8. Reality

806 170 56
                                    

"Everybody has a chapter they don't read out loud..." – unknown.



***



"Kamu semalem kenapa?"

Pertanyaan yang diajukan oleh mamanya begitu Jeffrey turun membuatnya menghentikan langkah. Dilihatnya mamanya yang balik memperhatikannya dari meja makan. Jeffrey berpikir sebentar, apa mungkin mamanya tahu mengenai kejadian semalam?

"Nggak usah coba-coba bohong. Mama tau, Jeff." Sambung mamanya cepat begitu mendapati gerak-gerik putranya yang terlihat mencurigakan. Ia sudah melihat semuanya dan hanya ingin Jeffrey jujur.

Jeffrey berdehem untuk mengurangi kegugupannya. Ia kembali melanjutkan langkahnya dan memilih tempat duduk di samping mamanya yang baru saja selesai menata meja makan.

"Kenapa lagi? Kamu masih ngerasa bersalah sama Cheline?" Mama Jeffrey terus memberondongnya dengan pertanyaan saat tak ada jawaban apapun dari putranya.

Baru saja hendak mengambil nasi, Jeffrey langsung berhenti saat mendengar pertanyaan mamanya. "Jangan sebut nama dia, Ma. Ini masih pagi." Ujarnya dengan nada yang tak mengenakkan.

Mendengar jawaban putranya, Mama Jeffrey memilih untuk diam. Ia segera memakan sarapannya dan kini hanya ada keheningan di ruang makan dan sesekali suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar. Diam-diam wanita paruh baya melirik putranya yang nampak menikmati sarapan buatannya.

"Oh ya, Jeff..." Mama Jeffrey kembali bersuara, membuat lelaki di hadapannya kembali menaruh atensi padanya. "kenapa kemaren kamu bisa sama Rosie? Kalian berhubungan lagi?"

Pertanyaan dari mamanya membuat Jeffrey kehilangan nafsu makannya seketika. Semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak akibat mimpi itu, dan sekarang – di pagi hari yang indah untuk memulai segalanya, mamanya mulai membahas hal yang paling ia hindari?

"Kayaknya Rosie udah bilang deh kalo kita nggak sengaja ketemu pas aku kecelakaan kemaren." Jawab Jeffrey agak sinis. Ia ingat jika mamanya sudah menanyakan hal itu pada Rosie saat gadis itu berkunjung dua hari yang lalu.

"Apa iya? Pasti Mama lupa." Mamanya bergumam, namun masih bisa Jeffrey mendengarnya. "Rosie kerja dimana? Dia pasti sukses ya sekarang, dia kan pinter, nilainya bagus terus, kamu aja sampe kalah." Sambung mamanya.

Jeffrey meletakkan sendoknya agak kasar ke atas meja hingga menimbulkan suara yang mengganggu. "Aku nggak tau, Ma. Lagian kita nggak sedeket itu untuk nanyain hal-hal pribadi kayak gitu. Kemaren dia ke sini karena aku yang maksa, aku cuma mau berterimakasih sama dia. Nggak lebih!" Ia menegaskan membuat mamanya menghela nafas panjang.

"Mama pikir kamu masih ada rasa ke dia..." Gumam mamanya lirih, namun masih bisa Jeffrey dengar.

"Kita udah selesai dari lama, Ma. Nggak ada yang bisa diubah." Balas Jeffrey cepat.

"Tapi kamu masih mengharapkan dia kan, Jeff? Mama tau kok. Keliatan jelas banget." Mamanya memberitahu, membuat Jeffrey terdiam. "Kamu masih inget kan kalo Papa nyuruh kamu jual rumah ini? Sekarang pilihan ada di kamu, Jeff. Kamu jual rumah ini dan memulai hidup yang baru bareng Ara-Hana, atau tetap di sini dan siap menghadapi apapun yang akan terjadi nanti. Mama akan hargain keputusan kamu, demi kebahagiaan kamu."

Lagi-lagi Jeffrey terdiam. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Hal itu membuat mamanya menatap putranya prihatin. Ia jelas tahu apa yang dirasakan oleh putranya. Ia bisa memahaminya. Keadaan menjadi cukup buruk bagi Jeffrey, dan jika berada di posisi Jeffrey pun ia juga bingung harus berbuat apa.

Dear, Jeffrey | JaeroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang