Part 16 - The heaviest sadness

1.1K 60 15
                                    

Kamu adalah matahariku. Mengawali pagiku dan menyinari hidupku.

Sejak semalam Lili tidak berbicara sepatah kata pun dan wanita itu tidak menelan makanan sedikit pun, yang ia lakukan terus menangis dan menangis. Dokter mengatakan bahwa lelaki paruh baya itu terkena serangan jantung mendadak dan belum sadar sampai sekarang. Ashalia dan Ghefira pun masih berada di tempat yang sama, kursi di depan ruangan Ardian di rawat. Dari keluarga Relegan hanya Mario dan Zio yang menemani keluarga besannya itu.

Mentari telah terbit namun senyuman itu belum terbit dari bibir wanita itu. Ia termenung di kursi taman tempatnya menghirup udara segar semalam dan Mario masih tetap mengawasi Lili, jangan sampai keadaan atau hal yang tidak-tidak terjadi padanya.

Mario mendekati Lili yang sedang melihat bunga-bunga dengan tatapan kosong, biasanya wanita itu selalu gembira jika menemukan sesuatu yang berkaitan dengan bunga.

Lelaki itu duduk di samping Lili. "Apa dirimu merasa lebih baik?" Mario tidak mendapat jawaban apapun selain suara hembusan angin.

"Lili,"

Mendengar namanya dipanggil Lili pun menoleh, menatap pria yang ada di sampingnya, ia tersadar dari lamunannya ketika pria itu memanggil namanya dengan suara khasnya.

"Iya."

"Mas, sejak kapan dirimu berada di sini?"

"Kamu tidak perlu bertanya, karena aku akan selalu ada bersamamu di mana pun dirimu berada, Lili." Mario menatap lekat wajah wanita itu, pucat pasi, matanya sembab dan air matanya sudah mengering.

"Dirimu tidak terlihat baik-baik saja, kita pulang sekarang."

"Tidak."

Lili tersenyum hambar, bagaimana bisa ia pulang sedangkan ayahnya masih terbaring tak berdaya di sini. Tidak tahu apakah keadaannya akan membaik atau malah sebaliknya. Dan pria ini malah mengajak dirinya pergi, tidak. Tidak akan dia tinggalkan ayahnya sendirian. Tidak.

"Ayo pulang, bersihkan dirimu dan isi tenagamu untuk menangis nanti." ajak Mario tetapi wanita itu masih tetap dengan pendiriannya.

"Kenapa? Kamu ingin menjauhkan diriku dengan ayahku? Apa itu yang kamu inginkan?" tanya Lili kepada Mario yang terlihat memejamkan matanya sejenak dan menarik nafas panjang, mencoba menenangkan kekesalannya.

"Apa maksudmu bertanya kenapa? Kamu harus mengisi tenagamu yang hampir habis itu. Jika kamu sakit siapa yang akan terbebani dan kesusahan? Ibumu bukan?"

"Di satu sisi ayahmu sedang terbaring koma dan sisi lain putrinya sedang sakit karena tidak makan seharian. Apakah kamu ingin menambah beban ibumu?" lelaki itu mencecar Lili dengan berbagai pertanyaan sehingga sukses membuat wanita itu memikirkan ulang apa yang sedang dilakukannya.

"Apa kamu khawatir padaku? Maksudku dengan keluargaku?"

"Ya. Aku sangat mengkhawatirkan dirimu. Bukankah itu yang ingin kamu dengar?"

"Tidak. Aku hanya ingin mendengar kejujuran darimu."

"Jadi, apa sekarang kamu ingin pulang? Jika iya, ikutlah denganku." Mario memegang tangan Lili, menggenggamnya dengan erat.

"Tidak."

Mario melepaskan genggaman tangannya. Sial. Jawaban dari wanita itu lagi-lagi membuat Mario hampir tersulut api amarah, namun demi membuat keadaan semakin membaik ia akan berusaha meredam amarahnya.

"Sebenarnya apa maksudmu? Katakan dengan jelas!" pekik Mario membuat wanita itu seketika menunduk takut.

"Berkali-kali aku mengajakmu untuk ikut pulang bersamaku tetapi kamu hanya menjawab dengan kata tidak dan tidak. Apa tidak ada kata lain selain kata 'tidak' dalam hidupmu? Ribuan kata dalam kamus dan kamu hanya terus menerus mengucapkan kata 'tidak'?" pria itu berdiri dari duduknya menatap wanita itu dengan kesal.

TIRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang