[16] I MUST BE STRONG

14 3 0
                                    

Reno terdiam sesaat. Tak menyangka hubungannya seribet ini. “Lo pacaran sama Nanda berapa bulan? Setahun kan?” Tanyanya dan Erza mengangguk.

“Selama itu... apa yang lo rasain? Bahagia? Atau sakit?” Lanjutnya yang membuat Erza terdiam lama lalu bersandar di dinding dan mengambil pigura yang fotonya bersama dia dan Putra waktu di Jogja dan mengelus penuh sayang. “Pada awalnya, gue senang kak. Gue merasa bisa lepas dari Putra. Walau awalnya harus nangis dulu karna Putra gak terima keputusan gue. Tapi... semakin lama waktu berjalan, gue merasa sakit kak. Gue selalu nyalahin diri kenapa harus terima Nanda kalau selama setahun ini, apapun yang gue lakukan sama dia, bukan seperti gue lakuin sama Nanda, tapi sama Putra. Putra udah jadi bayangan gue kak.” 

“Terus? Setelah lo rasain ini, apakah lo pengen lanjutin atau ingin mengakhiri dek?” 

 “Jujur, gue pengen banget mengakhiri kak. Tapi gue gak pengen nyakitin Nanda lebih dalam lagi. Dia terlalu baik kak. Dan gue jahat banget mutusin cowok sebaik dia. Tapi ... gue gak tahan lagi kak.” Erza menghela napas dan merasakan ada sedikit lega dalam hatinya karna bisa mencurahkan apa yang dia rasakan selama setahun ini yang turut andil menambah bebannya.

 “Gue boleh ngasih saran?” Tanya Reno setelah lama terdiam dan Erza mengangguk.

“Saran gue sebagai sepupu lo dan orang yang tau perasaan lo sekarang, mending lo putus dek sama Nanda. Gue tau itu berat. Tapi harus lo lakuin karna semakin jauh lo akan melangkah, semakin susah lo lepas Za. Lo boleh sekarang pacaran sama dia dan terima lamaran dia dengan alasan gak tega nyakitin. Tapi lo bahagia gak?” Tanya Reno dan Erza menggeleng lemah. “Enggak kan? Apa artinya menjalani suatu hubungan kalau salah satu dari kita merasakan sakit? Hubungan itu saling mencintai, bukan merasa ada yang tersakiti, Za.” Reno memberi penjelasan panjang lebar dan Erza hanya bisa mengangguk membenarkan.

“Gue gak yakin bisa lakuin itu kak,”

“Kalo lo gak siap, kapan lagi? Lo gak mungkin kan terima terus ajakan dia? Erza... lo baru aja nyakitin diri lo sendiri karna dia yang sama sekali gak tau apa-apa soal ini. Dan lo juga nyakitin Putra. Cowok yang lo sayang. Pikirkan apa perkataan gue, dek. Semua ada ditangan lo. Lo yang memulai, dan lo juga yang harus tau dimana mengakhirinya.” Tutup Reno sambil mengacak rambut Erza.
      
Erza hanya diam. Memikirkan ucapan Reno dan tersenyum. “Iya kak. Makasih yah udah dengarin curhat gue.” Ucap Erza tulus sambil mencium pipi Reno sebagai ucapan terima kasih.

“Sama-sama dek. Udah, sekarang lo tidur deh.” Perintah Reno sambil menyelimuti Erza dan menyalakan lampu tidur kemudian keluar dari kamarnya.

 Di temaram lampu, Erza menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kenangan demi kenangan tentang Putra yang dia simpan sebagai pelipur laranya, sebagai penutup hari saat dia tertidur.

Seminggu setelah curhat dengan Reno, Erza tak lagi membahas masalah ini dengan sepupunya. Dan Reno pun tak bertanya. Karna baginya, memberi saran sudah cukup. Sisanya, tinggal Erza yang memilih apa yang terbaik untuknya.

“Pagi Za...” Sapa Reno ketika melihat Erza buru-buru turun dari kamarnya dan langsung duduk disampingnya sambil mengambil roti dan selai.

“Pagi kak....” Balas Erza sembari menyelai rotinya dengan selai coklat lalu memakannya.
           
“Nanda kapan datang Za?” Reno membuka percakapan dan membuat Erza menghentikan sarapan paginya.

 “Gak tau... katanya sih besok malam. Kenapa?”

 “Lo jemput?"

 “Enggak kak. Dia gak minta.” Erza menjawab singkat sambil buru-buru menghabiskan roti gandumnya.

“Kabar Putra gimana?” Erza langsung berhenti makan dan bertopang dagu ketika mendengar pertanyaan Reno.

“Yaaa...Kami jarang ngobrol sekarang. Bukan jarang lagi, gak pernah malah. ” Jawab Erza lesu sambil teringat percakapan terakhir mereka ditaman yang jauh dari suasana romantis.

TRAZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang