Agam terbangun dengan posisi badan terlungkup di atas ranjang tanpa atasan. Sinar matahari yang mengintip malu dari celah gorden berhasil membangunkannya. Ia melirik jam weker yang sudah menunjuk ke angka 8.
Ia meraih ponselnya di atas nakas lalu duduk meregangkan otot-otot tubuhnya yang atletis. Dari dalam kamar ia mendengar suara yang sangat familiar.
Hanya dengan celana Levis pendek yang terpasang di badannya, cowok itu keluar kamar menghampiri keramaian di luar sana. Esya yang sedang duduk di meja makan melirik sekilas lalu kembali bercengkrama dengan Cacha.
"Gue gak mau bikin sarapan buat Lo. Bikinin sama Cacha aja," ucap Esya sambil mengoleskan selai tanpa melihat wajah lawan bicaranya. Cacha mengernyit tidak terima dan Agam menyadari itu.
"Gak usah," tolak Agam dengan suara serak yang sangat menggoda telinga suci Cacha.
"Gak usah 'gak usah-gak usah' deh Lo," cerca ketus Esya membuat Agam malas untuk metetap di sana. Ia kembali memasuki kamar lalu membanting pintu cukup keras. Cacha hanya memperhatikan wajah kesal Agam kepada Esya yang sudah tertelan memasuki kamar.
Cacha menarik napas panjang. "Abang Lo lagi PMS?"
Cacha bangkit dari duduknya lalu mengambil bahan masak dari dalam kulkas. Esya hanya memperhatikan gerak gerik Cacha yang sangat serius membuatkan sarapan untuk abangnya itu.
"Lo gak cape sama sifat Abang gue yang ngeselin itu?" tanya Esya bertopang dagu. Cacha mengangkat kedua bahunya. "Ya, gitu dehh...."
"Gue heran sama dia, secara seorang Agamma Hadista kan ngeselin, tapi banyak yang suka."
"Terus? Gue harus nangis gitu gegara Abang Lo banyak yang suka?"
Esya melahap potongan roti terakhir nya. "Gak usah, kan waktu kemarin Lo udah nangis di dalem mobil."
Cacha menahan napas malu. Agam benar-benar keterlaluan. Berani-beraninya ia curhat kepada Esya. Semoga pria itu juga tidak curhat soalnya icip-icip bibir kemarin.
Cacha tidak menanggapi ucapan adik iparnya itu. Cacha menambahkan sedikit bumbu penyedap masakannya sebelum benar-benar merapihkan seluruh barang-barang yang tadi ia pakai.
Esya selesai sarapan, ia menaruh piring kotor bekas roti ke dalam wastafel. Gadis itu melenggang kan kakinya naik ke atas menuju kamarnya. Tanpa memperhatikan Esya Cacha menata nasi goreng special yang tadi ia buat dan jus alpukat sebagai pasangannya di atas nampan akrilik.
Gadis itu membawanya dengan hati-hati ke arah kamar Agam. Tanpa sopan santun dan rasa takut ia masuk begitu saja. Cowok itu tidak didapatinya. Tapi suara dari dalam kamar mandi sudah cukup menjadi jawaban untuk Cacha.
Disimpan nya nampan di atas meja depan televisi game dalam kamar Agam. Sampai suara pintu kamar mandi terbuka menampilkan Agam dengan rambut basah dan hanya berbalut handuk putih dari pinggang sampai pangkal pahanya. Sial!
Cacha terpesona melihat bentuk perut kekasihnya itu. Sangat sangat menggoda iman. Dehaman Agam membuat Cacha tersadar dari lamunannya. Cacha menghampiri Agam yang sibuk memilih baju untuk hari libur seperti ini.
"Marah?" cicit Cacha membuat Agam berbalik meninggalkan pakaian yang tadi ingin dipakainya. Agam menangkup pipi Cacha lalu menempelkan bibirnya beradu dengan bibir Cacha.
"Mphhh.. Ahh.."
Serangan Agam yang tiba-tiba membuat Cacha tidak punya pertahanan yang kuat. Imannya bertolak belakang dengan nafsu.
Agam memasukan lidahnya beradu tanpa membiarkan Cacha meraup oksigen terlebih dahulu. Cacha mengalungkan tangannya kepundak kekar Agam. Cowok itu menggendong Cacha tanpa memberi celah bibirnya terlepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Bussines
Short Story21+ cuma cerita pendek, kok. Kalo kepo, baca aja. Tapi anak kecil jangan hehe.