T I G A P U L U H T U J U H

5.3K 299 1
                                    

Revan berlari menuju ruang tengah untuk mengambil kunci mobil. Setelah itu ia menyusul Aora, Vraska, dan Vania ke garasi dan segera memasuki mobil.

Revan menancapkan gas bak kesetanan. Tidak tahu mengapa. Rasanya hatinya benar-benar tidak tenang. Begitu pun juga yang dirasakan oleh Vraska.

"Rev, agak cepetan dikit," Vraska menepuk bahu Revan dengan harapan bisa cepat sampai.

Aora dan Vania hanya bisa berpegangan tangan di bangku belakang. Mereka berdua sangat takut dengan kecepatan yang diraih Revan saat ini.

Memang usaha tidak akan mengkhianati hasil. Berkat kebut-kebutan Revan, dalam 10 menit ia bisa melampaui kemacetan di jalanan.

Setelah memakirkan mobil di tempat parkir Rumah Sakit Sejahtera, mereka berempat segera ke dalam.

Karena tidak tau posisi papanya sekarang, Revan memutuskan untuk menelpon terlebih dahulu, "Pa, Revan udah sampai. Papa dimana?"

"Papa di ruang VIP melati no 456 Van."

"Bentar pa. Revan kesana sekarang," Revan menutup teleponnya. Kini matanya tertuju pada tiga orang di depannya.

"Bokap gue ada di ruang VIP melati no 456. Kita kesana sekarang," perintah Revan dengan tegas.

---

Revan membuka pintu ruangan yang telah dibilang papanya tadi.

Kaki Revan dan Vraska lemas melihat orang yang terbaring di ranjang rumah sakit itu.

"Bunda--" lirih Vraska pelan.

Dengan langkah kaki panjang, Revan dan Vraska mendekati Diana yang terbaring dengan infus yang menempel di tangan kiri nya.

"Bunda kenapa?" tanya Vraska kepada Sandy.

"Diana divonis mengidap kanker kelenjar getah bening. Dan kata dokter, kanker nya udah masuk stadium 4," jawab Sandy lemas.

Deg.

Vraska dan Revan terpaku mendengar jawaban Sandy. Selama ini, selama 18 tahun, Diana tidak pernah menceritakan tentang penyakitnya kepada siapa pun. Bahkan Sandy pun baru tahu barusan.

"Bunda kamu--" Sandy menatap wajah Vraska serius. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang sedari tadi rasanya ingin keluar.

"Kata dokter, bunda kamu cuma ada sisa waktu hidup maksimal satu bulan. Lebih dari itu, kemungkinannya sangat kecil."

Entahlah cobaan apa lagi yang akan mereka dapatkan kali ini. Revan dan Vraska sangat terpukul rasanya saat mendengar semua kenyataan yang sebenarnya.

Rasanya Revan benar-benar hampa. Revan tidak bisa marah maupun menangis. Kini ia hanya bisa diam melihat ibu kandungnya itu yang terbaring lemah.

Tapi beda dengan Vraska. Vraska sudah tidak tahan lagi. Air matanya yang dari tadi ia tahan seakan-akan langsung runtuh begitu saja.

"Bundaa!!" air mata Vraska mulai jatuh beruraian. Vraska mendekap mamanya dengan erat.

Beberapa detik setelah Vraska memeluk Diana, mereka mendengar suara alat pacu jantung yang berbunyi tidak teratur.

Sumber suara itu membuat seluruh orang disana panik dan otomatis langsung memanggil dokter.

---

Diana berjalan di bukit dengan tatapan lurus ke depan tanpa ragu. Disana Diana memakai pakaian serba putih, ia tampak cantik bak bidadari.

Sesampainya di ujung bukit, Diana menarik napas panjang, lalu ia tersenyum. Itu menandakan bahwa Diana sudah siap lompat dari bukit yang sangat tinggi itu.

Pelan-pelan Diana merentangkan tangannya, sesekali matanya melihat bawah. Anehnya, Diana tidak merasakan ketakutan sama sekali.

Tepat di ujung bukit, Diana melihat seoseorang memakai jubah serba hitam. Orang itu memanggil Diana agar lebih mempercepat waktu.

Sesampainya, Diana langsung menghitung dalam hati. Dalam hitungan ketiga, ia sudah harus siap untuk melompat.

1...

2...

"Mamaa!!" tiba-tiba terdengar teriakan dua anak lelaki secara bersamaan.

Diana langsung membalikkan badannya dan melihat siapa kedua lelaki itu.

Mata Diana menyipit. Ia terus memperhatikan dua anak lelaki itu dengan seksama.

Setelah dilihat-lihat, rupanya mereka berdua adalah Revan dan Vraska sewaktu kecil.

"Kenapa kalian berdua disini nak?" Diana membalikkan badannya, lalu bertanya dengan lemah lembut.

"Mama gak boleh pergi," ucap Revan dan Vraska bersama-sama.

Hati Diana begitu tertohok saat kedua anaknya mencegah dirinya untuk pergi.

"Mama gak bakal kemana-mana kok. Mama bakal tetep ada di samping kalian berdua. Dimana pun dan sampai kapan pun, nak," Diana mengusap rambut Revan dan Vraska dengan tulus.

"Gak boleh mama!! Mama gak boleh pergi!!" Revan menangis sesenggukan.

"Revan sama Vraska nanti sedih kalo mama pergi," tambah Vraska yang tangisannya tak kalah sesenggukannya.

Diana tersentuh. Sangat tersentuh. Air mata nya ikut mengalir. Ia sangat merasakan kesedihan yang dirasakan kedua anaknya itu.

Jika seperti ini, Diana tidak akan bisa pergi dengan tenang. Ia akan merasa terbebani dengan tangisan kedua putranya.

Perlahan Diana menghapus satu persatu air mata Revan yang membasahi pipinya, lalu ia juga melakukan hal yang sama pada Vraska.

Setelah mengusap air mata Revan dan Vraska, Diana kembali tersenyum, "Liat mata mama nak."

Revan dan Vraska langsung menuruti apa kata mamanya itu, tetapi air mata mereka berdua tak kunjung berhenti.

"Kalian berdua mau mama gimana?"

"Revan sama Vraska mau mama terus ada di samping kita," jawab Vraska yang masih sesenggukan.

Diana mengangguk kecil, lalu tersenyum, "Ya udah ayo kita kesana," tunjuk Diana ke bawah pohon yang tampak rindang.

Diana menggandeng kedua tangan anaknya. Tapi saat berjalan, Diana mendengar suatu bisikan tepat di telinga sebelah kanannya.

"Satu bulan."

---

Setelah mendapat bisikan itu, roh Diana dapat kembali ke tubuhnya. Rasanya ia telah ditarik agar tidak pergi 'ke atas' oleh kedua anaknya.

Titt.. titt.. titt..

"Alhamdulillah," ucap dokter, Sandy, Revan, Vraska, Aora, dan Vania secara bersamaan saat melihat denyut jantung Diana yang sudah berjalan normal.

Baby Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang