Bab 2 - Ahes Delaney

42 7 0
                                    

Aku terbangun di siang hari. Tidak menemukan siapa-siapa di kamar. Pakaianku sudah diganti dengan baju santai, mungkin Gerald yang melakukannya.

Sebuah ketukan di pintu membuatku memicingkan mata. "Masuk." Mendorong pintu, seseorang masuk dengan nampan di tangannya. Ternyata gadis itu.

"Bagaimana keadaan Tuan? Saya membuat racikan jus lemon dengan sejumput garam. Mungkin bisa mengatasi dehidrasinya."

Lalisa menaruh nampan di atas nakas. Aku mengangguk, meraih gelas berisi racikannya, lalu meneguk beberapa kali. "Aku ingin makan."

Gadis itu menarik kursi rotan dari ujung kamar. Ia menyuapiku dengan telaten. Bubur ayam. Memang tidak wajar disebut sarapan, namun aku sudah sangat lapar.

"Berapa yang akan kutelan?"

Aku mendengus malas ketika melihat beberapa plastik obat dan vitamin yang ia pegang. Kapan aku akan berhenti meminumnya? Ia tersenyum simpul.

"Dua belas, Tuan. Ini." Aku menelan satu persatu. Menerima gelas air putih yang ia sodorkan.

"Tuan, saya mohon Tuan tidak pergi minum lagi. Tuan Ahes sudah agak lepas." Matanya menatapku sayu, agak gemas melihatnya. Aku berdeham sebentar, "Aku tidak berjanji."

Lalisa tampak kecewa sesaat, namun senyumnya kembali terbit. Ia menaruh peralatan makan yang kosong di atas nampan. Lalu berbalik pergi setelah menunduk pamit.

Tentu saja aku ingin memeluknya seperti di mobil lagi.

***

Keringat mengucur deras di punggungku. Entah kenapa dan begitu tiba-tiba. Sudah petang hari sejak Lalisa menemuiku, aku butuh bantuannya saat ini.

Kepalaku berat, mataku buram melihat sekitar. Pusing yang teramat sangat. Aku berusaha melangkah sedikit lagi, untuk mencapai pintu.

Aku memanggil namanya pelan. Serak. Sulit.

Bruk.

Tamat sudah, aku tidak tahu apa yang terjadi lagi. Kesadaranku benar-benar hilang ketika seseorang lebih dulu membuka pintu dari luar.

Namun satu yang kusadari, harum tubuh seorang gadis.

***

"Lalisa, saya agak kecewa."

Samar-samar terdengar olehku suara Mami. Entah apa yang terjadi di ruangan ini. Namun kepalaku sudah lebih baik.

Mataku terbuka. Cahaya lampu langsung menyerobot dengan tajam, sial. Aku memejam mata kembali, lalu membukanya perlahan-lahan. Netra Lalisa yang lebih dulu sadar, ia melirikku sekilas di tengah dirinya yang sedang menunduk di hadapan ... Mami?

"Mungkin dua minggu waktu yang cukup untuk mengetesmu lagi. Jika Ahes masih meminum alkohol, kamu akan kehilangan pekerjaanmu."

"Baik Nyonya. Saya siap menjalaninya."

Mami mengangguk, kemudian meninggalkan kamar. Lalisa melihatku ragu, namun menghampiri. Ia menggenggam tanganku, mengusap sisa-sisa keringat yang masih ada.

"Maaf karena keteledoran, saya tidak lagi memberi Tuan obat."

Aku memejamkan mata. "Hm."

Tidak ia ketahui, namun aku menikmati tangannya yang kini mengusap-usap leherku. Menghapus keringat di sana.

Aku menghentikan gerakannya, membuka mata lagi. Langsung ku tarik lengan, lalu bahunya untuk membuat telinga merah itu mendekati bibirku.

"Aku tidak akan minum lagi."

Diam. Ia tak menjawab. Selang beberapa detik dengan posisi ini, ia pasti pegal. Aku melepas lingkaran lenganku di pinggangnya.

***

Udara pagi menyergap tiap inci tubuhku. Lalisa sebagai pemimpin di depan, ia menuntunku ke sebuah tempat. Memang masih terhubung dengan rumahku, namun hal yang tak terduga adalah; danau kecil di balik pagar bersulur tanaman di halaman belakang rumah.

Tempat yang biasa aku dan Lalisa pakai untuk bersantai itu, sejak kapan menyembunyikan keindahan alam seperti di negeri dongeng? Ia bahkan lebih dulu tahu dibanding pemiliknya sendiri.

"Sampai, Tuan."

Aku mengernyit penasaran. Ia duduk di tepi danau, beralaskan rumput halus hijau muda. Tangannya membuat gerakan mengajak, memintaku duduk.

"Yoga, itu yang akan kita lakukan sekarang."

Lesung pipitnya muncul ketika ia berbicara sambil tersenyum.

"Kau yang jadi pemandu."

"Tentu saja."

Dan dimulailah terapi yang tanpa kusadari itu membuat rasa penasaranku padanya semakin bertambah.

"Lihat, di sana kuda-kuda milik keluarga Tuan. Peternak merawatnya dengan baik."

Aku menoleh ke depan. Melihat jari lentik itu menunjuk area di seberang danau. Hal yang sangat baru kuketahui. Srrt, angin tiba-tiba menyapa lembut surai Lalisa. Helai demi helai terangkat hingga mengenai pipiku.

Harum.

"Ah, maaf." Gadis itu cepat-cepat mengeluarkan bandana dari saku flower dress yang ia pakai. Aku menahannya, itu sayang untuk dilewatkan.

"Aku ingin duduk di bawah pohon."

Lalisa sempat mengernyit kecil, tapi mengangguk. Ia pun mengikutiku yang sudah jalan lebih dulu. Barusan kami duduk di tempat yang agak terbuka, matahari sudah mulai meninggi.

Aku bersandar pada pohon di tepi danau, ia juga melakukannya. Kami memejamkan mata. Menikmati harum rambutnya yang terkena semilir angin, entah bagaimana dengan Lalisa.

Bergeming beberapa lama di bawah pohon, baru kusadari kaki kami sama-sama pucat. Itu yang membuatku yakin kalau kami memang berjodoh.

***

Ahes kocak :)

Vote dong

visualisasi Ahes ⬆️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

visualisasi Ahes ⬆️

sedangkan yang ada di media adalah Nyonya Sthofia

Sunrise & LalisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang