05. Kenangan Keempat

19 9 0
                                    

Aku dan kamu seperti di negeri dongeng. Iya, negeri dongeng.
Kamu selalu menjadi pengeran yang aku impikan.
-Yuna Zhafira.



Percakapan gadis-gadis tempo hari masih memenuhi kepalanya. Yuna mengakui dirinya sangat tidak cocok jika berjalan berdua dengan Yuda. Ia bukan gadis yang cantik. Bukan pula orang yang populer. Ia hanya siswi biasa. Ia pun tak pandai bergaul seperti teman-temannya.

Yuna lebih berada di kelas jika sedang istirahat. Karena baginya ketengan adalah segala-galanya. Awalnya Caca juga merasa aneh pada kepribadian Yuna. Ya, seperti itulah gadis itu menghabiskan 17 tahun hidupnya.

“Yun, ikut ke kantin yuk?” ajak Sarah.

“Kalian aja. Gue bawa bekal,” tolak Yuna.

“Lu masih mikirin omongan gadis-gadis itu Yun?” tebak Caca. Dan Yuna mengangguk mengiyakan.

“Gak perlu dipikirin Ca. Mereka kan gak tau Yuda, jadi itu murni pemikiran mereka aja.” Caca berusaha menenangkan.

Waktu sudah berlalu lima menit. Namun empat gadis itu masih saja berada di dalam kelas.

“Waktu istirahat tinggal 25 menit. Ayo ke kantin,” ajak Sarah di tengah keheningan.

“Yuk Yun, ikut!” ajak Caca lagi.

“Kan gue ada bekal, ngapain ikut?”

“Lo gak minum Yun?”

Yuna langsung memeriksa tasnya. Benar saja jika ia lupa membawa air untuk minum.

“Nasi goreng aku?” tanya Yuna memelas.

“Ya, dibawa aja Yun. Apa susahnya, sih?”

Mau tidak mau Yuna harus ikut ke kantin. Padahal ia sangat tidak ingin keluar kelas. Pikirannya sangat sibuk memikirkan Yuda. Sesekali hembusan napas kasar terdengar dari bibir mungilnya. Yuna menundukkan kepalanya sepanjang jalan semenjak ia bangun dari kursinya.

“Yun, lo bisa jatuh kalau gak li—“

Nah ‘kan, beneran jatuh, jeritan hati kecil Caca.

Yuna meringis. Lututnya bergesekan dengan tanah. Meski ia memakai rok yang cukup panjang—di bawah lutut—tetap saja rasa sakit itu terasa. Namun, bukan rasa sakit yang Yuna rasakan saat ini, lebih tepatnya rasa malu.

Ia jatuh tepat di dalam kantin. Pasti saja semua atensi tertuju pada gadis lugu itu. Yuna tidak bisa mengangkat kepalanya walau hanya satu detik. Ia merutuki dirinya sendiri karena sama sekali tidak melihat jika di depannya ada keramik yang rusak. Kakinya kehilangan keseimbangan ketika mengindak retakan keramik itu dan sebagai pertahanan terakhir, akhirnya ia jatuh.

Tanpa Yuna sadari jika ia terjatuh tepat di sebelah mejanya Yuda dan kawan-kawan. Yuda yang berada tepat di sebelah Yuna, langsung membantu gadis itu untuk bangun. Tentu saja aksi gentle Yuda mendapatkan banyak reaksi.

Yuna kembali tidak percaya jika penyelamatnya kali ini adalah Yuda, lagi?

“Tidak apa?” Sontak Yuna menjauhkan badannya. Karena Yuda memegang kedua lengannya untuk membantu ia berdiri.

“Tidak apa,” jawab Yuna sambil Yuna sambil tersenyum. “Terima kasih banyak.”

Yuna sangat ingin lari dari situasi ini. Ia lekas menjauh dan kembali melangkahkan kakinya, tapi sangat disayangkan lutut kanannya terasa sangat ngilu. Alhasil Yuna berjalan pincang.

“Kamu tidak baik-baik saja,” ujar Yuda sambil menahan sebelah tangan Yuna.

“Aku baik-baik saja,” jawab Yuna sembari tersenyum. Meski senyuman itu sangat susah untuk ia tampakkan.

Hmm.. Aku terlalu menyukaimu.

To be continued
.
.
.

Je/Jen,
26 Maret 2021

7 Kenangan Terindah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang