Bab 5. Perempuan Cantik

81 3 1
                                    

“Nina, jangan lari kamu!”

Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun terlihat berlari-lari di tengah kebun karet. Terdengar dersik daun kering saling bergesekkan. Gadis kecil itu tertawa dengan riang kala seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun mengejarnya di belakang.

“Kena ...!” teriak bocah laki-laki itu menepuk pundak Nina. “Sekarang giliran kamu yang jaga.”

“Yah ... gak seru, ah!” rajuk bocah perempuan berambut sebahu itu.

“Kamu jangan curang, dong! Masa dari tadi aku terus yang jaga.” Bocah laki-laki sembilan tahun itu memutar tubuhnya, berjalan menuju gubuk tua dengan perasaan dongkol. Si bocah perempuan mengentak-entakkan kaki, merasa belum puas bermain.

“Sudah, sudah, berhenti bermain. Sekarang, tolong bantu kakak mengambil air di sungai.”
Seorang perempuan muda terlihat tergopoh-gopoh mengangkat setumpuk ranting kering menggunakan kain selendang, wajahnya ayu rupawan. Perempuan itu tampak memakai baju kebaya abu-abu tua, dengan kain batik sebagai pengganti rok. Rambut hitam perempuan itu disanggul ke atas.

“Oke, Kak!” sahut dua bocah itu serempak.

“Kejar aku kalau bisa!” teriak bocah laki-laki menyenggol bahu Nina.

“Ish, Kak Rangga ...!”

Keduanya mengambil sebuah ember yang terbuat dari kayu dan bambu, lantas kembali berlari melanjutkan permainan yang tadi. Perempuan muda itu menggeleng seraya tersenyum saat melihat tingkah lucu kedua adiknya. Lantas, ia pun menaruh kayu bakar itu di samping rumah, dan menyusunnya dengan rapi.

Perempuan cantik itu kemudian memasuki gubuk tua yang sudah reyot dimakan usia. Kaki mulusnya menginjak tanah tanpa alas, lalu menjatuhkan bobot tubuh di atas dipan kayu. “Panas ....” Ia mengipas-ngipaskan kain selendang yang tadi dipakainya untuk mengangkat ranting dahan, berusaha mengusir lelah dan dahaga sore itu.

Tak berselang lama, dua bocah tadi pulang dengan ember berisi air sungai yang bersih. “Ini, Kak, airnya,” kata dua bocah itu.

“Makasih, Dek. Tolong dituang dalam kendi, ya? Kakak capek,” ujar sang kakak dengan wajah pucat.

Dua bocah itu mengangguk paham, lantas saling bahu membahu menggotong air dalam ember agar tak tumpah. Dimasukkannya air itu ke dalam kendi yang terbuat dari tanah liat merah secara hati-hati. Lantas, menghampiri si Juwita dengan binar mata penuh harapan. “Kak, hari ini kita makan apa?” tanya dua bocah itu seraya mengelus-elus perutnya.

Sang kakak mendesah berat, gelengan kepala menjadi jawaban yang mengecewakan. “Yah ... kami lapar, Kak!” keluh keduanya bersamaan.

Hati siapa yang tidak berdenyut nyeri, saat melihat dua bocah kesayangannya merengek meminta makanan? Perempuan itu menghentikan aktivitas mengipas wajahnya. “Tahan sebentar ya, Dek, kakak rebus singkong dulu.”

Kemudian, perempuan itu turun dari dipan, lantas berlalu menuju halaman belakang. Tampak rimbun dedaunan singkong dan pisang, perempuan itu meregangkan otot-ototnya yang kaku sebelum mencabut satu batang singkong.

***

“Hore, singkong rebus!” Nyeri dirasakan ulu hati perempuan itu, ketika melihat dua bocah kesayangannya tersenyum senang hanya karena memakan singkong rebus. Bukan tidak ingin memberi makanan yang enak dan bergizi, apalah daya diri tak mampu.

Perempuan itu berlalu menuju dapur, berdiam diri di tepi tungku yang masih mengobarkan anala. Tidak peduli panasnya api tengah membara, perempuan cantik itu terisak lirih di depan tungku. Ia merasa tidak sanggup hidup di dunia fana hanya karena hidup yang sebatang kara. Dua pahlawan dalam hidupnya sudah lama tiada. Kini tinggal ia sendiri ditemani telaga sunyi, mengurus dua bocah polos tak berdosa dengan seadanya.

“Kak, sini makan bersama kami!” kata Nina memanggil dari dalam.

“Kakak gak lapar, Dek. Habiskan saja gak papa,” sahutnya. Perempuan cantik berhidung mancung itu memeluk lutut dengan erat. Mata lentiknya menatap api yang perlahan mulai padam.

Senja telah tiba, raungan jangkrik mulai terdengar saling bersahut. “Dek, besok kakak mau ke desa, barangkali ada kerjaan di sana. Kalian mau ikut atau di sini saja?” tanyanya usai menumpahkan keresahan di depan perapian.

“Ikut, Kak!” jawab Rangga dan Nina serempak. Perempuan itu tersenyum seraya mengelus lembut dua jagoan yang sudah menemani hari-harinya di tengah jelaga.

***

Esok pun tiba, ketiganya berjalan menyusuri hutan dengan kaki tak beralaskan apa pun. Untuk sampai di desa, mereka harus berjalan pelan menyeberangi jembatan tua yang reyot karena terbuat dari rakitan bambu, lalu melewati rimbunnya dedaunan, pohon karet mereka temukan di sepanjang jalan.

Setelah hampir satu jam berjalan kaki, barulah ketiganya sampai di desa seberang. Bukan tidak ingin hidup berdampingan bersama para warga, tetapi karena tersendat biayalah perempuan itu memilih hidup di tengah jelaga, gubuk usang peninggalan orang tuanya.

“Kak, lihat itu!” Nina menunjuk seekor kera yang sedang melakukan pertunjukkan, membuat gadis kecil bergigi ompong itu tertawa kegirangan. Sementara Rangga sibuk melihat-lihat banyaknya pedagang yang berjajar rapi di pasar tradisional itu.

Ada banyak mainan di sana. Boneka, gangsingan kayu, egrang dan masih banyak mainan tradisional lainnya. Andaikan ada lelaki dewasa di keluarga mereka, sudah pasti semua kebutuhan itu mudah tercukupi. Akan tetapi, tidak. Semua ingin itu hanya mampu disimpannya dalam benak saja.

Perempuan itu menarik dua adiknya mendekati pendagang buah-buahan untuk menanyakan sesuatu. “Permisi, Tuan. Bolehkah saya bertanya?”

“Mau bertanya apa, ya?” tanya pedagang itu dengan tangan yang sibuk menyusun buah-buahan.

“Apakah di sini ada pekerjaan? Saya butuh uang untuk membeli makan. Kasihan adik-adik saya, mereka tak pernah memakan nasi lagi sejak dua tahun yang lalu,” jelas perempuan cantik itu, menunjuk kedua bocah di belakangnya yang tampak mengangguk.

“Tidak ada! Jangankan untuk kalian, untuk keluarga saya sendiri saja sudah pas-pasan. Pergi sana kalian! Saya tidak ada uang buat pengemis macam kalian!” usir pedagang lelaki itu kasar.

Kesal dan kecewa, perempuan cantik itu mengajak kedua adiknya pergi untuk mencari orang yang sudi menawarkan pekerjaan. Apa pun itu, asal ia dan kedua adiknya dapat memakan sesuap nasi.

Semilir angin berembus, menerbangkan rambut hitam yang disanggul secara sembarang. Sebuah kertas tiba-tiba menempel di wajah perempuan itu karena tertiup angin. Ia mengambil kertas itu, terdapat tulisan di sana. Saat membacanya, mata indah itu membeliak seketika. “Dicari istri muda yang bisa memberikan keturunan, dengan jaminan hidup bergelimang harta.”

Perempuan itu meneguk saliva saat membayangkan hidup bergelimang harta, ia jadi merasa tergoda dengan tawaran di kertas selebaran itu. Haruskah ia menjual diri, agar hidup kedua adiknya tak susah lagi? Diliriknya dua bocah yang asyik menatap seorang pedagang gorengan, dua bocah itu tampak memegangi perutnya sambil berkata, “Kak, kami pengen itu.”

Perempuan itu mendesah berat, lalu meremas kertas yang digenggamnya kuat-kuat. Ada alamat yang tertera di dalam kertas itu. Haruskah ia ke sana, agar hidup kedua adiknya lebih terjamin. “Dek, ayo kita pergi dari sini,” ajak perempuan itu kepada dua adiknya.

Bersambung!

Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang