The first day you came into my life
I realized that you will be always stay in my heart
***
Pintu masuk choco'scafe itu sudah berada di radius lima meter dariku. Dua orang pegawai berpakaian rapi bahkan sudah terlihat sibuk menyajikan makanan untuk sepasang pelanggan yang duduk tepat di depan kafe.
Ku hela napas panjang-panjang. Lalu menoleh ke samping kanan untuk memastikan apakah benar jika tempat ini yang benar-benar ingin dituju oleh lelaki di samping. "Nggak salah tempat, Mas?" Dan ketika Mas Gilang mengangguk, aku tahu dengan pasti bahwa aku harus segera melangkah. Memantapkan hati bahwa aku tidak perlu khawatir untuk memutuskan langkah maju, daripada harus berbalik dan menjauhi tempat ini
Aku menggenggam erat ponselku yang tergeletak manis di paha. Kaos hijau tosca kesayanganku ini tiba-tiba terasa panas, atau mungkin memang udara di sekitar sini berubah panas karena tempat yang dipilihnya untuk mengobrol kali ini adalah tempat makan yang biasa anak-anak kampus kunjungi. Atau mungkin, karena tatapan Mas Gilang padaku saat ini.
Jangan bilang aku... terpesona sama lelaki di depanku ini. Asumsi yang tiba-tiba terbentuk di dalam kepala. Entahlah! Aku tidak tahu alasan pastinya.
Bismillah - ucapku dalam hati sebelum memberanikan melangkah maju.
***
Iris kecoklatan Mas Gilang masih menatap lamat padaku. Yang tentunya, membuat jantungku berdegup kencang. "I know you could be much better than this, and i want to support you no matter what. Dan ketika lo udah disana, gue yakin nggak bakal ada penyesalan lagi yang tersisa."
Aku menelan ludah. Sebuah tawaran yang menarik. Padahal sebenarnya, ini adalah tawaran yang sama yang datang dari saudara laki-lakiku, yang tanpa pikir panjang langsung aku tolak dengan mentah-mentah. Tapi kenapa sekarang ini terdengar begitu menggiurkan ya? Entah memang pikiranku yang sudah berubah, atau karena orang yang mengajaknya lah yang membuat itu menjadi berali-kali lipat lebih menarik
"Ayo, Na. Kita coba bareng-bareng buat first experience lo. Trust me it will be fun, dan pastinya insightfull banget deh." Dan seolah tahu dengan kebimbanganku, Mas Gilang berujar sekali lagi buat meyakinkan. "Nggak usah khawatir. Gue janji bakal selalu ada buat buat jaga lo."
Lagi-lagi aku menelan ludah mendengar pernyataannya. Tiba-tiba hatiku merasa bimbang. "Tapi gue belom ijin sama Mama." Aku berujar demikian karena soal papa, aku tahu pasti bahwa beliau pasti akan mengijinkannya.
"Nanti Panca sama Aldo yang bakal bantu ngomong sama tante." Ujarnya yang membuat dahiku mengernyit seketika.
"Kok Mas Panca sama Aldo? Mas Gilang udah ngomong sama mereka juga emang? Atau mereka yang nyuruh Mas Gilang buat bujuk gue?" Entah kenapa aku berharap bahwa opsi pertama yang akan menjadi jawabannya atas pertanyaanku. Aku merasa tidak suka jika ternyata ide mengajakku naik bukan murni berasal dari keinginannya. Padahal, opsi kedua kelihatan lebih mungkin jika mengingat begitu gencarnya Aldo dan Mas Panca mengajakku untuk ikut naik beberapa hari belakangan ini. Astaga, Na.
Ku lihat Mas Gilang membenarkan posisi duduknya. "No, Na. Ini pure keinginan gue buat ngajak lo naik kali ini. Tapi gue emang udah nanya ke mereka dulu, kira-kira memungkinkan nggak kalo ngajak lo. Dan kata mereka, lo udah biasa olahraga bareng mereka, jadi kayaknya bakal fine-fine aja kalo misal mau naik gunug," Dan penjelasannya barusan entah mengapa sungguhan membuatku lega.
***
"Na, dari samping lo cakep banget ternyata!" Tiba-tiba Mas Gilang berujar diantara keheningan kami setelah pembicaraan serius tadi
"Emang kalo dari depan jelek, Mas?" Jawabku sambil mencoba mengendalikan jantungku yang kembali bertalu-talu.
Aku sudah mulai ragu dengan diriku sendiri. Sepertinya kemampuanku sudah tidak bisa lagi untuk mengatasi tingkah polah yang dilakukan Mas Gilang, karena hatiku sudah tidak sekuat itu untuk menolak pesonanya.
"Parah sih..." Jawabnya yang membuat euforia itu jatuh dan lenyap begitu saja. "Parah cakepnya maksudnya, Na." Dan seketika sebuah taman bunga seperti sedang bermekaran di dalam sana.
Sial! Ucapan Mas Gilang benar-benar bisa membuat kerja jantungku jumpalitan seperti ini.
***
Fyi, kemaren aku sempat menyesal. Mengapa dulu pas diberi wejangan dengan Mas Panca aku justru besombong ria kalo tidak akan baper sama dia. Bukankah harusnya aku tahu bahwa akhirnya akan begini? Sejak awal berinteraksi bahkan aku tahu bahwa hampir mustahil untuk tidak jatuh dengan pesona yang dimilikinya itu. Lalu buat apa keras kepala menolak jika akhirnya malah seperti ini? Mungkin karena aku ingin percaya sedikit dengan intuisiku yang mengatakan spekulasi bahwa aku bukanlah perempuan yang mudah jatuh cinta dengan mengingat pengalaman asmaraku sebelumnya.
Namun setelah aku pikir-pikir, sepertinya aku tak harus lagi menyesalinya. Semua yang terjadi dalam hidup memang sudah tertulis di atas sana. Jadi kenapa harus menolak dan menyanggah jika kita bisa memulainya dengan menerima? Let it flow, dan nikmati setiap prosesnya.
"Jadi mau pesen apa?" Aku bertanya pada Mas Gilang setelah salah satu mbak pegawai disini mengantarkan buku menu kepada kami.
Dari yang aku pelajari, konsep ketimuran memang seperti ini. Mengutamakan budaya kolektive ketimbang individualis, sehingga dalam memilih menu makan pun terbiasa untuk melakukan kompromi
"Yang bisa lo makan?"
"Semua gue makan, Mas. Kecuali manusia dan temen." Jawabku dengan yakin.
Mas Gilang tergelak mendengar jawabanku barusan. "Gue suka sama gaya lo, Na." Mas Gilang yang terbiasa bersikap tidak terduga itu langsung berterus terang seperti biasa. Mengungkapkan apapun yang terlintas di hati dan pikirannya.
Aku hanya menggeleng-geleng mendengar penuturannya."I told you the truth, Mas. Gue emang pemakan segala." Dan kami berdua berakhir dengan sama-sama tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Point Out
ChickLit"Kalo gue nggak salah inget, lo udah ada cewek kan pas pertama kali kita ketemu?" "Baru putus kemaren, " Jelasnya tanpa ku minta "Wow. lancar banget ya ngomongnya." Lagi-lagi aku berdecak kagum mendengar ucapannya. Dia benar-benar manusia langka ya...