5 - Keluarga

3K 490 12
                                    

Begitu kedua kaki Lingka menginjakkan teras rumah sederhana miliknya suara nyaring dari dalam langsung menyambut kepulangan gadis itu. Kedua kakinya mundur beberapa langkah, tubuhnya mengigil seketika, tapi kewarasan Lingka menyadarkannya kalau di dalam sana ada Ibunya.

Meski gemetaran, Lingka meraih kenop pintu depan berniat masuk. Namun, pintu sudah lebih dulu terbuka sebelum telapak tangan Lingka menyentuhnya. Dari balik pintu berhadapan langsung dengan Lingka. Hardi-Ayah Lingka-menatap garang putri semata wayangnya. Suara tangis terdengar samar mampir di pendengaran Lingka.

"Ibuk mu itu kasih tahu! Sama suami kok ngelawan!" Hardi berkata keras tepat di hadapan Lingka. Gadis itu Cuma diam, menunduk tak menanggapi. Nyalinya hilang seketika, terlalu pengecut bagi Lingka kalau sudah berhadapan dengan Ayahnya.

Tak merespon apapun padanya, emosi Hardi kembali memanas. Kasar, ia membentak, "denger enggak! Diem aja!"

Buru-buru Lingka mengangguk paham. Diikuti hilangnya sang Ayah. Lingka menghela napas, berbalik menatap punggung Ayahnya yang tersisa di ujung gang. Kenapa hidupnya se menyedihkan ini.

Berat sekali rasanya.

Teringat akan nasib Ibunya, Lingka berlari masuk ke dalam rumah. Pemandangan beling yang berserakan di atas lantai menyambut Lingka. Gadis itu harus ekstra hati-hati saat melangkah mendekati Ibunya. Rusmi-Ibu Lingka-terduduk menangis tersedu-sedu di lantai. Lingka benar-benar tidak tega melihat keadaan Ibunya yang seperti ini.

Gadis itu berjongkok kemudian membawa tubuh tua itu dalam pelukannya. Mengusap punggung rapuh itu. Dada Lingka sesak acapkali menemukan Ibunya yang seperti ini. Menemukan keadaan rumah yang selalu porak-poranda tiap Ayahnya kembali adalah pemandangan biasa dan Lingka benci itu.

Ia benci hidupnya, ia benci Ayahnya. Terkadang logika Lingka ingin sekali memberontak, tapi Ibunya tak pernah mengijinkan. Kata orang cinta bisa membutakan segalanya, awalnya Lingka sama sekali tak percaya akan hal itu, tapi setelah menyaksikan bagaimana Ibunya sendiri yang masih mempertahankan rumah tangganya berhasil membuat Lingka percaya.

Hidup ini kejam, menjatuhkan Lingka berulang-ulang dalam jurang kerapuhan. Tak pernah mengijinkan satu kesempatan bagi Lingka untuk keluar dari sana.

"Ayah kenapa lagi?" Lingka bertanya. Tatapan sedu dari sang Ibu menyambut.

"Minta uang," balas Rusmi lirih. Kedua tangan Lingka terkepal erat. Ayahnya memang sama sekali tak memiliki belas kasihan-bukannya mencarikan nafkah justru meminta nafkah pada Istri dan anaknya yang jelas-jelas harusnya dicukupi kehidupannya oleh Hardi sendirian.

Hardi terlalu sibuk akan hidup ketidak jelasannya. Menelantarkan anak dan istri sampai-sampai melupakan kewajiban sebagai kepala rumah tangga.

Lingka menghela napas, bangkit kemudian membantu Rusmi berdiri. Menggiring Ibunya perlahan untuk duduk di kursi dapur. Segelas air putih tersodor langsung diteguk Rusmi hingga tandas.

"Maafin bapakmu ya nduk." Suara penuh kepedihan itu keluar. Lingka mempererat pegangannya pada gelas, "do'ain semoga bapakmu iku cepet sadar. Berhenti mabuknya."

Lingka tak menjawab, ia memilih bangkit berjalan menuju pojokan mengambil sapu serta serok sampah, lantas mulai membersihkan serpihan kaca di lantai. Selalu seperti ini, tiap kali Ayahnya mulai marah karena keinginannya tak terpenuhi ia akan melampiaskan kemarahannya pada barang atau parahnya pada orang.

Lingka sering mengalami hal menyedihkan ini, sejak dulu. Menerima pukulan sang Ayah ketika dirinya melakukan kesalahan ataupun hal yang tak Hardi sukai.

Kumpulan beling semula tercecer banyak kini tersisa beberapa pecahan. Otak Lingka berpikir tiba-tiba, bagaimana rasanya kalau kakinya tanpa sengaja menginjak beling. Deheman Rusmi mengagetkan Lingka, gadis itu mendongak melihat Rusmi mengusap bekas lelehan air mata.

"Ibu wis masak nduk. Ayo makan." Rusmi merangkul bahu putri semata wayangnya. Lingka mengangguk pelan, tapi pekerjaannya belum terselesaikan.

"Setelah ini selesai Buk," ujar Lingka diikuti anggukan Rusmi. Ibu berusia hampir setengah abad itu berjalan meninggalkan Lingka. Tatapan Lingka jatuh mengikuti kemana Ibunya pergi, Lingka tahu bahwa ada beban berat yang harus Ibunya pikul sendirian.

Ingin membantu, tapi Lingka tak pernah tahu harus bagaimana. Embusan napas kasar keluar bersamaan ketika Rusmi mengambil sendok yang diletakan menggantung dalam satu wadah dekat rak piring. Rumah ini terlalu kecil, membuat segala interaksi apapun di sekitar bisa dilihat siapapun di dalam rumah, termasuk Lingka.

"Madang sing akeh ya nduk, ben tambah pinter." Sepiring nasi putih di tambah lauk kangkung tersodor begitu Lingka menarik kursi kayu sederhana tempat biasanya ia dan Ibunya makan-hanya berdua saja.

Senyum Rusmi sama sekali tak lepas menatap putrinya. Ada binar penuh harap serta segala do'a terus terpanjat. Agar kelak kehidupan anaknya bisa jauh lebih baik dari apa yang sekarang mereka alami.

Tangan Lingka terulur menerima piring seraya berkata, "ibu makan juga to, masak Lingka aja."

Kekehan Rusmi keluar ia mengangguk-anggukkan kepalanya dengan senyuman lantas ikut menarik kursi di depan Lingka.

"Sekolah kamu gimana?"

Di sela santapan suara Rusmi menghentikan gerakan Lingka mengendok kangkung. Ingatan Lingka langsung tertuju pada satu nama-Samudera-lantas dari sekian kejadian seharian ini kenapa harus Samudera yang langsung terekam dalam otak Lingka. Entahlah Lingka sendiri juga tidak tahu.

Turun dari bis tadi, Lingka langsung mengusir Samudera yang memaksakan diri mengantarkannya sampai ke rumah, tapi Lingka jelas melarang. Lingka tak ingin ada orang asing yang melebihi batas teritorial Lingka hanya karena rasa keinginan tahuan sesaat macam Samudera.

Lingka tidak ingin hal dulu kembali terulang lagi, itu cukup menyakitkan juga meninggalkan trauma dalam dirinya.

"Baik Buk," balas Lingka sedikit berbohong. Karena kehadiran Samudera cukup membiarkan hari-hari tenang Lingka kurang baik.

"Enggak kerasa yo nduk kamu udah besar." Kedua mata Rusmi berembun, tak berani menatap Lingka lagi. Rasa sendu menghinggapinya, tak terasa bertahun-tahun berlalu. Masih teringat kilas balik dulu saat dirinya melahirkan Lingka. Waktu berjalan begitu cepat, putrinya yang dulu lebih sering menangis di pojok dinding kini sudah menjelma menjadi gadis belasan tahun.

Satu ulasan senyum muncul. Tangan Lingka terulur menyentuh punggung tangan tua milik Ibunya, mengusap pelan di sana berusaha saling menguatkan satu sama lain. "Ibu enggak usah sedih, Lingka enggak papa."

Lingka tahu kemana arah pembicaraan Ibunya akan berakhir. Pembahasan tentang semua masa depan Lingka kelak sering disebut Rusmi di sela waktu berdua. Soal kekhawatiran Rusmi akan putrinya nanti. Lingka benci itu sebenarnya, tak memungkiri bahwa dirinya sendirian juga takut. Berulang kali hati Lingka berusaha membesarkan diri menerima kenyataan akan hari esok.

Kuliah itu Cuma jadi angan untuk Lingka, Lingka tidak ingin berharap lebih untuk saat ini. Walaupun berat, tapi Lingka berusaha. Keadaan keluarganya butuh ia selamatkan terlebih dahulu. Meskipun itu harus mengorbankan mimpinya.

Tapi, takdir seseorang itu tidak pernah ada yang tahu kecuali Tuhan sendiri. Bagaimana nanti Tuhan akan menjalankan para lakonnya di dunia agar bisa kembali bebas dari jeratan angan-angan tak tergapai menuju sebuah harapan nyata dalam mimpi yang sebenernya.


****

Lingka kamu kuat nak. Semangat!
Gimana baca part ini? Udah tau kan siapa yang anaknya Arsyad?

Sejauh ini gimana baca ceritanya?

Yuk rekomendasiin juga cerita ini ke temen kalian.

Terimakasih, bye.

Salam istrinya Jaemin





Hei, Lingka! [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang