Sebuah Awal

16 8 2
                                    

"Di ingatanku kau serupa daun yang tak pernah digugurkan oleh musim."

Lalu kenapa seorang ustadzah yang menemani mereka di rumah. Ke mana ibu mereka, tepatnya istri Akhtar?

Akhtar, aku belum mengenalnya sama sekali. Siapa dia?

“Mai, sudah larut. Kamu harus pulang.”

Dia memutari ranjang mendekatiku. Aku ikut berdiri. Sementara dia berbicara pada Randy. Kemudian menggiringku keluar setelah aku berpamitan pada adiknya.

***

Dia lebih banyak diam selama perjalanan dan aku tidak bermaksud memecah keheningan meski membuat kaku di leherku. Kubiarkan saja seperti itu. Padahal aku bisa pulang seorang diri. Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia tidak akan sudi dianggap lelaki yang tidak bertanggung jawab.

Tiba di garasi rumahku, dia menyerahkan kunci disertai permohonan maaf karena telah merepotkan. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Malah sebenarnya aku senang bisa mengenal dua anggota keluarganya tanpa direncanakan. Aku mengatakan padanya tentang harapanku semoga ibunya segerah pulih yang dibalas ucapan terima kasih olehnya.

Tak lama sebuah mobil pick up yang dia pakai sebelumnya muncul di depan pagar rumahku. Bersamaan dengan munculnya Bi Nah di muka pintu. Dia berbicara sebentar pada Bi Nah, menjelaskan secara singkat alasan keterlambatanku tiba di rumah. Kemudian undur diri. Aku terus menatap pick up yang membawanya pergi hingga lenyap di ujung jalan.

Akhtar. Sejak kapan aku merasa hidupku kembali normal? Apakah kehadirannya secara tidak langsung menarikku dari dunia asing. Dimensi yang dulu penuh dengan air mata? Aku tidak tahu. Kedatangannya yang tiba-tiba mampu membuatku lupa betapa hari-hariku sangat suram sebelumnya.

(Ryu Anggara)

Awalnya aku tak percaya dengan penglihatanku. Berkali-kali kutepis pikiran itu. Tentu saja itu bukan dia. Hanya ilusi di kepalaku saja lantaran akhir-akhir aku terlalu terobsesi padanya.

Di dalam sebuah Honda Jazz berwarna biru yang sudah tak asing bagiku, dia bersama seorang laki-laki di malam selarut ini. Melintas di depan sebuah kafe dimana aku sedang duduk menekuri sekaleng minuman soda dan mengisap kuat-kuat sebatang rokok. Pengkihatanku hanya terhalang dinding kaca yang mulai berembun Sedikit mengaburkan pandangan. Aku terkesiap. Lantas mengutuki diri. Menyalahkan mata yang kupikir mulai letih.

Pertemuan dengannya beberapa jam yang lewat seolah begitu lekat dalam benak. Membuatku memutuskan untuk tidak memejamkan mata sepanjang malam ini. Aku takut saat bola mataku terlelap, potongan-potongan peristiwa sore tadi lenyap dalam kepala.

Aku ingin terus mengingatnya dalam gerak lambat. Setiap detail ekspresi yang dia tunjukkan padaku. Gurat-gurat kepedihan yang memenuhi air wajahnya, kerjap matanya yang mungkin saja tengah membendung air mata. Dan yang terpenting, deru dalam napasnya yang membujuk hasratku untuk mendekapnya.

Tapi bagiamana jika tadi benar dia?

Tepat saat prasangka itu muncul aku dengan tergesa memanggil pelayan. Merogoh lembar uang untuk sekaleng minuman dan sebungkus rokok yang sisianya kumasukan kedalam saku kemeja. Melesat meninggalkan kafe yang gemerlap oleh lampu-lampu hias. Menjulur diantara daun-daun tanaman yang merambat sepanjang kawat membentuk lingkaran penuh. Sekilas menghadirkan ilusi mata seolah-olah menyaksikan kunang-kunang bergerombol mengelilingi bangunan bercat seperti warna kayu ek itu.

Dengan Honda berkapasitas mesin 1000 cc, aku melaju cepat membelah jalanan yang mulai lenggang. Ujung kemeja berkebar-kebar membuatku seolah terbang. Mengabaikan terpaan udara malam yang mengigit. Menusuk ke bawah pori-pori. Hanya satu yang ada dalam kepalaku detik ini memastikan bahwa apa yang kulihat bukan dia.

Izinkan Aku Menjadi  Ibu Untuk Anak-AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang