18| Drama Hilangnya Bumi

15.5K 1.4K 22
                                    

"Saya lagi jaga parkiran tadi, Pak. Pas balik ke pos, tiba-tiba udah ada bayi. Saya tungguin barangkali ada yang nitip, tapi udah dua jam ga ada yang ambil anaknya. Saya bawalah ke pos pengaduan," lelaki itu merasa takut di bawah tatapan Mas Akbar. Dia yang tidak kenal saja bisa takut, apalagi aku yang sekarang hanya bisa menunduk sambil sesekali sesegukan.

Bumi sudah di gendongan suamiku ketika kami melapor ke pos pengaduan. Jujur, aku sangat ketakutan mengingat kejadian tadi. Tipu daya yang luar biasa.

"Mbaknya sekarang gapapa, kan?" Tanya pegawai setempat tempat kami mengadu.

Aku mengangguk tidak nyaman. Bahkan aku tidak bisa membayangkan apapun lagi setelah ini.

"Terimakasih Pak, Bu. Saya mohon maaf sudah membuat keributan di sini," Mas Akbar melirikku datar.

Aku menelan ludah cepat.

Mas Akbar benar-benar berantakan saat anaknya hilang, sementara aku menyeret tubuhku yang sudah lemas kesana-kemari mencari Bumi.

Apapun yang terjadi, tidak dua kali aku ke pasar!

"Iya Mas, tidak apa-apa..."

Setelah menyelesaikan semua urusan, aku mengikuti langkah suamiku untuk pulang. Mas Akbar dari tadi diam saja, tapi sorot matanya jelas menyimpan kemarahan besar untukku.

Aku meringis kecil membayangkannya.

Apa dia benar-benar akan marah?

Dan kenapa tidak, Mia?

Memang orangtua mana yang tidak panik sampai nyaris hilang akal ketika anaknya hilang?

Oh, sudah jelas aku akan kena marah kalau begitu. Biarlah, yang terpenting Bumi sudah ketemu.

Mas Akbar membuka pintu lalu membawa bumi di gendongannya. Aku dengan takut-takut juga ikut masuk.

"Sini," aku mengulurkan tangan untuk menggendong Bumi agar ia bisa menyetir.

Sayang sekali, yang kudapati malah hunusan setajam pedang dari matanya.

"Siapa yang ijinin kamu ke pasar?"

Aku menghela napas, dia ingin memperpanjang ini ternyata. Apa dia tidak melihat aku sudah lelah sekali?

"Ga akan ada yang tahu musibah, Mas. Lagian aku juga biasanya kelu--

"Anak saya masih kecil, Mia!" Sentaknya.

Anak saya?

Dia pikir aku ini siapa kalau begitu? Aku mana tahu akan ada kejadian seperti ini? Memangnya aku dengan sukarela mau terhipnotis?

"Mas, aku capek banget. Kita pulang dulu habis itu terserah kamu mau gimana..." aku menyandarkan tubuhku di kursi. Hari ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga.

"Turun,"

Hah? Gimana?

Aku sontak menegakkan punggungku. Menatapnya dengan penuh tanya. Dia ini kenapa sih?

Oke, aku memang melakukan kesalahan fatal, tapi dia tidak harus mengusirku juga, kan?

"Mas, bisa ga kamu tunda dulu mar--

"Saya bilang turun berarti turun Mia!" Gertaknya. Aku langsung kaku saat itu juga. Argumenku hilang. Aku melirik Bumi di gendongannya yang masih tertidur pulas.

Aku malu, sungguh. Dia mengusirku, begitu? Dalam artian yang sebenarnya?

Keterlaluan! Segera kuhapus air mataku dengan kasar, dia tidak berhak kutangisi.

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang