Olivia’s POV
“Lu udah liat postingan terbaru si Rachelle? Gila banget!”
“Sekolah bakal tau, kan? Masa iya didiemin orang kayak gitu?”
“Tapi menurut gua ada yang aneh lho!” Ketiga anak yang berkumpul itu sibuk membahas tentang Rachelle. Kedua temannya memandang ke tengah. “Selama ini kan kita tau banget Rachelle gimana. Mau dia ada masalah sama orang, dia bakal senyumin terus bales diem-diem.”
Perasaanku mengatakan kalau dia akan membawa-bawaku atau bahkan Raquel. Apapun itu, yang pasti mereka akan dengan senang hati membuat rumor lain tanpa dasar. Terlebih jika hal itu menyangkut tentangku. Dan saat mereka disadari menciptakan rumor, mereka akan pergi berpura-pura tidak pernah mengucapkan rumor-rumor bodoh yang sudah tersebar luas. Bodoh, tapi itu adalah kenyataan dunia. Mereka akan menjatuhkanmu dan berpura-pura tidak tau duduk perkaranya, bahkan bisa saja berpura-pura untuk mendukungmu agar terlihat baik di mata orang lain.
Langkahku menuju kelas menjadi lebih lamban dari biasanya, sebagian dari diriku karena ingin mendengar apa yang mereka bicarakan dan sebagian lagi karena malas dengan rumor yang siap meledak di hadapanku. Jika aku sudah berada di kelas nanti, mereka pasti akan menunjuk-nunjukku dan berbisik-bisik. Hal seperti itu justru membuat telingaku terasa gatal. Ketiga anak itu tidak terlihat menyadari keberadaanku, memberiku sebuah keuntungan. Di saat bersamaan, pembicaraan mereka membuatku tidak nyaman.
“Gimana kalo ternyata Carter yang bikin begitu?”
“Hah? Maksudnya?”
Anak yang di tengah berdecak. “Gimana kalo si Carter yang ngehasut Rachelle sama Raquel biar jadi brutal? Secara postingan … pasti si Carter yang ambil gambarnya! Lu tau sendiri kan kalo ….”
“Lagi ngomongin apa? Kayaknya seru. Gua ikutan, ya!”
Sebelum anak yang di tengah mendengar suaraku, dia lebih dulu melihat sepatu yang kukenakan. Dia sudah berhenti sejak menyadari keberadaanku, namun mendengar suaraku berhasil membuat mereka bertiga gemetar ketakutan dan memandang ke arahku sekilas. Senyuman yang kuberikan kepada mereka sepertinya jelas menakuti. Mereka saling bertatapan sebelum memberi senyuman canggung kepadaku, berpamitan dan lari menghilang dari pandangan.
Selama ini aku selalu berpikir, dari segi apa aku terlihat mengerikan sehingga semua orang kabur melihatku. Setiap kali aku mencoba untuk tersenyum, orang akan berkata itu mengerikan sehingga kuputuskan untuk berhenti tersenyum, padahal sudah susah payah aku buat senyumanku itu manis. Caranya mudah, aku hanya mencoba mengikuti senyuman anak-anak terkenal di kelas. Orang lain juga berkata kalau berbuat kebaikan kepada yang lain adalah cara efektif. Sayangnya, semua ini juga berakhir sia-sia.
“Nggak gua sangka si Rachelle berani nge-post gini.”
“Apa ini nggak masuk bully? Guru harusnya udah denger dong? Apa lagi banyak anak yang cepu.”
“Gua jamin si Carter yang ngehasut, ato kalo nggak dia yang hack akun si Rachelle.”
Begitu kembali mendengar namaku disebut, seketika amarah mengambil alih diriku. Meski begitu, aku menarik napas dalam dan memutuskan untuk memberi mereka peringatan dengan berdeham. Hanya sedikit saja yang menyadariku, tapi mereka langsung memberi tau yang lain tentang keberadaanku di sini. Satu kelas menjadi hening ketika aku sudah disadari keberadaannya. Tentu mereka hilang nyali begitu orang yang dibicarakan telah tiba. Tipe manusia pengecut.
Langkahku menuju tempat duduk terasa lamban. Setiap detik yang terlewati diikuti dengan pandangan anak-anak yang kaku tidak bisa bicara. Bukan karena takjub, tapi karena takut denganku. Satu-satunya yang bisa didengar dari sini hanya langkah kakiku dan mesin pendingin yang lebih berisik dari biasanya. Tarikan kursiku sepertinya menyadarkan mereka semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...