnya, aku nggak akan pernah nyanyi kalau nggak ketemu kalian."
Ara tersenyum miring. "Benar juga."
"Tapi Ra."
"Hm?"
"Kalau kamu takut sendirian kenapa kamu malah menyendiri?"
"Nggak kok."Ara protes. "Aku selalu sama Theo, Jimmy."
"Kalian bertiga terus?"
Ara mengangguk. "Sejak aku pindah kesini."
"Kenapa kamu pindah rumah?"
"Aku ikut Bibi, keluarganya Theo."
Aku yang sedang meminum matcha latte hampir tersedak. "Kamu sama Theo keluarga?"
"Sepupu."
Aku tediam. Entah kenapa aku rasa keduanya terlalu dekat untuk disebut sebagai sepupu.
*
Malam semakin larut. Gelas dan piring kami sudah kosong, hanya tinggal remah-remahnya saja yang tersisa. Bahan obrolan kami juga sudah habis dan dari tadi aku hanya terdiam menatap luar café, menunggu hujan reda sementara Ara sibuk mencorat-coret diatas buku kecil. Disituasi seperti ini aku bersyukur tidak tinggal dengan Ibu. Kalau ibu tahu aku membolos les hanya demi bertemu seorang anak perempuan entah bagaimana reaksinya. Ketidakpedulian ayah soal kehidupanku jelas menguntungkan disaat seperti ini.
"Kita tunggu hujan agak reda ya."kataku yang dijawab anggukan oleh Ara.
Beberapa lama, hujan tak kunjung berhenti, malah makin deras. Aku memperhatikan jalan dengan gelisah. Sekarang sudah setengah 9, pasti ayah sudah pulang. Bisa juga ayah sedang di perjalanan seperti para pengendara yang berlalu-lalang. Apalagi kondisi hujan deras begini. Dari tadi memang ada beberapa pengendara yang memilih menepi dan menunggu di depan toko serba ada di depan sana.
Saat aku sedang larut dalam fikiranku sendiri, aku melihat sebuah sepeda motor yang tak asing menepi di depan toko serba ada. Seorang pemuda dan seorang perempuan terlihat basah kuyup karena hujan dan tak mengenakan mantel.
Si pemuda dengan sikap gentelmennya melepaskan jaket denim yang dia pakai lalu memakaikannya pada bahu si gadis yang terlihat kedinginan. Keduanya saling tatap sambil bergandengan tangan, lalu memasuki bagian dalam toko.
Karena minus, mataku agak buram. Dari sepeda motor dan gayanya pemuda itu seperti Theo tapi aku tak yakin.
"Kak"panggilan Ara membuyarkan konsentrasiku. "Pulang sekarang aja yuk"katanya pelan. Gadis itu merapikan barang-barangnya sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya.
To be continued ....
Jangan lupa vote dan komen ya kalau kalian suka cerita ini,,,
Setiap vote sama komen kalian selalu berarti :)
Tolong subscribe youtube- ku juga ya.... makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...