Chapter DCCI

2.5K 439 13
                                    

Aku duduk sambil menyisir rambut Huri yang duduk membelakangiku, “besok kita akan pergi pagi-pagi sekali. Jadi setelah ini, kalian berdua langsung pergi tidur!” perintahku sambil menoleh ke arah Ihsan yang duduk di depan Zeki yang tengah memeriksa dua buah pedang miliknya dan milikku di hadapan mereka.

“Kita akan pergi ke mana, Ayah?” Ihsan balas bertanya, hingga membuat tatapan Zeki beralih kepadanya.

Kepala Zeki menunduk dengan tangannya yang bergerak memasukan pedang yang ia pegang ke dalam sarungnya kembali, “kita akan pergi ke sebuah tempat yang menakjubkan. Jadi, jika kalian ingin ikut. Tidurlah dari sekarang agar bisa bangun pagi-pagi sekali,” ungkap Zeki, dia beranjak setelah meletakan pedang yang ia pegang ke lantai lalu meraih dan menggendong Ihsan mendekati kami.

____________.

“Ihsan! Huri!” Aku mencoba untuk membangunkan mereka sambil menepuk pelan lengan mereka secara bergantian.

Kuraih dan kugendong Huri yang telah beranjak duduk ke dalam kamar mandi, sedang Zeki sendiri melakukan hal yang sama kepada Ihsan. Langkahku berhenti di dekat tong yang ada di tengah-tengah kamar mandi di kamar, kuraih air yang ada di dalam tong tersebut menggunakan telapak tangan lalu mengusapkannya ke wajah Huri.

“Bangunlah Huri! Kita akan segera pergi. Paman, Bibi dan yang lainnya telah menunggu kita semua,” ungkapku dengan terus mengusap telapak tanganku yang basah itu ke matanya yang masih terpejam.

Aku menghela napas ketika dia justru semakin melingkarkan lengannya di leherku dengan kepalanya yang bersandar di atas pundakku saat aku kembali memintanya untuk bangun. “Ibu, apa kita sudah sampai?” tanya Ihsan yang menatapku dengan menyandarkan kepalanya di pundak Zeki yang menggendongnya.

Kepalaku menggeleng diikuti tanganku yang menepuk pipinya, “belum untuk sekarang. Kita masih harus menaiki perahu untuk bisa pergi ke sana,” ucapku, seraya tersenyum sebelum membawa Huri pergi melewati mereka berdua.

Aku terus berjalan mendekati pintu kamar lalu membukanya. “Apa kau telah memeriksa semuanya?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Zeki yang tengah meraih tas besar di atas ranjang ke pundaknya.

Kedua kakiku melangkah mendahului Zeki yang juga turut berjalan mendekati pintu. Kami berdua terus lanjut melangkah beriringan, hingga akhirnya … Udara yang ada di luar kapal, berembus kuat menusuk ke kulit. Langkahku berjalan mendekati Zeki, sesaat melihat Ihsan yang meringkuk di gendongannya.

Kubuka tas yang Zeki bawa itu lalu mengambil sebuah kain selimut yang ada di dalamnya, “bantu aku untuk menyelimutinya!” pintaku kepada Zeki seraya mengarahkan selimut yang aku ambil tadi ke tubuh Ihsan.

“Kau tidak memberikan selimut untuk Huri?”

Lirikan mataku bergerak mengikuti Zeki yang telah menjatuhkan pandangannya kepada Huri di gendonganku. “Apa dia terlihat kedinginan? Es milik Kou, lebih dingin dibanding udara di sini,” ungkapku sambil terus menatapi Huri yang sama sekali enggan untuk terbangun.

“Baiklah,” jawab Zeki singkat diikuti kedua kakinya yang melangkah terlebih dahulu dariku.

Aku mengikuti Zeki yang telah berdiri di sisi kapal. Saat Zeki mengarahkan kepalanya sedikit maju, aku pun mengikutinya hingga menemukan beberapa buah perahu yang berbaris di permukaan air. “Ihsan, Ayah akan membawamu turun ke bawah. Berpeganglah dengan erat, apa kau paham?!” perintah Zeki yang langsung dibalas cepat dengan anggukan Ihsan.

Zeki menurunkan Ihsan, meraih selimut yang Ihsan pakai lalu melingkarkan selimut tersebut di dadanya hingga Ihsan yang bergelantungan di punggungnya itu, terikat kuat oleh selimut tadi. Zeki kembali beranjak, memanjat tepi kapal sambil menggendong Ihsan di punggungnya, “aku akan menjemput kalian setelah menurunkan Ihsan,” ucap Zeki ketika wajahnya itu bergerak menoleh ke arahku.

Dia meraih salah satu tali yang bergelantungan di samping kapal setelah aku sendiri mengangguk menanggapi perkatannya. Dengan perlahan, Zeki bergerak menuruni tali, mendekati perahu yang telah ada Izumi yang menunggu di bawah.

Izumi dengan sigap menyambut Ihsan sesaat Zeki sudah berdiri di atas perahu, lalu membawa Ihsan ke sebuah perahu yang diisi oleh Takumi dan juga Ebe setelah Zeki membuka ikatan pada selimut di tubuhnya.

“Huri! Bangunlah! Kita akan segera pergi!” tukasku sambil mengusap punggungnya saat Zeki sudah kembali memanjat tali yang masih ia pegang.

Aku berjalan mendekati Zeki yang telah berdiri lagi di kapal, sambil tanganku bergerak memberikan Huri kepadanya. “Ibu, haus,” tukas Huri pelan sambil menoleh ke arahku, ketika aku sendiri sedang membantu Zeki mengikatkan selimut ke pundaknya.

“Ibu akan memberikanmu air nanti setelah turun, tapi sebelum itu, peluk dengan kuat Ayahmu agar kau tidak terjatuh,” ungkapku diikuti telapak tangan yang bergerak mengusap wajah sembabnya.

Dia melakukan apa yang aku pinta, bahkan pelukannya di leher Zeki semakin menguat ketika Zeki membawanya turun dari atas kapal. Tubuhku membungkuk, saat mataku itu terjatuh ke arah Raja Lamond yang berdiri tak terlalu jauh mengawasi kami semua dengan Haruki dan juga Aydin di kanan dan kiri tubuhnya.

Aku berbalik, memanjat bagian samping kapal setelah anggukan dari Raja Lamond membalas sikap hormatku. Cukup lama aku duduk di tepi kapal itu, sebelum akhirnya aku menarik napas dalam diikuti tanganku yang bergerak meraih salah satu tali yang menjuntai.

Perlahan, tubuhku bergerak turun dengan tangan yang berusaha untuk menggenggam tali yang ukurannya hampir memenuhi telapak tanganku itu.

Tubuhku sedikit terhentak lalu berhenti saat kurasakan sesuatu merangkul pahaku. “Aku sudah memintamu untuk menunggu,” ungkapnya yang membuat perhatianku beralih kepadanya.

Genggaman tanganku di tali kulepaskan, lalu beralih merangkul leher Zeki yang telah menggendongku. “Aku hanya tidak ingin kau terlalu lelah,” ucapku, setelah dia menurunkanku dari gendongannya.

“Tapi aku justru menyukai saat dibuat lelah olehmu,” sahutnya berbisik dengan wajahnya yang bergerak tepat ke samping telingaku.

Zeki sedikit merintih ketika tangan kananku bergerak kuat memukul pinggang kirinya, “tutup mulutmu di depan mereka!” perintahku seraya bergerak mendekati perahu yang ada di samping perahu yang diisi oleh Izumi dan keluarganya.

Aku berpegangan di kedua sisi perahu saat perahu tersebut bergerak ketika Zeki sendiri telah duduk di depanku. Tangannya bergerak meraih Huri yang dijulurkan Izumi, lalu bergerak kembali meraih Ihsan setelah Huri sendiri telah duduk di pangkuanku. “Ebe, apa kau ingin mengunjungi keluargamu?” tanyaku kepada Ebe yang terdiam dengan memainkan air laut menggunakan telapak tangannya.

Dia menoleh lalu menggeleng menatapku, “Kakekku pasti sudah bisa melihat kita semua sekarang. Mengunjungi tempat tersebut lebih penting untuk kita semua dan juga … Aku mempercayaimu, Sachi,” ucapnya seraya merangkulkan kedua lengannya ke pinggang Takumi yang ia pangku.

Wajahku beralih ke belakang, menatapi permukaan air laut yang menghampar di depan. “Ada apa?” suara Zeki terdengar saat aku masih melakukannya.

“Ada yang mendekat, dari dalam laut,” jawabku singkat, dengan lirikan bergerak ke arah Ebe yang telah mengikuti ke arah tatapan mataku itu terjatuh.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang