Dengan semringah Anyelir mengeluarkan ponsel baru yang ia beli di pasar. Ditimang-timangnya benda pipih besutan negeri drakor itu, lantas dikecupnya. Sejak ia memakai seragam putih biru sudah bermimpi memiliki ponsel, tetapi uang hasil penjualan kopi cokelat Bapak cuma cukup untuk makan dan biaya sekolah.
Ketika belum genap empat bulan mengenakan seragam putih abu-abu, seorang teman sekelasnya pernah menawari Anyelir ponsel kekinian jika mau menemani tidur. Tentu saja Anyelir menolak dengan murka.
Memiliki wajah bulat yang menambah aura kecantikannya, alis lebat yang membingkai sepasang bola mata bening, bulu mata lentik, dada yang membusung, dan bokong penuh, Anyelir sudah jadi persaingan kaum Adam sejak kelas dua SMP. Namun, pemilik bibir seksi itu menjatuhkan hatinya kepada Arga. Cowok itu adalah alasannya meminta mahar uang sebesar lima juta guna membeli ponsel keren. Ia tak ingin kehilangan jejak Arga sekalipun telah menyandang status istri.
Usai memasukkan nomor Arga dari lipatan kertas yang ia simpan rapi di dompet, perempuan yang belum genap sembilan belas tahun itu segera menghubungi pacarnya—belum ada kata putus di antara mereka.
“Halo.”
Anyelir menjauhkan ponsel dari telinga mendengar suara merdu perempuan itu. Kerut kecemasan tampak di wajahnya. Ia berjalan menuju jendela yang daunnya terbuka lebar karena tiba-tiba kamarnya terasa pengap.
“Halo, ini siapa?” Suara dari ujung telepon menuntut jawaban.
Bukan cuma perempuan itu yang penasaran dengannya, ia pun diserbu cemburu. Firasat tak menyenangkan membuat perutnya mencelus.
“Kamu siapa?” Akhirnya, terlontar juga pertanyaan itu setelah susah payah menelan saliva.
“Lah? Ditanya, kok, malah bertanya balik?” Perempuan di sana melancarkan protes.
Kernyit samar muncul di dahi Anyelir. Ia seperti tak asing dengan suara itu.
“Hem … aku … saudaranya Arga.” Anyelir menggigit bibir karena heran sendiri mengapa memutuskan berdusta.
“Dengan Mba siapa ini? Kalau ada pesan boleh melalui aku karena Arga sedang tidur. Oh, ya, kenalkan, aku Devy, pacarnya.”
Hawa dingin berasal dari pohon-pohon pisang di seberang jendela merambati punggung Anyelir. Kaca-kaca tipis segera berkumpul di netra. Dalam hitungan detik jadi menebal dan cepat menganak sungai begitu ia mengerjap. Astaga! Bagaimana ia bisa melupakan suara sahabat—tepatnya mantan sahabat---mulai detik ini?
“Halo? Mba?”
Dengan jari gemetar Anyelir memutuskan komunikasi. Dilemparnya ponsel ke kasur sebelum tubuhnya meluruh ke lantai. Detik itu ia menyesali pernikahannya.
***
“Kita nikah, yuk, Nye.”
Suara itu amat pelan. Nyaris berupa desisan. Namun, sangat jelas di telinga Anyelir, padahal suasana amat bising. Mereka sedang menikmati hiburan musik di panggung raksasa berjarak lima puluh kaki dari warung lesehan. Banyak band lokal dan artis Ibu Kota mengisi malam pergantian tahun yang beberapa jam lagi tiba.
Tercengang Anyelir mendengarnya. Netranya mengunci sepasang manik hitam yang duduk di depan dengan meja kayu kecil sebagai pembatas mereka, lalu turun ke wajah yang tak pernah hadir dalam mimpi, bahkan dalam benaknya.
“Aku memang lelaki miskin, tapi aku berjanji akan membahagiakanmu lahir dan batin.”
Pandangan Anyelir yang telah sampai di dada yang tidak bidang itu, kembali memasung sepasang mata kecil di depannya. Tak hanya kejujuran yang bisa ia raba di sana, tetapi juga ketulusan. Bersama Arga, Anyelir kerap menemukan sorot cinta yang panas di mata elang cowok itu, tetapi tak bisa menyelami kejujuran dan ketulusan seperti di sorot mata Aladin. Akan tetapi, cinta tak hanya tentang kejujuran dan ketulusan saja, bukan?
“Aku belum genap delapan belas, Bang Al.”
Seandainya Arga yang mengajaknya menikah, tentu saja ia tak akan berpikir lama untuk mengiakannya. Wajah kusut Bapak dan Emak tiap ia meminta uang, empat adik yang rewel, makan sering pakai sambal tanpa tomat, gunungan kopi cokelat, lantai rumah yang becek jika hujan mengguyur bumi karena banyak asbes—sebagai langit rumahnya—berlubang, serta cibiran teman sekolah—bahkan Devi juga sudah menjauh—sejak ia memberitahu tidak bisa melanjutkan sekolah, membuat Anyelir mesti mempertimbangkan ajakan Aladin.
“Kalau kamu punya perasaan yang sama, aku akan sabar menunggu sampai usiamu genap delapan belas.”
Apa katanya? Mempunyai perasaan yang sama? Astaga! Namanya saja tak terpatri di hati.
“Itu masih lama, sekitar enam bulan lagi.”
“Bukan masalah. Akan kutunggu.”
Senyum itu amat teduh. Namun, hati Anyelir lebih bergetar melihat senyum nakal di bibir Arga.
***Tak sampai enam bulan sejak malam tahun baru, Anyelir menerima pinangan Aladin. Membuat panggung dengan dekorasi indah, menyewa biduan yang sedang naik daun di kabupaten, memesan masakan untuk prasmanan dari katering terbaik, dan menyewa mobil pengantin untuk mengantar ke rumah mertua usai acara adalah syarat wajib yang dipenuhi Aladin.
Anyelir sengaja membuat pesta setengah meriah untuk pernikahannya, bukan karena pernikahan cukup sekali seumur hidup. Tidak. Ia bukan penganut mazhab itu. Namun, ia ingin membuat tetangga yang telah menggunjingkan kemiskinannya terjilat bara. Walau Aladin tidak setampan Arga, tetapi kulit putihnya menutup pipi bulat yang tak sedap dipandang. Dipoles make-up tipis, Aladin nampak gagah dan berwibawa.
“Suami Anyelir keren.”
“Di undangannya tertulis, Aladin anak ustaz terkenal di kampungnya.”
“Sepertinya juga orang kaya. Biaya pesta pernikahan Anyelir pasti nggak murah.”
Bisik-bisik itu ditangkap telinga Anyelir kala ia ke kamar mandi. Para ibu-ibu langsung terdiam melihatnya yang melangkah angkuh dengan bibir menyungging senyum samar. Detik itu ia merasa tak salah dengan keputusannya menerima Aladin sebagai suami.
~ bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
Fiksi Umumistri yang diarak warga sekampung karena selingkuh dengan anak buah suami