Deretan sedan hitam memasuki sebuah Mension dengan pilar-pilar yang tinggi menjulang. Bangunan megah itu kini di penuhi oleh para bodyguard yang berjaga di setiap tempat, bahkan ada yang berbaris di sepanjang pintu utama untuk menyapa tuang rumah mereka yang baru saja dayang setelah menempuh perjalanan jauh.
Dua pintu mobil terbuka menampakkan seorang pria paruh baya dan seorang pria dewasa dengan usia sekitar empat puluh tiga tahunan yang akan melangkah keluar dari dalam mobil yang membuat seluruh bodyguard membungkuk hormat.
Dan begitu kaki jenjang di balut sepatu pantofel itu keluar dari dalam mobil, tampak seorang pemuda berdiri di hadapannya dengan senyuman hangat.
"Bukankah sudah kubilang?" ucap pemuda itu meremehkan begitu pria dewasa itu berdiri di hadapannya. Yang lebih tua hanya tersenyum untuk menanggapi pembicaraan.
"Dimana cucuku?" tanya pria paruh baya pada yang termuda di antara mereka.
"Aku disini kakek," ujar si pemuda.
"Bukan kau, Sean. Tapi Gazel."
Sean tersenyum kecut menanggapi ucapan sang Kakek, entah dirinya kecewa karena ucapan pria paruh baya tersebut atau karena ia belum bisa membawa sang adik, "Sepertinya akan sedikit sulit untuk membawanya."
"Apa maksudmu, Sean?" tanya pria dewasa yang kini berjalan memimpin masuk kedalam mansion.
"Kita bicarakan masalah ini di ruang kerja," ucap seorang pria paruh baya yang berjalan berdampingan dengan Sean.
.
.
.
.
.Malam ini Daffin memutuskan untuk pergi ke rumah Indra, namun sebelum ia berangkat banyak sekali wejengan-wejengan yang di berikan kepada Daffin. Daffin hanya menganggukkan kepalanya dan sesekali menjawab jika memang perlu.
Sepertinya kejadian sore tadi benar-benar membawa pengaruh besar, hampir semua penghuni kosan tahu dan itu artinya telinga Daffin akan terus mendapatkan gelombang bunyi meski tidak pernah tersampaikan ke otak.
Akhirnya setelah melalu berbagai macam gelombang bunyi, Daffin dapat terbebas dari sesi wejeungan dan peraturan-peraturan yang baru saja di buat dan itu khusus dalam artian spesial untuk Daffin seorang.
Sudahlah Daffin tidak punya banyak waktu lagi sekarang hari sudah semakin larut dan ia bahkan belum sampai di kediaman Indra. Dengan kecepatan di atas rata-rata Daffin membelah jalanan kota yang lenggang.
Begitu ia sampai, Indra menyambut Daffin dengan tatapan mengintimidasi.
"Ya Lord bang, gua baru datang ini, peluk dulu ke," ujar Daffin sembari turun dari sepeda motornya.
Daffin mendengus karena tidak ada perubahan apa pun pada tatapan Indra.
"Yuk bang masuk, pake aja sendalnya," ujar Daffin lagi.
Lagi-lagi Indra hanya diam sembari menatap Daffin lekat.
"Masuk aja bang, anggap rumah sendiri," kali ini Daffin berujar sembari masuk kedalam rumah Indra.
"Daffin."
"Iya bang, masuk aja jangan malu-malu."
Indra berjalan menghampiri Daffin yang berada di ambang pintu, "Siapa orang yang ngaku-ngaku kalo kamu adiknya?"
"Eh ada anak ibu, sini sayang," ucap seorang wanita paruh baya yang baru saja turun dari tangga.
Dengan segera Daffin berlari untuk memeluk wanita tersebut.
"Ibu, Daffin tangen um," Daffin berujar dengan nada manja sembari memeluk wanita tersebut.
Wanita paruh baya tersebut terkekeh geli sembari mengusap rambut legam Daffin penuh sayang, "Makan dulu yu, ibu siapin ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Daffin
Teen Fiction"Sebelah sini tuan." "Dobrak pintunya." . . . "Kenapa pintu kosan gua jadi kaya gini, anjir?" °°°°°°°°°° [No Copying !] ᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ Hargai karya seseorangʕ·ᴥ·ʔ 📌Sorry for typo 📌Bahasa semi-baku 📌Terdapat kata-kata kasar Tindakan dan ucapan yang ka...