Fahri dan Arjuna

51 3 1
                                    

Malam tampak tidak seperti biasanya di gang Merdeka. Bulan yang biasa menerangi gang kini tertutup awan pekat. Bintang yang kemarin berkelip-kelip kini tidak terlihat. Angin bertiup lebih kencang daripada biasanya. Embusannya menerbangkan butiran debu tak kasatmata. Dedaunan yang bergesekan menimbulkan suara sayup-sayup, bersahutan dengan suara serangga malam yang bersembunyi di semak belukar.

Rumah telah menutup pintu dan jendela mereka. Beberapa bahkan telah menggelapkan diri. Tapi ada satu rumah di ujung gang yang masih hidup dan bersemangat, yakni rumah nomor 69. Pintu dan jendelanya memang tertutup, tetapi masih ada suara yang menguar dari dalam sama. Ia dihuni oleh dua orang lelaki bujangan berumur 20-an tahun yang kabarnya masih bersepupu. Salah satu dari mereka saat ini sedang duduk di sofa di ruang tamu. Namanya Arjuna.

Dengan ceroboh aku mencinta .... Sehingga aku pun terluka .... Karna harga diri yang tidak ada gunanya ....

Nyanyian itu datang dari laptop yang terbuka di meja di hadapan lelaki itu. Layarnya menampilkan sekumpulan wanita yang menari dan menyanyi. Pandangan Arjuna melekat di sana. Kelopak matanya terbuka penuh tanpa berkedip. Kepalanya mengangguk-angguk kecil mengikuti irama musik. Larut ia dalam belaian suara para wanita itu, begitu dalam hingga hawa dingin yang mengembus paha bercelana pendek dan lengan ramping berkaus oblongnya pun tidak dirasa.

Kemudian lelaki satunya muncul bertelanjang dada dari arah kanan ruang tamu, arah tempat dapur dan kamar mandi berada. Yang ini namanya Fahri. Kulit cokelatnya mengkilap tertimpa sinar lampu ruang tamu. Badannya lebih terbentuk jika dibandingkan dengan badan Arjuna. Wajahnya juga lebih keras—orang bilang sangar. Tapi seperti kata-kata mutiara: jangan menilai buku dari sampulnya. Penampilan Fahri tidak menggambarkan dirinya yang utuh. Lihat saja. Begitu duduk disebelah kiri Arjuna, ia mencolek-colek sisi perut Arjuna sambil tersenyum jahil.

"Hei." panggilnya. "Kok cowok nonton girlband?"

Tanpa beralih dari tontonannya, Arjuna menyingkirkan tangan Fahri dengan tangan kirinya.

"Emang kenapa?" sahutnya. "Enggak boleh?"

"Kamu bilang enggak suka cewek?" Fahri menatap sisi wajah Arjuna.

"Jangan suka melintir omongan orang." Arjuna mengernyit.

Fahri tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia menyenggol sisi badan Arjuna dengan sikunya.

"Apa sih?" Arjuna mendorong pundak Fahri menjauh. "Enggak usah ganggu orang."

Tapi Fahri tidak bergeser sedikit pun. Senyumnya berubah menjadi seringaian.

"Jun."

Tidak ada balasan.

"Juna."

Masih nihil.

"Juna sayang." Fahri menyampirkan lengan kanannya ke pundak Arjuna. Digoyangkannya badan lelaki itu. "Kaku banget kayak kanebo kering."

"Bangke kamu, Ri!" akhirnya yang diganggu merespons dengan umpatan. Tapi perhatiannya masih tertuju pada video girlband yang terputar di hadapannya.

"Kenapa jutek huh?" Fahri menowel pipi kanan Arjuna.

Alih-alih menjawab, Arjuna malah memaksa melepaskan lengan Fahri yang merengkuh pundaknya.

Fahri menghela napas. Sambil menangkupkan kedua tangan di wajah, ia bersandar di punggung sofa. Dikatakannya dengan nada nelangsa: "At least kamu bisa bilang langsung ke aku kalau kamu emang udah enggak sreg lagi sama aku; kalau kamu sukanya sama cewek sekarang."

Arjuna berdecak lalu menekan tombol spasi pada laptop, membuat video yang ditontonnya berhenti. Ia menoleh ke kiri dan memindai segenap tubuh Fahri mulai dari ujung kaki ke ujung kepala.

Fahri dan ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang