Raquel’s POV
“Papanya Olivia serem banget. Gimana mamanya, ya?”
“Kalo mamanya masih hidup, mungkin bisa stress urus si Carter. Diakan anak tunggal. Biasalah tipe ortu yang over protective.”
“Ada rumor katanya dia punya kakak cowo lho! Bisa jadi gara-gara itu si Carter jadi brutal?"
Semenjak kedatangan ayah Olivia, seluruh sekolah seperti terfokus hanya pada dirinya saja. Olivia tidak terlihat terganggu sama sekali, mungkin saja dia terganggu tapi memilih diam saja. Berbeda saat masalah Rachelle yang menjadi viral hanya dalam satu hari. Dia juga sudah menjadi aneh, menjauhiku dan Rachelle, dia juga tidak pernah terlihat di kelas ketika aku mencarinya. Bisa dikatakan, aku memang khawatir akan dirinya. Sebagian dari rasa khawatirku disebabkan oleh Rachelle yang tidak bisa diam membicarakan Olivia dan sisanya aku yang takut anak itu melakukan hal gila.
Pelajaran kosong yang jarang terjadi membawa Rachelle untuk duduk di sampingku. Seperti biasa, Rena langsung meletakkan kepalanya di meja. Dia terlihat seperti berusaha untuk tidur dan melupakan--menjauh--dari semua drama yang ada di kelas sekarang. Tatapannya menunjukkan ketakutan, namun di saat bersamaan seperti sedang memohon akan suatu hal. Rachelle mengejutkanku, hal yang langka, ketika dia membanting bukunya yang tebal ke meja. Dia jelas ingin menarik perhatianku dengan cara yang tidak biasa, sangat seperti dirinya.
“Olip … harus gimana?” Tidak perlu kalimat yang jelas untuk mengerti maksudnya. Tentu Rachelle mengkhawatirkan anak itu. Wajah Olivia hari itu benar-benar buruk. Lebam di mana-mana, ekspresi ketakutan dan juga muak. Sama seperti ekspresi yang ada di wajah Sony hari itu.
“Dateng ke rumah. Samuel pasti ada.” Rachelle terdiam mendengar nama kakak Olivia. “Or her butler. Dia pasti punya.”
“Lagian dia tuh ya!” Teriakan Rachelle menarik seluruh anak kelas, termasuk Rena. “Gua mau ke toilet.” Alasan klasik seperti itu dia gunakan sengaja untuk menghilangkan rasa malunya.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Rachelle meninggalkan kelas yang beberapa anaknya terlihat terus memperhatikannya. Begitu Rachelle tidak terlihat mata, anak-anak langsung sibuk dan kembali heboh membicarakan Sony, seperti mereka sedari tadi berusaha untuk menunggu momen yang tepat agar bisa menjatuhkannya. Memang manusia akan seperti itu, menjatuhkan yang lain agar mereka bisa meroket. Mendengar nama itu terus disebut membuatku merasa sesak. Aku mengenal Sony lebih dulu dari aku mengenal Rachelle. Itu adalah fakta yang ingin aku lupakan lebih dari apapun.
Rantai yang selama ini ada di leherku terasa memanas. Sekolahan tidak pernah melarang menggunakan aksesori, tapi aku tidak suka menunjukkan kalung ini. Bahkan Rachelle mengira kalau aku sudah membuang benda ini hingga saat kenaikan kelas. Dia merasa terkejut, tapi terharu ketika mengetahui fakta aku menyimpannya dekat denganku. Dia berkata, bahkan berterima kasih, karena masih terus memikirkannya dan tidak egois untuk mencoba dan melupakannya.
Rena yang sudah menatapku dari tadi sepertinya menyadari ketidak nyamananku. Kali ini aku merasa bersyukur karena dia tidak ikut campur dengan urusanku. Dia menggigit pipi dalamnya, menahan pertanyaan yang siap dia lontarkan dan membenam wajahnya kembali ke lengan yang ada di atas meja. Sebuah helaan napas keluar tanpa aku inginkan. Entah karena aku merasa lega dia diam saja atau merasa lelah melihatnya yang berubah drastis.
“Gua penasaran, seberapa jauh si Raquel tau soal Sony. Setau gua Rachelle udah deket dari lama kan sama dia.”
“Apa jangan-jangan, gara-gara si Raquel Sony jadi bunuh diri?”
“Hush! Nggak mungkinlah!” Anak yang baru berbicara menatap ke arahku dengan sinis. “Malah jangan-jangan si Carter yang urus.”
Suara tawa anak-anak itu terdengar sangat keras. Bisa dikatakan kalau aku sedikit terganggu dengan ucapan mereka. Namun jika aku melawan, apa akan ada perubahan? Ucapanku akan senilai dengan harapan kosong. Orang hanya akan percaya apa yang ingin mereka percayai saja. Lucu, tapi aku juga suka berpikir seperti itu. Bila tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku akan mempercayai asumsiku. Tidak peduli apakah aku salah menilai seseorang, sesuatu, sebuah kejadian. Aku hanya tau kalau itu benar di pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...