32. Kemarahan

1.4K 75 4
                                    

Jihan melangkah dari arah kantin menuju kamar ibu mertuanya sedangkan dari arah berlawanan ia melihat Jingga bersama dengan papa dan mamanya. Tentu saja Jihan menunggunya tepat di depan pintu ruang rawat Jasmine. Ia tersenyum saat mendapati Dika dan Iren melihat dirinya, tapi sayang adiknya itu menatapnya dengan tatapan tak suka. Ntahlah apa alasannya, tapi sejak kejadian bullying dirinya yang berimbas pada Jingga karena fakta gadis itu adalah adiknya membuat Jingga juga merasakan tak enaknya di bully.  Kejadian itu saat dirinya SMP kelas 2 sedangkan Jingga yang saat itu masih kelas 1 SMP. 

"Assalamualaikum," salam kedua orang tua Jihan.

"Waalaikumsalam." Jihan mencium tangan Dika dan Iren dengan hormat. "Bunda udah bisa dijenguk kok. Papa sama Mama langsung masuk aja."

"Julian juga di dalam?" tanya Iren.

"Julian sama Julio ada di kamar sebelah, kamar Ayah."

"Yaudah Papa sama Mama masuk dulu kalo gitu," pamit Dika sebelum masuk. Iren juga menepuk pundak kiri Jihan pelan tak lupa dengan senyum hangatnya. Tak heran jika Jihan dan Jingga memiliki senyum hangat yang sangat menarik. Tapi bedanya, Jihan hanya memberikan senyuman itu kepada orang-orang yang memang baik padanya. Jika dengan orang-orang yang membencinya, ia akan memasang wajah datar.

Tujuan ia melakukan itu sebenarnya untuk menutupi rasa sakit hatinya yang selalu menjadi tempat bully ataupun cemoohan. Ia begitu agar pelaku yang melakukan itu padanya berpikir bahwa apa yang dilakukan tak berdampak apapun untuknya, tak mempengaruhi hidupnya.

Dika dan Iren masuk meninggalkan Jihan dan Jingga yang masih diluar.

Mata Jingga tanpa sengaja melihat kalung yang bertengger pada leher Jihan. Sama. Hanya beda warna saja.

"Lo dapet kalung itu darimana?" tanyanya sinis.

"Oh ini?" Jihan memegang lehernya, lebih tepatnya kalung miliknya. "Dikasih sama Julian tadi pagi."

"Kenapa?" sambungnya.

"Kok lo dikasih juga sama Julian?" tanya Jingga kali ini dengan nada tidak suka.

"Hah? Emang lo juga dikasih kalung juga?" Jihan diam-diam melirik leher adiknya. Benar. Disana ada kalung dengan liontin yang sama seperti miliknya, hanya berbeda warna saja. Ia mengerti sekarang kenapa Jingga ketus seperti itu padanya. Ternyata hanya persoalan kalung yang sama pemberian Julian.

"Kalo Julian ngasih gue kalung ya wajar, gue kan pacarnya, orang yang dia cin.ta," cetus Jingga dengan menatap remeh bahkan diakhir kalimatnya pun ia berikan penekanan. "Lha lo?"

"Istrinya," jawab singkat Jihan sambil tangannya terlipat di depan dada dan tersenyum miring.

Jingga terkekeh sinis. Lucu sekali kakaknya ini. Sekarang sudah berani terang-terangan mengatakan dan mengakui status pernikahan mereka, di depan dirinya pula.

"Dasar nggak punya malu."

"Gue? Gue nggak punya malu?" Jihan menunjuk dirinya sendiri. "Harusnya itu lo yang nggak punya malu. Pacaran dengan suami orang, suami kakak sendiri lagi! Hebat!" Jihan tersenyum miring. Kagum dengan dirinya sendiri yang berani berbicara tegas dan berani seperti itu pada Jingga.

"Gue dulu yang datang di kehidupan Julian! Gue dulu yang menempati posisi di hati Julian! Semuanya gue dulu!"

"Tapi sayangnya takdir lebih memihak gue untuk jadi yang terakhir buat Julian."

Jingga mengepalkan tangannya yang berada disamping tubuhnya. Jihan semakin menyebalkan, dan Jingga semakin benci dengan Jihan.

"Halo gadis-gadis," sapa seseorang yang baru saja datang. Siapa lagi yang memiliki sifat cengengesan seperti itu selain Julio. "Kenapa pada ngegembel disini?" Bahkan tangan cowok itu sudah bertengger di bahu Jihan dan Jingga.

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang