Teman Kecil.

5 1 0
                                    

BAGAS.

Dulu katanya kita adalah teman kecil -dari bayi mungkin. Lalu berubah menjadi teman sebaya. Hingga akhirnya aku menyadari, ada perasaan aneh yang hadir dalam hatiku. Aku tidak bisa memastikan perasaan ini disebut apa. Yang jelas, aku ingin selalu menjaganya.

Parasnya yang cantik membuat semua orang ingin menyayanginya. Namun bukan itu alasanku menyuakainya. Bagiku dia berbeda.

Aku mengenalnya hampir seumur hidupku. Dimana aku bisa bernafas, selama itulah aku tahu kalau dia juga hidup di dunia ini. Dan pastinya dia terlebih dulu lahir ke dunia dari pada aku. Sudahlah itu tidak penting bukan?

Dia adalah perempuan pertama yang mampu membuat tidurku tidak nyenyak -tentunya selain Mamaku.

Shania

Nama yang indah. Namun sampai saat ini aku tidak tahu apa arti dari namanya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan mencari tahu apapun tentang dirinya.

"Gas, tugasmu udah selesai?"
Jari-jari mungilnya menyentuh bahuku. Dan jujur saja, itu sangat mengagetkan. Karena kalian tahu sendiri, aku sedang melamunkannya.

"Bikin kaget aja. Udah. Kenapa? Mau nyontek lagi?"
Tuduhku padanya tanpa fikir panjang.

"Bagas pinter banget sih, tau aja apa tujuanku."
Jawabnya tanpa gengsi sedikit pun.

"Shan, Shan, gak berubah-berubah ya."
Nama lengkapnya Shania Putri Senja.

"Tau sendiri kan. Fisika adalah mata pelajaran yang paling aku hindari."
Elaknya. Seolah menjadi kebiasaan, tanpa ragu dia tidur diatas pahaku. Dan jujur saja itu membuatku sedikit salah tingkah. Wajar kan?

"Yakin cuma Fisika? Kok nyonteknya hampir semua mata pelajaran ya?"
Kenyataannya memang seperti itu.

"Cuma hampir kan Gas. Gak semua."
Ucapnya cuek.

"Jadi cewek itu harus rajin, harus pinter."
Ajarku padanya.

"Emang siapa yang bikin aturan kaya gitu? Siapa yang ngeharusin cewek harus pinter? Lagi pula ada kamu ini kan yang pinter. Kalau aku pinter, kamu pinter, nanti kita saingan Gas, terus gak temenan lagi deh gara-gara rebutan nilai."
Jawabnya panjang lebar.

"Yaampun ini cewek bisa banget sih jawabnya."
Ucapku sembari tertawa.

Seperti itulah keseharian kami, tidak ada jarak, namun kami juga bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang lelaki yang kebetulan dekat dengannya. Dia bukan milikku, begitupun aku.

"Gas, aku pengen cerita sesuatu."
Dia bangun lalu duduk disampingku. Sepertinya dia ingin bicara serius.

"Ngomong aja. Biasanya juga langsung nyerocos."
Ledekku padanya.

"Satria."

"Satria? Kenapa?"
Tanyaku bingung. Karena dia hanya menyebutkan nama Satria -salah satu temanku.

"Dia terus-terusan Chat aku. Ngajak jalan."
Ucapnya penuh kejujuran.

"Yaudah, jalan aja. Sama-sama punya kaki kan."
Sebenarnya ada ketidakrelaan dalam hatiku saat berkata seperti itu.

Bukankah biasanya perempuan itu lebih peka? Tapi kenapa dia tidak peka terhadap perasaanku?

"Satria tipe kamu banget. Ganteng, putih, bonusnya kaya pula. Apalagi yang kurang dari dia. Tapi..."
Ucapanku terhenti setelahnya.

"Tapi apa Gas?"

"Kalau kamu deket sama Satria, apalagi sampai jadian. Mungkin kita gak akan sedeket ini lagi Shan."

"Kenapa? Kamu mau ninggalin aku?"
Tanyanya cemas.

"Bukan mau ninggalin kamu. Tapi mungkin kamu yang akan ninggalin aku."

"Aku gak akan ngelakuin itu Bagaskara!"
Sanggahnya.

"Dengerin aku baik-baik, kalau kamu udah punya komitmen sama seseorang, otomatis akan ada hati yang harus kamu jaga, kamu gak bisa terus-terusan deket sama aku. Pada akhirnya diantara kita harus ada batasan. Harus ada jarak Shania. Aku fikir sampai sini seharusnya kamu udah paham. Kamu cewek dan aku cowok, kalau kamu lupa."

Dia tampak serius mendengarkan perkataanku.

"Tapi aku yakin Satria gak akan ngelarang kita buat deket Gas. Kayanya dia baik. Dan dia tau kalau kita udah temenan lama banget."

"Kalau kamu yakin banget dengan pemikiranmu itu, aku bisa apa. Aku gak bisa ngelarang ataupun nyuruh kamu buat mutusin sesuatu."

"Kamu gak marah kan Gas?"

Aku tersenyum sambil mengacak rambutnya.
"Kenapa aku harus marah. Aku seneng kalau kamu seneng."

Walaupun sebenarnya aku kecewa Shania. Tambahku dalam hati.

"Tau gak? Sebenarnya aku ngerasa beruntung banget punya kamu. Kamu mengerti aku lebih dari siapapun. Dan kayanya aku gak bisa terima kalau misalnya aku lihat kamu deket sama orang lain kaya kamu deket sama aku gini."

"Hey, kok gitu? Kamu pengen deket sama seseorang, tapi aku gak boleh deket sama orang lain. Kamu mau gantungin aku atau gimana?"
Aku berkata seperti itu sembari tertawa. Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku? Dia ingin bersama orang lain, tetapi dia tidak mau kehilanganku.

"Aku udah tergantung sama kamu Gas."
Jawabnya dengan nada manja. Lalu diiringi tawa setelahnya.

"Oh ya? Masa? Bodo amat Shania."
Bukan kamu yang tergantung Shan, tapi statusku yang kamu gantung.

Meski sebenarnya aku khawatir jika suatu saat nanti kami tidak bisa sedekat ini lagi. Aku merasa akan ada jarak diantara kami. Dan semoga saja itu hanya perasaanku saja.

Kalian tahu, dia adalah penyemangatku. Namun jika suatu saat dia harus pergi, aku akan berusaha merelakannya. Dia berhak bahagia dengan siapapun itu.

"Gas, mau ikut gak?"
Ajak Ayah Shania padaku.

"Kemana Yah?"

"Beli sate, Bunda pengen sate."
Jelasnya.

"Ayah ganggu aku sama Bagas aja. Aku lagi cerita serius Yah sama dia."
Gerutu Shania.

"Ceritanya bisa dilanjut nanti kan? Ayah cuma mau pinjem Bagas bentar."

"Kalau gitu aku pengen ikut."

"Ikut dimana? Ayah perginya naik motor. Mau diselipin di depan kaya tabung gas?"

"Sebenernya yang anak Ayah itu aku atau si Bagas sih?"

"Ya kamu lah. Yaudah kalau kamu mau ikut ayo. Tapi nanti pegangin ayam. Soalnya Ayah mau beli ayam juga."
Jelas Ayah pada Shania

Dan sontak Shania membulatkan matanya.

"Ih ogah banget. Bagas aja sana yang pergi."

"Tuhkan, giliran susah aja, di kasih ke aku."
Ucapku sembari tertawa.

Aku dan keluarga dia memang cukup dekat, begitupun dia dan keluargaku. Saat kami masih bayi, kata Mamaku aku dan dia punya penyakit yang sama. Jadi Mama dan Bundanya Shania sharing soal obat dan dokter mana yang bagus buat kami. Dan akhirnya keterusan deh sampai kami remaja. Mama dan Bunda selalu sharing. Tentang apapun itu. Dan aku bersyukur punya Mama seperti Mamaku. Dia pintar dalam segala hal.

[Meskipun perasaanku harus hancur karena rasamu untuk orang lain, tak akan ada yang berubah dari raut wajahku. Termasuk senyumanku. Aku akan berusaha baik-baik saja untukmu.]

Jatuh (dan) CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang